Kesalehan Sosial dan Personal

Sabtu, 27 Agustus 2011
Kesalehan Sosial dan Personal
shofwan karim
http://hariansinggalang.co.id/sgl.php?module=detailberita&id=8112

Berpuasa dari sebelum terbit fajar sampai terbenam matahari dengan segala ibadah-ritualistik mengiringinya, bolehlah disebut sebagai manifestasi kesalehan personal.

Akan tetapi melipat-gandakan sedekah, infak dan membayar zakat-fitrah sebelum menunaikan shalat sunnat muakkad Idul Fitri 1 Syawal, agaknya pantas disebut sebagai aktualisasi kesalehan sosial.

Bahkan beberapa hadist mengisyaratkan, kesalehan personal dengan puasa itu semata-mata, belum akan sampai pahalanya kepada Allah, kalau zakat-fitrah belum ditunaikan.

Sebagai diketahui zakat-fitrah (pembersih-jiwa-pribadi) hanyalah salah satu saja dari kewajiban pribadi untuk kepentingan publik. Tetapi kewajiban pribadi ini memberikan cemeti kepada rohani, jiwa dan pikiran kepada setiap orang untuk membuka tangan dan mengulurkan kepeduliannya kepada yang memerlukan
Begitu strategisnya zakat-fitrah , bahkan wajib bagi siapa saja yang memiliki kelebihan pangan pada hari raya untuk diri dan keluarganya. Termasuk orang tua dan anak-anak yang tidak punya penghasilan dibayarkan oleh orang yang bertanggung jawab dalam keluarga itu.

Di luar zakat-fitrah ada zakat mal (harta), uang, perdagangan, perusahaan, ternak, hasil tani, barang tambang, hasil bumi dan seterusnya yang merupakan hasil usaha yang baik-baik . (QS,2:267) .Potensi yang kedua ini luar biasa besarnya. Beberapa pernyataan mengatakan, potensi zakat di Indonesia sekitar 217 triliyun. Dalam lingkup kecil, Kota Padang, dari PNS saja ada potensi 5 Milyar perbulan atau 60 Milyar pertahun. Tentu saja untuk Sumbar angka itu akan lebih besar lagi, meskipun belum ada data yang akurat.

Betapa besarnya potensi, penting dan strategisnya zakat, wakaf, infak dan sadaqah untuk meningkatkan kesejahteraan, sudah menjadi pengatahuan umum. Bahkan begitu bersemangatnya, ada yang berpendapat, bahwa potensi itu dapat menjadi pilar penunjang APBN untuk tingkat nasional dan APBD untuk daerah. Lebih jauh, banyak yang berpendapat dan menggebu-gebu mengatakan bahwa potensi kekayaan publik atau baitul mal umat Islam ini, amatlah strategis untuk mengatasi kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan ummat dan bangsa.

Karena itu wajar dan amat tepat inisiatif pemerintah yang telah membuat regulasi dan aturan pokok serta undang-undang tentang sumber daya capital dan modal publik ummat ini.

Lebih satu dekade lalu, sudah lahir UU tentang Pengelolaan Zakat No. 38 tahun 1999. Keputusan Dirjen BIMAS Islam dan Urusan Haji Nomor D / 291 Tahun 2000 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.

Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. Keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat.

Bila zakat merupakan kewajiban umat Islam yang mampu, sesuai dengan ketentuan dasarnya menurut kaidah fikih, maka ada lagi sumber lain kekayaan publik muslim yang cukup potensial dan amat besar pula, yaitu wakaf.

Dalam makna umum, wakaf itu merupakan sedekah jariah yang dianjurkan di dalam fikih (hukumIslam) . Bahkan ulama di Indonesia, menekankan kepada model baru wakaf yang kini disebut sebagai wakaf uang tunai.

Pemerintah merespon secara apresiatif dengan membuat undang-undang dan aturan khusus untuk wakaf ini. Di antaranya Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004. Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang

Soalnya sekarang, sejauhmana undang-undang, peraturan, keputusan kementerian dan aspek yuridis formal itu menjadi operasional dan optimal, menghimpun kekayaan publik ummat itu ? Inilah paradigma yang terus menerus mesti digerakkan dimonitor, dievaluasi dan disempurnakan.

Lembaga-lembaga seperti BAZNAS, BAZDA, LAZ, LAZISMUH, UZIS, Dompet Dhuafa, PKPU dan seterusnya, semuanya merupakan mesin pengerak utama. Lembaga-lembaga ini secara hakiki bersifat NGO atau LSM, tetapi bergerak berdasar hukum formal, undang-undang dan aturan baku.

Di balik itu semua, respons publik-ummat, amatlah tergantung seberapa luas, intensif sosialisasi dan dinamisasi gerakan zakat dan wakaf ini. Suatu keniscayaan yang mesti berkelanjutan. Allah al-a’lam bi al-shabwab.
(***)

[ Kembali ]

Diterbitkan oleh Home of My Thought, Talk, Writing and Effort

Mengabdi dalam bingkai rahmatan li al-alamin untuk menggapai ridha-Nya.

%d blogger menyukai ini: