Kamis, 24 December 2009
Sambutan Hangat Keluarga Dr. Bashil
![]()
LAPORAN SHOFWAN KARIM DARI MAROKO (4)
Sambutan hangat, menyentak hati. Ada dua pasang suami isteri berdiri ceria di ruang tamu bangunan rumah klasik bernuansa campuran Arab dan Mediterania mengucapkan ahlan wa sahlan. Sebuah keluarga yang kelihatannya amat intelek, hidup berkecukupan dengan amat ramah menyalami saya dan Dr. Said Khaled El-Hassan.
Tuan rumah Dr. Bashil, CEO sebuah koporate ahli teknik sipil, langsung bersalaman dan memeluk saya. Sementara isterinya Dr. Salma, instruktur pada sebuah politeknik mengulurkan tangannya sambil tersenyum. Di situ sudah ada dua orang lainnya, sepasang suami isteri peserta workshop dari Mesir. Rupanya Dr. Muhammad Al-Amin dan Dr. Saidah Al-Mayssoon sudah mendahului saya mendarat dua jam sebelumnya sore itu. Kedua mereka adalah dosen di Universitas Al-Azhar di Mesir.
Yang pertama adalah pakar biologi dan yang kedua adalah pakar sosiologi dan sekaligus aktifis dan ahli kajian gerakan wanita di Timur Tengah.
Rupanya pembicaraan tidak lama, karena sebelumnya, Said memang mengatakan hanya menjemput dua peserta itu lalu akan makan malam tanpa menyebut di mana tempat makan malam itu. Sesudah itu baru berangkat dari Casablanca ke Rabat, kota tempat workshop yang berjarak sekitar 100 kilometer dari tempat kami sekarang.
Untuk suasana yang satu ini kelihatannya pengaruh budaya Eropa minim sekali. Dalam budaya Eropa, Amerika atau Barat secara umum, kalau akan makam malam di sebuah rumah keluarga, pasti ada info terlebih dulu. Untuk kali ini, termasuk Said, kelihatannya juga tidak tahu.
Sekretaris Jenderal Konfederasi Buruh Islam Sedunia pengundang dan menanggung semua tiket dan akomodasi saya, mengembangkan kedua tangannya turut mempersilahkan saya setelah Dr. Bashil menunjuk ke meja bundar. Said sekali lagi meng gerakkan kepalanya memberi tanda ‘ayo, ketika melihat saya ragu-ragu karena katanya tadi hanya lima menit berhenti di sini dan hanya menyinggahi dua peserta itu.
Di meja makan bulat besar, dikelilingi empat kursi, tersedia beraneka macam ragam penuh makanan. Salma, sang isteri menerangkan kepada saya apa jenis makanan itu dan berasal dari tradisi mana. Nah! Yang satu ini budaya barat sudah masuk. Apalagi Salma bergerak lincah seperti wanita modern barat. Memakai celana panjang dan sweater lengan panjang. Mula-mula menunjuk cembung besar berisi daging dengan bumbu yang agak aneh bagi saya.
Ada campuran saus warna cokelat, bagaikan kalio daging di Padang, ada biji-bijian hitam, cokelat dan hijau, kemudian tomat dan macam-macam lainnya. Ini, kata Salma adalah asli Maroko. Lalu ada sebuah wajan lebar untuk sayuran, jagung, tomat, cabai besar bulat hijau, kacang panjang, wortel, bayam, lobak, dan lainnya. Ini sayuran Italia, katanya.
Lalu ada risoles, dan katanya dari Cina, tetapi saya timpali bahwa risoles itu juga dari Indonesia. Seterusnya Salma menerangkan semua makanan dan dari mana asal masakan itu.
Ketika dia memasukkan semua jenis makanan itu dalam porsi sedikit-sedikit, kecuali dagingnya yang banyak, saya terus terang saja mengatakn, stop. Nanti tidak habis. Perut saya ukurannya kecil. Dia tertawa bersama suaminya dan termasuk dua teman dari Mesir tadi.
Salma mengatakan, kalau tidak habis tinggalkan saja dipiring itu. Tidak apa-apa. Maka saya dengan tingkah agak kikuk memulai santapan ini. Ya, tentu rasanya campur-campur. Untung saja lidah saya sejak hampir 30 tahun ini berjalan ke berbagai negara di dunia, sudah otomatis menyesuaikan. Kalau tidak, apa lagi muntah, maka tentu amat memalukan.
Gaya Eropa kembali terasa, ketika makan diselingi pembicaraan yang melebar ke mana-mana. Padahal sewaktu saya kecil, ayah dan ibu selalu melotot kalau berbicara sambil makan. Itu tabu alias buruk dan terce- la.
Bashil terus bicara menceritakan soal keluarganya. Anaknya yang perempuan Nadia, kelas 2 SMA, senang belajar matematika. Sementara adiknya Hisyam, yang masih SD usia 9 tahun suka sekali geografi atau ilmu bumi.
Hampir semua kota di dunia dengan data-data singkatnya dikuasai si bungsu anaknya itu. Maka bila kami ingin tahu tentang satu negara, kami bertanya kepadanya. Tetapi sayang dia pemalu, kata Bashil. Sementara Nadia, mungkin relevan dengan kesukaannya matematika itu, tidak pemalu hanya lugas, terus terang dan amat kaku. Artinya, kalau lagi berdebat, susah sekali mengubah pendapatnya apa lagi menyetujui jalan pikiran lawan bicaranya. (*)