KUTBAH IDUL ADHA

Selasa, 16 November 2010

KUTBAH IDUL ADHA

Pemimpin Mesti Berkorban

SHOFWAN KARIM ELHA

Dan maklumkanlah kepada manusia supaya mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepada engkau dengan berjalan kaki dan mengenderai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah dalam beberapa hari yang ditentukan, atas rezeki yang Allah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian dari padanya dan sebahagian lagi berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. (al-Haj, 22:27-28)

Idul Adha atau Idul Qurban intinya melaksanakan perintah Allah. Kita meneladani watak dan perilaku kehidupan nabi dan rasulullah ulul azhmi Ibrahim, as., puteranya Ismail, as, dan isterinya Siti Hajar. Inilah teladan kita dalam keserasian, harmoni hidup ayah, anak, dan ibu.

Nabi Ibrahim as, adalah bapak dan pahlawan penegak tauhid. Di dalam panorama kehidupan ummat manusia, Ibrahim as, adalah tokoh pencari Tuhan dengan menggunakan akalnya. Berjuang dengan seluruh raga dan jiwa melawan kemusyrikan. Ia mengembara dalam alam pikiran dan hati nuraninya, menemukan hakikat al-ilah, al-khaliq, al-Rab. Hakikat Tuhan, pencipta dan pemelihara alam semesta. Untuk itu tokoh sentral peradaban manusia ini berdebat atau bermujadalah dengan ayah kandungnya sendiri. Ini dilukiskan al-Quran (al-Anam, 6:74):

Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Aazar: “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata”.

Gambaran umum bagaimana Ibrahim as, menegakkan akidah secara menyeluruh selanjutnya terdapat dalam QS.Al-An’am, 74-83 dan As-Shafat 83-99. Ujungnya, Ibrahim as, mengumumkan, seperti dilukiskan al-Shaffat, 79:

Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.

Keimanan dan tauhid tidak akan kokoh kalau tidak diuji. Maka Ibrahim as, diuji atas keyakinan tauhidnya itu.

Mengkritisi ayah kandungnya; menghancurkan berhala-hala; dilemparkan ke api menyala besar dan dibakar hidup-hidup oleh raja Zalim Namrud; dan seterusnya. Ujung-ujungnya yang paling berat adalah mengorbankan putranya sendiri. Ini dilukiskan Alquran dalam surat ashhafaat (37) : 100-111. Khusus untuk mengorbankan anaknya dilukiskan pada ayat 102:

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!”.

Ia menjawab:”Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (Ash-Shaaffaat, 37: 102).

Di dalam hal ini bukan hanya Nabi Ibrahim yang diuji, tetapi juga putranya sendiri Ismail as, seorang anak yang beranjak menjadi remaja dan pemuda. Nabi Ismail as, yang begitu yakin kepada ketokohan ayahnya Ibrahim, mematuhi perintah Allah, melalui sang ayah tersebut dengan tawakkal dan ikhlas sepenuhnya.

Dari sikap tawakkal Ismailas, tadi, kita bisa mengambil mauizhah (pelajaran), bahwa generasi muda kita akan senantiasa rela mengorbankan kepentingannya, bahkan dirinya bila mereka benar-benar yakin akan perintah dan orang yang membawa perintah tersebut untuk kebaikan dan kebenaran .

Apa yang dapat kita petik dari peristiwa ini. Rasa percaya kepada figur atau sosok yang menentukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti seorang ayah adalah sesuatu yang asasi, sesuatu yang mendasar dan amatlah prinsipil. Akan tetapi dewasa ini, rasa percaya itu pula yang amat tipis. Kita sedang krisis dan mengalami pendangkalan kejujuran, keikhlasan dan tokoh teladan. Kepercayaan antar sesama kita dalam makna amanah, jujur, dan memberi rasa aman, nampaknya kian langka.

Tugas kita sekarang tentulah bagaimana menciptakan generasi berikutnya yang memiliki karakter Nabi Ibrahim as. Maka kalau kita kaitkan dengan pembicaraan hangat tiga tahun terakhir ini, soal pembinaan karakter bangsa, tentulah hal ini amat tepat. Nabi Muhammad SAW menyebutnya akhlaqul karimah. Innama buisttu li utam mimma makarimal aklaq.

Presiden Soekarno dulu menyebutnya nation and character building. Kita baru sadar bahwa selama ini kita sudah membangun fisik bang sa, fisik keluarga, fisik anak cucu kita, demikiran dahsyatnya. Tetapi sekarang terasa kita tertinggal dalam hal pem binaan akhlak dan karakter. Kita lalai membina keimanan yang membumi. Iman bukan hanya percaya dengan Rukun Iman, tetapi sejalan dengan praktiknya dalam kehidupan nyata sehari-hari yang intinya adalah sifat amanah dan rasa aman. Yaitu watak jujur dan watak memberi rasa aman kepada lingkungan.

Belajar kepada Nabi Ibrahim as, sebagai pemimpin dalam keluarga dan masyarakatnya, kita mendapatkan, paling tidak tiga hal. Pertama, Nabi Ibrahim as, memiliki karakter atau watak kepemimpinan yang tangguh dan dipercaya. Pakar ilmuwan kepemimpinan menyebutnya dalam Bahasa Inggris dengan sitilah credibility and trustworthy atau dalam Bahasa Arabnya amanah wa istiqamah.

Kedua, Ibrahim as, tokoh yang memberi inspirasi, ilham, dan mendorong keinginan kepada kebaikan berdasarkan nilai-nilai ilhiyat atau ketuhanan. Hidup dan mati serta apa saja yang dipikirkan dan dikerjakan hanya untuk pengabdian kepada Allah swt

Ketiga, Ibrahim as, mempunyai kerangka dan konsep pikiran ke masa depan. Orang sekarang menyebutnya visi, suatu gugusan kerangka pikir apa yang hendak diciptakan di masa depan.

Ketiga hal itu diterapkan oleh Nabi Ibrahim as, dimulai dari dalam keluarga sendiri. Kita perhatikan sejarahnya, isterinya yang hamil berat rela diasingkan jauh di ujung belantara sahara. Ibrahim rela mengorbankan putra kandungnya sendiri atas perintah Allah. Nabi Islamil as, anak kandungnya itu sendiri menjadi patuh dengan apa yang diperintahkan Allah kepada ayahnya. Atas semua kerelaan, tawakal dan keikhlasan itu, Allah mengganti kurban yang seyogya dilakukan terhadap anaknya kepada seekor binatang ternak.

Menyembelih hewan kurban. Kata kurban itu sendiri berasal dari kata qaraba-yaqrabu-qurbanan (mendekatkan diri). Artinya pernyataan simbolik bahwa kita dekat kepada Allah. Ini adalah pula menjadi simbol atau lambang ketaqwaan dan kedekatan kepada Allah sebagai disinggung oleh Alquran (al-Haj, 22: 37):

Tidak akan sampai kepada Allah daging dan darah kurban itu, melainkan yang sampai kepada-Nya ialah taqwa (kepatuhan) kamu. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagung kan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.

Selanjutnya berkurban merupakan rasa syukur atas rahmat yang banyak telah diberikan Allah. Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.

Pada sisi lain pelaksanaan kurban yang kemudian diganti dengan penyembelihan bintang ternak seperti kambing, kibas atau biri-biri, atau sapi oleh para ahli hikmah, filsafat dan tasyri’, dikatakan sebagai lambang penyembelihan sifat-sifat hewaniah dalam diri manusia.

Penyembeliahan korban adalah lambang melenyapkan sifat-sifat rakus, tamak, beringas, yang kuat yang berkuasa, hukum rimba, dan sifat-sifat jalang lainnya.

Sifat-sifat bahimiyah binatang buas yang beringas, rakus, suka memakan apa saja tanpa memilih halal dan haram harus diganti dengan sifat nasut atau insaniyah berwujud tasammuh, toleransi atau tenggang rasa; mau berkorban untuk kebenaran dan kebersamaan, lapang dada, sabar dan tawaddhuk sehingga menjadi manusia yang saleh.

Sifat kemanusiaan atau disebut nasut akan lebih afdhal lagi kalau disirami oleh sifat Tuhan atau lahut yang suka memberi ampun, pemaaf, penuh kasih sayang sebagai bagian dari rahman dan rahimnya Allah.

Figur Siti Hajar. Ibu Ismail as, isteri Ibrahim as. Ini adalah sosok perempuan yang amat tabah. Menurut sejarah, ibu yang saleh ini rela bermukim di tempat yang jauh dari negerinya untuk melahirkan si buah hati. Ketika bayi Ismail lahir, beliau berlari mencari air untuk minum dan kemudian diharapkan dengan lepas dahaganya itu akan ada produk air susunya untuk kehidupan anaknya.

Sejarah mengisahkan, itulah sebabnya Siti Hajar berlari-lari kecil antara dua bukit yang belakangan disimbolkan dalam ibadah haji sebagai sa’i antara shafa dan marwa, dan tak jauh dari situ muncullah sumber air zam-zam yang sampai sekarang tak pernah kering.

Oleh para hukuma’ peristiwa ini dipahami sebagai manifestasi atau pelahiran semangat, keuletan dan kesungguhan untuk kehidupan. Orang sekarang menyebutnya ujud etos kerja. Seorang wanita, seorang ibu yang tidak pernah hanya pasrah kepada nasib, tetapi berusaha kian kemari. Tidak putus asa dan tidak kehilangan akal. Ia keluar dari tempatnya mencari sesuatu untuk kehidupan anaknya. Dia tidak sekedar menunggu hujan dari langit tetapi berlari mencari rezeki.

Puncak dari semua ujian itu, Ibrahim dinyatakan Allah sebagai pemimpin atau imam bagi seluruh manusia. Setelah pernyataan Allah diterima, Ibrahim berharap martabat imam itu juga hendaknya dianugrahkan kepada anak cucunya. Tetapi anak cucu Ibrahim, yaitu ummat manusia dan kita seluruhnya ini tidak akan menjadi imam atau pemimpin di hadapan Allah kalau kita berbuat zalim atau suka membuat aniaya.

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim”.

Apabila kita cermati kehidupan umat dan bangsa kita akhir-akhir ini, maka mau tidak mau kita harus kembali meneladani sejarah ketiga tokoh tadi : Ibrahim as, Ismail as, dan Siti Hajar.

Semangat tauhid, kesadaran diri, kepatuhan kita dalam semua aspek kehidupan, dan ibadah tidak ada kepada yang lain, kecuali kepada Allah, dalam garis dan bimbingan Alquran dan sunnah shahihah rasulullah.

Di samping memantapkan tauhid uluhiyah dan ububiyah, seyogyanya kita senantiasa menyerap sifat-sifat yang senantiasa mendidik jiwa dalam perilaku sejalan dengan sifat-sifat rahman dan rahim Allah. Di dalam kehidupan ini, kita semua adalah pemimpin pada setiap tingkatannya. Pemimpin harus diuji dan pemimpin harus berkorban.

Untuk memajukan suatu masyarakat, baik di nagari-nagari maupun di kota-kota, maka kita senantiasa merajut dan menyulam kehidupan ini dengan mewujudkan kasih sayang di dalam masyarakat. Harus dibangun terus menerus harmonisasi sosial dan ketenangan batin. Untuk itu kita perlu melakukan qurban yang makin merapatkan kedekatan antara satu dengan yang lain.(*)

:::HARIAN SINGGALANG ONLINE :::

Diterbitkan oleh Home of My Thought, Talk, Writing and Effort

Mengabdi dalam bingkai rahmatan li al-alamin untuk menggapai ridha-Nya. Lihat lebih banyak pos

Navigasi pos

Pos Sebelumnya Pos sebelumnya:

Kehadiran Obama Memang â€?Menyihir’

Pos Berikutnya Pos berikutnya:

http://www.hariansinggalang.co.id/sgl.php?module=detailberita&id=1848