Senin, 04 January 2010
Suka Duka TKI Timur Tengah
LAPORAN SHOFWAN KARIM DARI MAROKO (10-HABIS)
Seperti tak habis-ha-bisnya ispirasi untuk laporan berdasarkan pandangan ma-ta dalam kunjungan kali ini. Di dalam penerbangan kem-bali ke Tanah Air antara Casablanca ke Dubai, laporan saya dalam pesawat. Di pesa-wat ada pelayanan charging battery oleh air crew Emirates.
Sesampai di Dubai dini-hari (25/12), saya langsung menuju gate pemberang-katan ke Jakarta. Alangkah kagetnya saya melihat ratu-san orang, kebanyakan wani-ta di ruang tunggu sebelum boarding. Begitu banyaknya, sehingga tak tertampung oleh kursi yang tersedia dan se-bagian besar duduk di lantai.
Mereka adalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang cuti atau pulang habis kon-trak dengan majikan mereka di berbagai negara di Teluk Persia dan Jazirah Arabia, termasuk Afrika Utara. Me-reka berangkat dari kota di mana bekerja untuk transit di Dubai, selanjutnya terus ke Tanah Air. Saya tertarik ber-cakap-cakap dengan mereka. Beberapa yang duduk di kursi kelihatan agak sedikit intelek. Pertanyaan saya sederhana saja. Apa yang paling menyenangkan?
Seorang yang bekerja di Saudi Arabia mengatakan, kebahagiaannya adalah ke-tika dibawa majikannya libur naik mobil bagus berwisata ke Bahrain yang terletak di sebuah pulau yang bukan temasuk Arab Saudi, tetapi sebuah Negara sendiri. Ia dibawa majikannya dengan mobil naik jembatan terpan-jang kedua di dunia. Jem-batan itu pangkalnya di wila-yah Dammam, Provinsi Ti-mur, Saudi Arabia dan ber-ujung di Bahrain.
Inilah pengalaman per-tama sepanjang hidup, ka-tanya. TKI yang saya ajak bercakap-cakap ini di an-taranya dari Lampung, Je-para, Jawa Tengah dan Sum-bawa, NTB. Menurutnya begi tu panjangnya Jembatan Raja Fahd itu, sehingga tak nampak ujungnya entah di mana. Setelah saya lacak di internet, ternyata panjang jembatan itu 25 km. Jem-batan ini terpanjang kedua setelah Nyatanya Bang Na Expressway, di Thailand (54 km) dari 10 jembatan terpan-jang di dunia.
Mengapa orang Arab lebih suka naik jembatan dan kenapa tidak naik pesawat atau kapal laut? Katanya, orang Arab ada juga takhayul-nya. Mereka takut air laut dan karena kalau naik pesa-wat atau naik kapal laut dan terjadi apa-apa, akan jatuh ke laut. Dan laut pada hari kiamat nanti menjadi api.
Lalu ketika saya tanya, apa yang paling menyakitkan hati? Maka jawabnya me-nyentuh tali-dawai hati kebe-ragamaan saya. Katanya, saya sakit hati betul kepada majikan karena dijanjikan pergi umrah ke tanah suci Mekkah, tetapi tak jadi. Sam-pai hari kepulangan, sudah 15 bulan saya bekerja, janji itu belum juga ditepati, tu-tupnya sambil besemu sedih.
Data terbaru belum ter-lacak, tetapi menurut situs Depnaker-trans, selama tiga tahun (2003-2005), TKI yang diberangkatkan ke negara-negara Timur Tengah menca-pai 579.488 orang. Hanya 5.159 orang TKI atau sekitar 1% yang bekerja di sektor formal atau skill labor. Artinya, 99% bekerja di sektor informal, seperti penata laksana ru-mah tangga atau istilah Arab-nya khodimah.
Sementara jumlah TKI yang dikirim ke empat ne-gara Asia Timur (Jepang, Korea Selatan, Hong Kong dan Taiwan) pada periode yang sama 96.534 orang. Namun komposisi jenis profesi TKI di Asia Timur jauh lebih baik. Sebanyak 21.946 TKI (sekitar 22,73%) bekerja di sektor formal, mulai di pabrik ma-nufaktur, teknisi, industri pertanian/perikanan, hingga hiburan/entertainer. Lain-nya, sekitar 77,27%, bekerja di sektor informal. Sebagian besar TKI yang bekerja di sektor informal adalah pem-bantu rumah tangga di Hong Kong dan Taiwan.
Kembali ke TKI tadi, saya bertanya lagi soal isu pende-ritaan sebagian TKI di Timur Tengah. Soal hukum pan-cung, soal penderitaan dan soal perilaku majikan terha-dap mereka. Seorang di anta-ranya mengatakan secara jujur memang ada kejadian yang tidak diinginkan. Tetapi amat tergantung juga kepada pribadi masing-masing dan nasib serta peluang yang tersedia. Kata seorang dari mereka, banyak juga majikan yang baik-baik. Kadang-kadang kita bahkan merasa bukan pembantu, karena si ibu atau si bapak ingin lang-sung melayani putra-putri-nya. Kita hanya kerja yang lain seperti bersih-bersih saja. Masak pun kadang ibu rumah. Bahkan ada yang diberi cuti, jalan-jalan dan umrah atau bahkan naik haji.
Biasanya nasib baik kalau bermajikan kepada keluarga para ulama, dosen dan pega-wai pemerintahan serta pe-bisnis besar atau kaum inte-lek yang budayanya cukup tinggi. Tetapi tak ayal juga kalau bernasib malang, mi-salnya mendapat majikan orang kebanyakan, guru ting-kat rendah atau pegawai rendahan dan pebisnis ren-dahan, ya sering dapat sum-pah serapah juga. Soal isu pemerkosaan juga harus hati-hati. Karena tidak ja-rang, sedikit saja si TKI memberi hati kepada lain jenis dalam keluarga atau tamu lainnya, maka itu bisa mengundang sengsara. Aneh nya, selalu saja yang salah TKI, meski sudah di bawa ke meja pengadilan.
Oleh karena itu, kita harus sangat hati-hati. Bagaimana lagi, katanya, anak-anak perlu biaya sekolah. Dengan hanya suami menjadi soko-ekonomi keluarga, pastilah pendidikan anak tidak sesuai keinginan. Dan kalau saya bekerja di daerah asal, mana ada yang memberi gaji me-madai. Berapa pendapatan, tanya saya? Wah, kalau dolar naik nilai tukarnya, maka lumayan, antara dua sampai tiga juta rupiah perbulan. Tetapi sekarang dolar lagi turun, maka pendapatan juga turun. Maka tak salah, kalau mereka dianggap pahlawan devisa, seperti kata spanduk ucapan selamat datang yang menyambut mereka di pintu keluar Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng itu. (*)</TD< tr>
Berita Lainnya