Rabu, 30 December 2009
Apartemen untuk si Miskin
LAPORAN SHOFWAN KARIM DARI MAROKO (7)
Kamis 24 Desember, Dr. Said Khaled El-Hasan, meminta mahasiswa Abdul Ali menemani saya ke Casablanca. Mahasiswa tahun pertama studi hubungan internasional ini adalah mahasiswa Said di Universitas Raja Muhammad V, Rabat. Oleh Abdul Ali, Dr. Said disebut profesor, meski Said hanya menambah doktor di depan namanya. Rupanya oleh mahasiswa di Moroko semua dosennya adalah professor.
Pagi-pagi Said mengantar saya dan Ali ke stasiun kereta Rabat. Perjalanan ke Casablanka ditempuh satu jam. Jarak antara Rabat-Casablanca 100 km, kira-kira Padang ke Pasie Ampek Angkek, Canduang, Agam. Jadi kecepatan kereta yang kami tumpangi berkecepatan 100 km perjam.
Saya katakan kepada Ali, kereta ini mengingatkan saya kepada kereta di Eropa yang canggih, bagus, bersih dan modern.
Kata Ali, kereta di Maroko mulai dibangun 1960 dan diperbaharui dengan yang modern seperti di Eropa ini baru dua tahun lalu, setelah tahun 1995 juga diperbarui, tetapi belum semodern sebagai sekarang.
Wajarlah kalau keliha tannya untuk arah tertentu masih ada yang buatan 1995 itu dipakai, meski agak ke tinggalan dalam hal bentuk, interior, dan asesorisnya, kecepatannya mungkin sepa roh lokomotif yang baru.
Menikmati perjalanan kereta ini, seakan mengajak kembali pikiran saya melanglang buana ke kereta kita. Masyakat perkeretapian Sum bar telah berhasil memperjuangkan hidupnya kembali jalur kereta yang diembeli kosa kata wisata, Padang ke Pariaman dan Padang Panjang ke Sawahlunto sejak 2 tahun lalu. Tetapi tentu tidak relevan membayangkannya dengan kereta api (listrik) di Maroko ini. Rabat, ibukota Maroko bahkan kini sedang membangun rel kereta Metro atau tram di sepanjang jalan utama.
Menurut Dr. Sameer, yang menyopiri beberapa kali mobil yang saya tumpangi dari Hotel Rihab ke tempat Workshop kantor Pusat Islamic Science, Economi, Sosial and Culture Organization (ISESCO), Metro sebagai transportasi massa kota Rabat akan selesai pembangunnya dua tahun lagi. Metro ini menambah kegairahan kota di negeri kerajaan yang setiap tahun mendatangkan wisatawan sekitar 8 juta orang.
Di Maroko, kata Dr. Sameer, teman saya yang juga dosen itu, banyak yang miskin. Tetapi pemerintah memberikan perhatian luar biasa. Perumahan, misalnya. Rumah-rumah tua kaum dua fa itu di bongkar dan diganti dengan apartemen. Kami melewati komplek itu dua hari lalu di balik deburan ombak agak besar diiringi hujan di pantai Atlantik, Rabat.
Pembangunan apartemen kaum tak berpunya itu, meng ingatkan saya kepada apa yang juga dilakukan oleh pemerintah Cina terhadap perkampungan kumuh war ganya yang dibongkar, de ngan terlebih dulu memba ngun komplek apartemen. Sekalian ingatan ini mene rawang ke daerah nelayan pantai Purus Padang yang juga kena pembangunan dan pelebaran jalan beberapa waktu lalu.
Bedanya mungkin dulu di Purus, nelayan itu diberi ganti rugi lalu kemu dian menurut selera masing-ma singlah digunakan dana ganti rugi itu. (*)