:::HARIAN SINGGALANG ONLINE :::

ES.Foto.WisudaUMSB.Bkt.ke2.2009 

Selasa, 31 Agustus 2010

Eligi dari Padang Bintungan

SHOFWAN KARIM
DHARMASRAYA – Sekitar 33 tahun lalu, rimba itu mulai diteruka. Ada 450 kepala keluarga membuka hutan kehidupan dalam belantara nasib yang mulai ditapaki. Maaruf, adalah salah satu di antara kepala keluarga yang mengekas kaki dan tangannya mencakar merambah semak-belukar perawan tak bertuan itu dulu.
Arah ke Selatan, lebih kurang 17 km dari Koto Baru, kini wilayah ini sudah menjadi enam jorong dalam Kenagarian Sialang Gaung dan segera akan menjadi Kenagarian Padang Bintungan.
Anak Nagari Bintungan merasa tenteram hidup setelah menjadi kaum muhajirin di pertengahan 1970-an. Mereka adalah kawula nusantara yang hijrah dari Wonogori dan sekitarnya setelah proyek waduk raksasa itu menjadi listrik penerangan Jawa dan Bali.
Masa-masa sulit di Jawa, mereka tinggalkan tahun 1977. Inilah transmigrasi bedol desa jadi proyek prestisius Orde Baru terbesar dan pertama kali di dunia. Sekitar 60.000 jiwa warga dari Wonosori harus meninggalkan desa mereka menuju ke Sitiung dan Rimbo Bujang.
Tak sia-sia memang, tulis Suara Merdeka yang sengaja mengutus wartawannya beberapa tahun silam ke Sitiung. Setelah beberapa tahun, kawasan transmigran tersebut kini menjadi magnet pengembangan ekonomi-sosial, sehingga desa-desa di sekitarnya ikut terangkat. Warga trans rata-rata berkehidupan baik dan boleh dibilang sukses.
Padang Bintungan adadi Blok D Sitiung I, sebuah kawasan yang dikenal luas karena kesuksesan kaum transimigrasinya.
Nyaman
Kata Maaruf, hidup mereka nyaman dan soal ekonomi tidak terlalu payah. Mereka membuka sawah dan ladang. Ada yang menanam padi dan tanaman plawija. Ada yang beternak memelihara penggemukan sapi. Ada pula yang membuka kebun karet tentu sebagian ada yang mengikuti proyek inti-plasma kebun sawit.
Selebihnya banyak yang menjadi buruh di berbagai lahan perkebunan dan pertambangan. Sebagai bagian dari wilayah Dharmasyara, kabupaten baru usia 7 tahun, Padang Bintungan menjadi sepenggal harapan kehidupan anak nagari. Dharmasraya yang kaya kebun sawit, kebun karet dan tambang batubara, mangan, bijih besi dan emas ini, juga membalut cerita dalam suka dan duka yang menyatu.
Maaruf, Sastro dan Miyarso, adalah tiga generasi (65, 55, 35 th) yang dengan setia hidup di sini. Mereka dengan sepenuh hati mengayuh biduk kehidupan bersama warga yang kini sudah berkembang menjadi 800 kepala keluarga dengan sekitar 2.000 jiwa.
Maaruf memiliki beberapa orang anak dan 3 di antaranya sudah sarjana dan pascasarjana. Sastro Tukimin adalah ketua pengurus Masjid Al-Falah yang menggantikan Maaruf. Miyarso, sarjana dan kini mengabdi di kantor Pemkab Kabupaten Dhamrasyara sekaligus menjadi motivator ulung bagi pembangunan masyarakat.
Sebagai sarjana ilmu sosial, Miyarso cekatan dan mampu menjadi pemimpin dalam segala hal bahkan sekaligus menjadi pemimpin ibadah.
Kata Maaruf, Masjid Al-Falah yang terletak di lahan hampir satu hektar, luas bangunannya berukuran 20 kali 20 meter itu adalah wakaf dari satu keluarga dari Kuwait pada lebih kurang 20 tahun lalu.
Ketika Tim Safari Ramadhan Pemprov Sumbar Sabtu, 28 Agustus 2010 berkunjung ke masjid ini, kelihatan jamaahnya penuh sesak. Tim I dipimpin Kasi Humas Kajati Sumbar Koswara yang beranggotakan Rektor Universitas Muhamadiyah Sumatra Barat (UMSB) DR. Syofwan Karim, Biro Binsos Karimis, Balai Diklat Sumbar, Badan Pemberdayaan Masyarakat, perempuan dan KB, Suratman, dosen IAIN Imam Bonjol Padang. Tim selain menyampaikan informasi pembangunan, ceramah agama serta menyerahkan bantuan uang tunai sebesar Rp9 juta, 25 buah Alquran dan sepuluh buah terjemahaan Alquran kepada pengurus masjid setempat
Miyarso yang muda dan cekatan itu bahkan di sela-sela memimpin acara, menyelipkan pesan-pesan. Katanya, semua makanan dan minuman yang disajikan malam itu adalah produk anak Nagari Padang Bintungan.
Kecuali teh yang disedu malam ini adalah asli dari Jawa tetapi khas untuk Padang Bintungan, maka yang lain adalah produk tani anak nagari di sini. Istimewa dari itu, rupanya Padang Bintungan menyimpan sekitar seratusan sarjana S1 dan sepuluhan sarjana S2 dari berbagai disiplin ilmu. Termasuk sarjana pertanian dan peternakan. Mereka alumni dari berbagai Universitas dan Perguruan Tinggi di Sumbar dan di Jawa.
Tetapi, Maaruf tetap saja menyelipkan sebuah eligi. Irama perjuangan dan kepedihan. Katanya, kebanyakan anak-anak mereka yang sarjana, terpaksa keluar daerah mencari pekerjaan. Ada yang di Jawa atau wilayah lain di Sumatra. Di antara mereka banyak juga yang masih tinggal di Padang Bintungan dengan ijazah yang disimpan baik-baik dalam lemari. “Walau begitu, kami ikhlas,” kata Maaruf sambil tersenyum penuh arti. (*)

:::HARIAN SINGGALANG ONLINE :::

Diterbitkan oleh Home of My Thought, Talk, Writing and Effort

Mengabdi dalam bingkai rahmatan li al-alamin untuk menggapai ridha-Nya.

%d blogger menyukai ini: