Jumat, 24 September 2010
Muhammadiyah Minangkabau Memasuki Abad Kedua
RB.Khatib Pahlawan Kayo
Minangkabau terkenal sebagai daerah yang punya kontribusi besar dalam mengembangkan Muhammadiyah di Indonesia. Bahkan jelang abad ke-21 hingga sekarang terus berpartisipasi dalam upaya pengembangan Muhammadiyah Asean, khususnya di Singapura dengan obyek pengembangan sebuah Perguruan Tinggi Islam pertama yang diberi nama “Kolej Islam Muhammadiyah” bekerjasama dengan IAIN Imam Bonjol Padang sejak 15 April 2000. Doeloe ketika Muhammadiyah baru berdiri di Yogyakarta pada 1912, tidak lama setelah itu berdiri pula di Sungai Batang Maninjau pada 29 Mei 1925. Dalam waktu singkat Muhammadiyah tumbuh hampir di seluruh nagari di Minangkabau. Pertumbuhan tersebut semakin konkret setelah Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi (14-21 Maret 1930) berlangsung sangat sukses yang dihadiri ribuan peserta dari seluruh Tanah Air, tak terkecuali perantau Minang pulang basamo. Pertemuan akbar itu disebut juga sebagai kongresnya masyarakat Minangkabau. Tampilnya kader-kader muda seperti HAMKA dan M.Zen Jambek dalam pidatonya yang berapi-api. Sampai akhir tahun 50-an, Muhammadiyah telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika kehidupan masyarakat Minangkabau. Buktinya bisa dilihat dalam konteks pemahaman hidup beragama yang berkemajuan dengan motto “kembali kepada Alquran dan Al-Sunnah yang bebas TBC (Tahayul, Bid’ah dan Churafat).”
Muhammadiyah cepat tumbuh dan berkembang di Minangkabau, karena alumni Timur Tengah bekas murid Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (diawal abad ke-20), seperti Taher Djalaluddin, Abdul Karim Amrullah, Abdullah Ahmad, Djamil Djambek, Mohd.Thaib Umar dan Ibrahim Musa, Abbas Abdullah, dan lainnya, merancang membangun landasan pemikiran yang kritis bebas fanatik dan taklid melalui dakwah lisan dan tulisan. Dakwah itu disemaikan di berbagai surau dan madrasah yang dibina secara integral. Melalui penyebaran faham tajdid itu perubahan-perubahan dinamika berpikir mulai hidup di hati masyarakat, terutama di kalangan generasi muda yang terdidik. Akibatnya, terjadilah proses pencerahan nalar dalam memahami hakekat ajaran Islam dari kondisi statis-pasif yang hanya menjadikan agama sebagai simbol yang terlihat dalam upacara-upacara tradisional; seperti perkawinan, kelahiran, kematian, turun ke sawah, tolak bala dan ziarah ke kubur-kubur keramat, beralih memasuki wilayah aplikatif. Aplikatif yaitu menerjemahkan pesan-pesan Alquran dan hadits Rasulullah ke ranah pencerahan dan pencerdasan ber pikir dengan nalar kritis, dalam kondisi yang dinamis.
Di tengah-tengah gelombang berpikir yang bergejolak maju itulah organisasi Muhammadiyah Minangkabau berkembang dengan pesatnya. Bersamaan dengan itu, disusun barisan dengan organisasi yang kuat dan kader-kader yang militan melalui gerakan Pandu Hizbul Wathan dan pengajian-pengajian berkala di setiap cabang dan ranting. Tak lama kemudian berdirilah amal-amal usaha yang menjadi kebutuhan masyarakat seperti sekolah/madrasah, panti asuhan, balai pengobatan, penyantunan fakir miskin dsb. Gerakan memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara kaffah ini senantiasa dibimbing agar selalu konsisten berpegang teguh kepada dua sumber pokok hukum Islam yakni Alquran dan Al-Sunnah.
Gerakan dakwah Muhammadiyah menyigi praktik pengamalan agama dalam masyarakat, mana pola dan gaya hidup yang perlu dikembangkan dan mana pula yang perlu direformasi karena tercemar prilaku syirik, khurafat, bid’ah dan tahayul. Gerakan Islam Muhammadiyah dengan corak berpikir demikian merupakan bagian tak terpisahkan dari apa yang disebut “Gerakan Kaum Muda” yang berbasis ulama intelektual.
Perubahan-perubahan terjadi, dimulai dari menerjemahkan khutbah Jumat, Shalat Id di tanah lapang, membetulkan arah kiblat, pengumpulan zakat melalui amil dan mendistribusikannya kepada asnaf yang delapan. Meninggalkan makan-makan di rumah kematian, talqin mayat dikubur dan sesajian untuk roh-roh jahat di tempat-tempat yang sakti dan seterusnya.
Muhammadiyah dengan misi dakwah amar maruf, nahi munkarnya semakin kokoh, karena didukung kepemimpinan yang kuat dan semangat juang (jihad) yang tinggi dalam wadah organisasi yang solid. Ruh kepemimpinan spiritual yang menyatu dalam kepribadian/kharismatik para tokoh pembaharu tersebut di atas, merupakan motor penggerak dari persyarikatan Muhammadiyah, kemudian diteruskan dalam bentuk pembinaan ruh tauhid oleh Buya AR.Sutan Mansoer. Sedangkan dalam menggerakkan organisasi dan pendidikan sebagai wadah perjuangan; peran Buya Saalah Yususf Sutan Mangkuto, HAMKA, A.Malik Ahmad dan Harun ‘L Ma’any sangat menentukan. Sementara untuk operasional pengembangan dakwah dan tajdid dalam arti yang lebih luas, muncul kader berlapis seperti Buya R.I.Dt.Sinaro Panjang, Abdullah Kamil, Yacub Rasyid, Iskandar Zulkarnaini, H.Sd.M.Ilyas, ZAS, Oedin, Marzuki Yatim, Samik Ibrahim, Duski Samad, H.Darwas Idris, HAK.Dt.Gunung Hijau, Hasan Ahmad, Hasan Byk dan H.M.Idris Manaf, dll.
Semua bentuk keberhasilan para pendahulu itu perlu warisi dan dikembangkan untuk diteruskan kepada generasi berikutnya. Meskipun banyak tantangan dan rintangan dalam tahap-tahap awal perkembangannya, namun kita gembira, saat ini alah basuluah matohari – bagalanggang mato rang banyak alhamdulillah apa yang dirintis dan diperjuangkan Muhammadiyah telah menjadi bagian tak terpisahkan dari jati diri umat Islam Minangkabau.
Kini ketika Muhammadiyah memasuki abad kedua, kita bersyukur di level nasional bahkan internasional Muhammadiyah semakin besar dan kuat. Namun secara lokal di samping beberapa kemajuan yang perlu disyukuri, masih banyak pula hal-hal penting yang perlu dicermati. Ini misalnya pembenahan profesionalitas organisasi dan manajemen, peningkatan mutu dan kualitas kader serta amal usaha dan penguatan akhlaq kepemimpinan.
Bila dipakai analisis SWOT agaknya antara kekuatan dan kelemahan boleh dikata kurang seimbang, begitu juga antara peluang dan ancaman. Hal ini perlu disadari agar ke depan kekuatan harus dibangun dengan optimalisasi pemberdayaan segenap potensi dan sumber yang tersedia.
Sebagai organisasi yang cukup tua, Muhammadiyah tidak saja panjang umur, tapi juga kaya pengalaman dan banyak aset. Namun sebagaimana diungkapkan Prof.Dr.Amin Rais ketika menjabat Ketua PP Muhammadiyah mengatakan, Muhammadiyah menghadapi lima kelemahan yaitu; kepemimpinan, kaderisasi, organisasi, konsepsional dan mass media. Semua bentuk kelemahan itu memang dirasakan dan sebagiannya sudah dan terus diperbaiki namun masih banyak yang belum teratasi.
Menghadapi abad kedua ini, Muhammadiyah Minangkabau/Sumatra Barat sudah waktunya berbenah diri lebih serius dengan melanjutkan apa-apa yang telah dirintis sebelumnya. (*)