Ledakan Intelektual Muslim
Oleh : Ahmad Syafii Maarif
KH Wachid Hasjim pernah mengatakan bahwa awal 1950-an mencari seorang intelektual/akademisi di kalangan NU sama sulitnya dengan mencari es tengah malam. Di era itu, memang belum ada kulkas yang setiap saat dapat memproduksi es, tidak peduli siang atau malam. Intelektual di sini haruslah dimaknai mereka yang mendapat pendidikan umum (Barat), karena dunia pesantren sebagai kubu terkuat NU memang lebih banyak menghasilkan para kiai dengan penguasaan kitab kuning, bukan kitab putih. Wachid Hasjim dan KH Iljas adalah di antara sedikit kiai NU pada waktu itu yang dapat dikategorikan sebagai kiai-intelektual.
Baru di era kepemimpinan Abdurrahman Wahid sejak 1984, secara berangsur, tetapi pasti, kalangan NU mulai melahirkan kaum intelektual yang semakin hari semakin membesar. Di awal abad ke-21, kita tidak tahu persis dari sisi jumlah apakah intelektual NU telah melampaui jumlah intelektual Muhammadiyah atau berimbang, sementara dari sisi jumlah kiai, Muhammadiyah masih jauh ketinggalan. Fenomena ini tentu sangat menggembirakan. Telah terjadi ledakan dahsyat dalam jumlah intelektual Muslim yang lahir dari rahim kedua gerakan Muslim arus utama itu. Dari organisasi-organisasi Islam yang lain, tentu telah muncul pula kaum intelektual dalam jumlah tertentu sesuai dengan strategi masing-masing gerakan untuk menghasilkan sosok yang dimaksud.
Yang tidak kurang menariknya adalah kenyataan intelektual muda NU, tidak semuanya belajar di Barat. Bisa juga di Mesir dan di negara-negara Arab lainnya, tetapi paradigma berpikir mereka hampir serupa. Saya rasa semuanya ini terjadi berkat gebrakan Gus Dur yang telah menerjang semua lini sampai batas-batas yang jauh. Adapun kemudian memicu kontroversi, tentu lumrah belaka. Adapun dari kalangan Muhammadiyah, intelektual muda yang baru tampil, tampaknya tidak ada tokoh sentral yang dijadikan rujukan. Mereka bebas saja mencari rujukan dari beberapa pemikir domestik dan luar negeri. Tetapi, ada pula fakta ini: setidak-tidaknya terdapat tiga intelektual Muhammadiyah yang ‘lengket’ dengan Gus Dur: Moeslim Abdurrahman, Habib Chirzin, dan M Sobari. Karena ketiganya tidak berasal dari subkultur serbahierarkis, mereka bergaul dengan Gus Dur atas dasar filosofi egalitarian, sesuatu yang agak sulit dilakukan oleh generasi muda NU, setidak-tidaknya ketika memasuki periode peralihan dalam kultur pesantren.
Di akhir 1980-an, atas inisiatif Dr Zamakhsyari Dhofier (rektor IAIN Wali Songo ketika itu), saya dan Prof Safri Sairin diajak memberi kuliah kepada mereka yang dikategorikannya sebagai pembibitan dosen IAIN calon doktor di luar negeri (Amerika Serikat, Eropa, dan Australia). Alhamdulillah, bibit-bibit ini sekarang mungkin seluruhnya telah berhasil mendapatkan PhD dan sebagian bahkan telah menyandang gelar guru besar. Ini adalah di antara jasa Bung Dhofier dalam upaya mencetak para doktor dari kampus IAIN, yang berasal dari berbagai subkultur gerakan Islam Indonesia. Dalam ungkapan lain, Dhofier melalui caranya sendiri telah turut berperan dalam proses peledakan intelektual Muslim itu.
Sekarang tanpa menghitung berapa jumlah mereka, ada pertanyaan sangat menantang yang perlu dijawab. Apakah intelektualisme mereka akan mudah terseret oleh tarikan politik pragmatis yang sangat menggoda, demi perbaikan ekonomi pribadi? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini, memang. Sebab, katakanlah, seorang PhD yang baru pulang dari negara lain, pasti akan menghadapi keterbatasan ekonomi untuk menopang hidup keluarga mudanya. Dalam iklim serupa ini, pintu politik seakan-akan menjadi jalan pintas untuk memenuhi desakan itu, sekiranya mereka berhasil dalam karier yang mungkin terpaksa dilakukan. Saya belum menemukan solusi tentang bagaimana caranya agar doktor-doktor muda ini tetap berada di ranah idealismenya dalam upaya membangun kultur bangsa yang lagi sarat masalah ini, tetapi tidak menderita secara ekonomi.
Memang sudah tersedia beberapa lembaga latihan dan penelitian, seperti P3M, Nurcholish Madjid Society, Wahid Institute, Maarif Institute, dan ada yang lain, tetapi daya tampung lembaga-lembaga ini sangat terbatas, baik dalam masalah dana, formasi, dan kegiatan. Maarif Institute, misalnya, dalam soal perkantoran saja, masih harus dibantu Pak Jakob Utama, sedangkan untuk biaya operasional di samping didukung oleh pribadi-pribadi donatur yang tak perlu disebutkan di sini, juga melalui kerja sama dengan pihak luar. Mungkin P3M dan Wahid Institute sudah punya ruang tampung yang lebih lebar bagi para doktor yang baru datang. Akhirnya, pertanyaan di atas belum bisa dijawab, perlu dibicarakan bersama.
(-)