Waspadalah Minang Mesir

Waspadalah Minang Mesir
Pertikaian politik di dalam negeri Mesir tak mungkin dicampuri. Meski ada silang pendapat antara ikut campur dan tidak oleh Ulama Prof. Yusuf Qardhawy dan Presiden kita.
Penulis: Shofwan Karim | Editor: Redaksi
Waspadalah Minang Mesir

ilustrasi (net)
Mesir.Shofwan Karim_Imnati Ilyas.2004
Shofwan Karim, Imnati Ilyas dan Adam Putra Shofwan Karim dalam kunjungan kerja sebagai Ketua PWM Sumbar (2000-2005) pada 22-25 Juli 2004 memenuhi undangan Keluarga Mahasiswa Minang Mesir, sempat melihat Piramida dan Spinx. (Foto: Dok)

TIBA-TIBA mimpi buruk datang. Ada berita bahwa mahasiswa Minang di Mesir terlibat memberikan dukungan pengobatan terhadap masyarakat pro presiden terguling Mohammad Morsi, Mesir.

Dan tadi, berita itu dibantah oleh Kesepakatan Mahasiswa Minangkabau (KMM) di Kairo melalui portal resmi mereka, kmmmesir.com. Mimpi buruk itu  lenyap. Meski tetap ada  kekhawatiran.

Cara termangkus untuk melenyapkan rasa gundah adalah komunikasi yang intensif dan lancar. Seyogyanya, 396 orang mahasiswa Minang di Mesir, di hari-hari berjalan sekarang ini, kontinu “tabayun” klarifikasi kepada orang tua, ayah-ibu dan sanak keluarga masing-masing. Kalau dapat setiap hari berkabar, berberita langsung atau via perantara, ke kampung halaman.

Dengan teknologi informasi (TI) yang  sudah merata sekarang,  hal itu adalah suatu yang mudah. Apalagi setahu saya, di Mesir khususnya dan dunia Arab umumnya yang sedang dilanda revolusi musim semi yang disebut “Arab Spring”, media penggerak utama adalah media sosial berbasis TI  itu.

Di balik itu semua, bagi orang tua mahasiswa di Minangkabau khususnya dan Indonesia umumnya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bila mahasiswa tidak ikut turun bergabung dengan para pihak yang bertikai, semua akan aman saja.

Tetap saja seperti biasa. Mahasiswa bertahan dan waspadalah. Jaga saja rutinitas  kuliah dari rumah ke kampus dan sebaliknya. Atau keluar hanya ke tempat-tempat yang aman.

Setelah meletusnya revolusi 25 Januari 2011, memang banyak kalangan yang khawatir atas keselamatan warganya di Mesir. Akan tetapi pengamatan langsung saya tidak demikian.

Pada 27 Juni sampai 1 Juli 2011, beberapa bulan setelah revolusi, saya dan Anwar Abas dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah diundang datang ke Kairo untuk sebuah seminar internasional di Universitas Al-Azhar.

Pada suatu kesempatan, kami  datang ke Asrama Mahasiswa Minangkabau di Kairo, Mesir itu. Gedung berlantai 4 tersebut, masih anyar. Dan baru beberapa tahun di tempati. Gedung itu dibeli oleh APBD Sumbar zaman Gubernur Gamawan Fauzi dan Ketua DPRD Leonardy Harmainy.

Di lantai dasar yang cukup luas, dipenuhi oleh barang-barang, prabot dan buku-buku, alat-alat dapur serta alat elektronik. Letaknya memang “centang parenang”, tidak teratur.

Ketika saya tanya kepada salah seorang mahasiswa yang membawa kami tur di asrama itu luar-dalam, atas-bawah, jawabannya begini. “Sewaktu meletus revolusi 6 bulan sebelumnya, terjadi kepanikan. Kebanyakan mahasiswa Minang di Kairo pulang kampung dan ada yang mengungsi keluar Mesir. Itulah sebabnya semuanya kelihatan tidak teratur, bahkan berantakan. “

Tidak itu saja, menurut pengamatan saya waktu itu, orang asing dan wisatawan turun drastis jumlahnya yang datang ke Mesir. Di wilayah Giza, tempat Piramid dan Spinx berdiri kokoh sejak 4500 tahun lalu itu, lengang. Lebih banyak penjual souvenir daripada pengunjung. Panorama yang amat kontras dengan kunjungan saya dan keluarga pada akhir Juli 2004 lalu.

Waktu itu adalah sebaliknya. Wisatawan lebih ramai dari pada pemandu wisata, penjual souvenir dan pekerja turisme lainnya.

Pemandangan yang kontras pula juga tampak di sepanjang jalan raya Kairo. Pada tahun 2004, di kiri-kanan jalan raya membelah kota Kairo tidak ada iklan, kecuali poster dan gambar-gambar raksasa Presiden Hosni Mubarak. Sebaliknya Juni 2011, semua yang berbau Presiden terguling setelah 30 tahun berkuasa itu lenyap di telan bumi.

Iklan-iklan segala macam produk menggantikan poster dan baliho yang lenyap tadi. Pada waktu itu, Pemilu belum berlangsung. Boleh jadi pemandangan berubah lagi setelah Morsi yang didukung penuh Ikhwannul Muslimin berkuasa, iklan-iklan itu sudah lenyap pula. Dan hari-hari belakangan ini, di tengah kota  Kairo yang tercabik emosi pro dan kontra Morsi, boleh jadi sedang dipenuhi poster, spanduk dan baliho yang pro dan kontra itu pula.

Sebagai salah satu Negara yang amat awal mengakui kemerdekaan Republik Indonesia, tentu saja kita berhutang budi dengan Mesir. Tetapi apa hendak dikata. Pertikaian politik di dalam negeri Mesir, tak mungkin dicampuri. Meski ada silang pendapat antara ikut  campur  dan tidak oleh Ulama Prof. Yusuf Qardhawy dan Presiden kita.  Wa Allah a’lam bi al-shawab.

 

Diterbitkan oleh Home of My Thought, Talk, Writing and Effort

Mengabdi dalam bingkai rahmatan li al-alamin untuk menggapai ridha-Nya.

%d blogger menyukai ini: