Rector Muhammadiy…
Fundamentalisme Barat Bukan Islam
Oleh Shofwan Karim, Dosen Jrs. Aqidah dan filsafat IAIN Padang
Fundamentalisme (Fundamentalism) terambil dari kata latin fundamentum yang berarti dasar. Fundamentalisme adalah gerakan dalam agama Protestan Amerika yang menekankan kebenaran Bible bukan hanya dalam masalah kepercayaan dan moral, tetapi juga sebagai catatan sejarah tertulis dan kenabian; misalnya tentang kejadian, kelahiran Kristus dari ibu yang perawan dan sebagainya (Ka’bah, 1984). Dalam kalimat lain fundamentalisme adalah memelihara interpretasi literal tradisi kepercayaan dalam agama Kristen yang berlawanan dengan ajaran yang lebih moderen (AS Hornby, 1987).
Menurut Imarah (1999) fundamentalisme di dunia Barat bermula dari gerakan Kristen Protestan Amerika pada abad ke-19 M. yang mengimani bahwa Al-Masih secara fisik akan kembali ke dunia untuk yang kedua kalinya mengatur dunia ini seribu tahun sebelum datangnya kiamat. Makna ini mereka pegang terhadap "mimpi" Yohana (kitab Mimpi 20-1-10) secara literal. Maka gerakan ini disebut juga Gerakan Millenium.
Gerakan ini pada abad ke-20 menjadi sekte independen yang selalu mensosialisasikan dan mengkristalisasikan pemahaman seperti ini di kalangan mereka atau pihak luar terhadap penafsiran injil yang bersifat literal tersebut. Pendeta-pendeta mereka mengajak untuk memusuhi realita, menolak perkembangan dan memerangi masyarakat sekuler yang baik maupun yang buruk. Mereka mengklaim bahwa mereka mendapat tuntutan langsung dari Tuhan. Mereka mengisolisasikan diri dari masyarakat umum, menolak berinteraksi dengan realitas, memusuhi akal dan pemikiran serta hasil penemuan dan penelitian ilmiah dan seterusnya. Itulah sejarah fundamentalisme Barat dengan visi Kristen yang berkembang hingga sekarang ini.
Selain itu istilah fundamentalisme sering dikontradiksikan dengan modernisme (Ka’bah, 1984:2) yaitu aliran yang mengutamakan setiap yang moderen atau baru dari setiap apa yang lama dan kuno. Modernisme dalam rangka ini, dapat bercirikan : kreatif terhadap fenomena dengan metode ilmiah untuk kepentingan manusia. Ciri lain adalah diferensiasi dan fleksibel dalam mekanisme sosial dan memupuk keahlian serta pengatahuan individual untuk hidup dalam dunia teknologi maju (Ka’bah, idem). Segaris dengan itu fundementalisme juga berarti oposisi para gerejawan ortodoks terhadap sains moderen, ketika para saintis moderen itu menemukan dan menganalisis sesuatu yang bertentangan dengan yang disebutkan secara literal oleh Bible. Dengan kata lain orang-orang yang mempertahankan sikap-sikap ortodoks ini dalam Kristen menamakan dirinya sebagai fundamentalis yang secara diameteral bertentangan dengan liberalisme dan modernisme.
Di lain pihak, masih menurut Imarah (1999) istilah fundamentalisme yang pada umumnya diterjemahkan menjadi ushuliyah di kalangan kaum muslimin tidak begitu populer. Di dalam wacana al-Quran, al-ashlu bermakna dasar sesuatu, bagian terbawah dan akar. Bentuk jamaknya adalah ushul, seperti dalam al-Hasyr: 5, al-Shaaffat: 64 dan Ibrahim: 24,
(Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah …;
Sesungguhnya dia adalah sebatang pohon yang ke luar dari dasar neraka Jahim.;
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,)
Oleh ulama fikih al-Ashlu menurut Imarah(1999) juga disebut untuk undang-undang atau kaidah yang berkaitan dengan cabang atau furu’ dan masa yang telah lalu. Ulama ushul fikih misalnya mengatakan, al-Ashlu fi syai al-ibahah asal segala sesuatu adalah boleh. Ushul adalah juga berarti prinsip-prinsip yang telah disepakati atau diterima.
Selanjutnya bagi ulama usul fikih, kata al-ashlu dapat dipahami dalam beberapa makna. Pertama, dalil. Dikatakan bahwa asal masalah ini adalah al-Kitab dan Sunnah. Kedua, kaidah umum. Dan ketiga, yang rajih atau paling kuat dan paling utama (Ibn Manzhur, 1891). Dalam konteks ini (Imarah, 1999) mengkaitkan bahwa dalam peradaban Islam telah dibangun ilmu-ilmu ushuluddin: Ilmu Kalam, Tauhid dan ilmu fikih. Juga ilmu ushul fikih yaitu ilmu yang membahas kadiah-kaidah dan analisis yang digunakan untuk menarik kesimpulan-kesimpulan hukum-hukum syara’ secara praktis menurut rincian dan dalil-dalilnya. Begitu pula ada ushul hadist yang disebut musthalah hadist. Dengan uraian di atas maka nampaknya dalam studi klasik dan perkembangan Islam tidak dikenal istilah ushuliyah dalam makna Barat yang disebut fundamentalisme dalam segala pengertian-pengertian yang dikenal Barat seperti di atas tadi.
Oleh karena itu seperti dielaborasi oleh Imarah (1999) terlepas dari semua itu, aliran pemikiran atau mazhab apapun dalam Islam tidak pernah ada yang bersikap seperti kaum fundamentalisme Barat tadi dalam menyikapi dan menggunakan penafsiran al-Alqur’an dan al-Sunnah. Jadi, penamaan fundamentalisme terhadap kelompok tertentu dalam Islam dari kacamata Barat sebenarnya tidak tepat . Keadaan itu amat berbeda bahkan jauh dari konsep dasar yang mereka kembangkan terhadap fundamentalisme Kristen pada abad ke-19 dan berkembang di abad 20 lalu yang menolak sama sekali penafsiran dan takwil atau majas dan metafor lainnya. Yang ada dalam Islam adalah perbedaan kadar penakwilan. Ada yang membatasi atau sedikit, lebih banyak atau sedang-sedang saja bahkan ada yang lebih berani dalam hal yang lebih luas. Pada pokoknya penakwilan itu sama sekali tidak ditolak oleh aliran dan mazhab dalam Islam seperti yang terjadi pada sekte tertentu Kristen Protestan di awal abad ke-19 itu. Dalam hal penggunaan akal serta metoda ilmiah dalam mengaplikasikan agama serta respon terhadap modernisme juga amat berbeda dengan kalangan fundamentalisme agama visi Barat. Islam tidak menolak tetapi menyeleksi semuanya itu. Mana yang relevan, dapat diakomodasi mana yang merusak, ditolak.
Jadi tuduhan terhadap adanya kelompok fundementalisme dalam Islam, lebih kepada kerangka teori dan visi Barat terhadap perkembangan Kristen di Barat yang dianalogkan dengan Islam tidaklah dapat dibenarkan. Akan tetapi label tersebut terlanjur telah digeneralisasikan. Sehinggga apa saja yang diperjuangkan umat Islam di berbagai negara sesuai dengan agamanya dan bertentangan dengan pendapat umum di Barat dituduhkan sebagai fundamentalisme Islam. Sesuatu yang secara sadar atau tidak, telah pula diambil alih oleh kalangan Islam itu sendiri. Maka apa yang dilakukan kelompok tertentu kaum muslimin di Aljazair, di Iran dan di Sudan dan lain-lain tempat, bukan hanya pihak Barat yang menyebutnya sebagai kaum fundamentalisme Islam bahkan juga wacana dan opini di negeri Islam dan kalangan kaum muslimin sendiri telah menerimanya tanpa kritik. Begitu pula gerakan gerakan Islam yang gigih memperjuangkan Islam sebagai jalan kehidupan (way of life) seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir dengan tokoh-tokohnya seperti Hasan al-Bana, Said Qutub, Jamaat Islami di Pakistan dengan tokoh sentralnya Abul a’la al-Maududi, dan gerakan sejenis di Sudan dengan tokoh sentralnya Hasan Turabi, dan lain-lain, semuanya dianggap gerakan kaum fundamentalisme Islam. Sehingga kini istilah fundamentalisme sudah menjadi umum berlaku dan bila ada kaum muslimin yang berjuang untuk menegakkan prinsip pokok agamanya, mereka langsung oleh pihak lain dicap atau diberi label sebagai kaum fundamentalisme Islam. Sesuatu yang aneh, salah kaprah tetapi nyata.***
Rujukan:
Al-Qur’an al-Karim
Rifyal Ka’bah, Islam dan Fundamentalisme, (Jakarta: Panji Mas, 1984)
Muhammad Imarah, Fundamentlisme dalam Perrspektif Pemikiran Barat
dan Islam, (Jakarta: Gema Insani , 1999).
AS Hornby, Oxford Advanced Leaner’s Dictionary of Current English, (Oxford:
Oxford Univ. Press, 1987)