Membebaskan dan Mensejahterakan
Oleh Shofwan Karim
“Para pejuang merebut kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan. Kemudian mereka kembali ke tengah masyarakat dan hidup sebagai anggota masyarakat tanpa pamrih dan balas jasa”. Begitu intro kalimat pembuka Kolonel (Purn.) Djamaris Junus (84 th), Ketua Dewan Harian Daerah (DHD) 45 pada ramah tamah dan dialog para pejuang 1945 di Auditorium Istana Gubernur Sumbar kemarin (17/8), setelah sebelumnya upacara pringatan Proklamasi Kemedekaan RI ke 64 di Halaman Kantor Gubernur. Pada gilirannya, di penutup acara, Gubernur seakan menyambung kalimat tadi lalu mengatakan, “para pejuang di samping membebaskan dan mempertahankan kemerdekaan juga mengisi kemerdekaan itu dengan mensejahterakan rakyat”.
Tentu saja yang dimaksud Gubernur Gamawan, para pejuang yang rata-rata sekarang sudah di atas usia 80 tahun, pernah pula di samping sebagai warga biasa tentu sebagian juga ada yang ikut terus menerus mengabdi di republik ini pada bidangnya masing-masing. Ada yang meneruskan karir militer, ada yang terjun ke birokrasi, ada yang usahawan, guru, dan bidang professional lainnya. Tentu saja di antara mereka itulah yang dulu telah ikut mensejahterakan rakyat. Sementara sekarang ini kiranya tidak ada lagi para pejuang dan pahlawan yang masih hidup itu turut secara langsung mensejahterakan rakyat karena mereka sudah pensiun bahkan sepuh dan tidak lagi berkarir .
Di balik itu, mungkin ada di antara tokoh yang setelah berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan dulunya lalu , turun ke masyarakat dan menjadi warga biasa dan tidak secara langsung dapat ikut serta mensejahterakan rakyat, bahkan dirinya sendiri jauh pula dari kata sejahtera itu. Mereka secara keseluruhan atau sebagian tadi walaupun tidak sejahtera tidak mau meminta-minta apalagi membanggakan diri sebagai orang yang berjasa di republik ini.
Oleh karena itu, bila sekarang Gubernur Gamawan atas nama Pemda Sumbar dan tentu atas persetujuan DPRD memberikan sekedar cendra mata sebesar 5 juta rupiah perorang untuk 99 orang yang berusia di atas 80 th dari pejuang-pejuang republic ini, maka hal itu bukanlah balas jasa. Pengorbanan pejuang itu tidak akan dapat dibalas di dunia ini dengan apa saja yang berbentuk balas budi. Hanya Allah yang akan memberi ganjaran yang setimpal kelak di kemudian hari, di dunia atau di akhirat nanti. Namun inisiatif Gubernur ini layak diapresiasi tinggi karena ini merupakan kenang-kenangan dan cendra hati, sebagai lambang terimakasih. Tentulah para pejuang itu tidak akan menakarkannya dengan timbangan duniawi.
Kiranya, ketika Gubernur menyampaikan dalam pidato singkatnya di akhir acara tentang beberapa hal, niscaya para pejuang ini amat suka cita dan hatinya berbunga. Bahwa apa yang mereka dambakan dulu setelah 64 tahun kemerdekaan ada perubahan ke arah yang lebih baik dalam kesejahteraan secara perlahan tetapi pasti. Misalnya, kata Gubernur pertumbuhan ekonomi Sumbar tahun ini dan akhir semester lalu adalah 6,37 persen.Itu artinya di atas rata-rata nasional yang 6 persen. Angka kemiskinan tinggal 10 persen dari 13 persen sebelumnya. Pengangguran dari 14 persen turun ke 10 dan sekarang tinggal 8 persen koma sekian.
Pendidikan juga demikian. Dua tahun lalu rangking Sumbar 16 dan 17 dari 33 provinsi di Indonesia dan sekarang sudah rangking 7 dan 8 nasional untuk SMP dan SMA. Guru-guru di Sumbar mendapat penilaian yang terbaik di Indonesia. Guru peringkat 1 nasional untuk SMP dan SMA tahun ini adalah dari Sumbar. Nagari sebagai struktur terendah administrasi pemerintahan setara Desa yang sekarang jumlahnya sekitar 70 ribu di Indonesia, dalam penilaian nasional yang nomor 1 adalah Nagari Sungai Pua di Agam. Mereka yang tersebut di atas diundang Presiden ke Istana Negara pada HUT RI kali ini.
Tentu saja apa yang disampaikan Gubernur bukanlah secara total menggambarkan apa yang telah dicapai 4 atau 5 tahun terakhir, apalagi menjadi idaman semua pejuang dan rakyat keseluruhan secara sempurna. Karena kemerdekaan sebagai gerbang sekaligus jembatan emas kesejahteraan harus senantiasa diperjuangkan, direncanakan, dan dilaksanakan terus menerus oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat tanpa henti dari masa ke masa dan generasi ke generasi.
Bahwa ketimpangan antara kaya dan miskin tetap akan ada sepanjang masa adalah suatu keniscayaan. Orang sakit yang kesulitan mencari obat karena ketiadaan biaya atau yang mau sekolah tetapi ekonomi macet akan tetap ada. Akan tetapi jarak dan jurang antara harapan dan kenyataan harus senantiasa dipersingkat dan dipersempit. Itu artinya kemurkaan tidak selalu disemburkan ke mana-mana. Namun kritik dan apresiasi yang proporsional mesti pula ada.
Sejalan dengan itu harus difahami pula firman Allah yang mengatakan, “bila kamu bersyukur maka Allah akan tambahkan nikmat dan bila kamu kufur, maka ingatlah azab Allah maha pedih”. Pemahamannya di samping berzikir, bertasbih dan bertahmid harus dengan kreatif dalam fiil, perbuatan dan ikhtiar. Bersyukur, kiranya direalisasikan di samping memperkuat ibadah, memperkokoh iman, sejalan dengan bersungguh-sungguh dalam setiap kerja dan amal kebajikan. “Fastabiqul khairat, berlomba-lomba dalam setiap kebaikan”.***