Duka dalam Kemenangan

http://www.klikpositif.com/news/read/1585/0.html

Kamis, 15 Agustus 2013 | 08:32 WIB
 
Duka dalam Kemenangan
Bila bangsa ini sibuk dan heboh oleh teroris yang membunuh dan merusak, maka jiwa yang korban 630 orang terbunuh karena peristiwa pulang-balik mudik itu, perlu pula diperhatikan.
Penulis: Shofwan Karim | Editor: Redaksi
Duka dalam Kemenangan

Mudik (ANTARA FOTO/SAHRUL MANDA)

Tentu saja Idul fitri merupkan hari kembali suci dan hari kemenangan. Tahun ini, hari itu dirayakan serempak. Apa pun alasannya, 1 Syawal 1434 H, bertepatan 8 Agustus kemarin, menjadi kenangan bersama. Dirayakan bersama. Tak ada perbedaan seperti dimulainya 1 Ramadhan pada  dua tanggal berbeda 9 dan 10 Juli, lalu.

Dengan tak adanya perbedaan itu, maka lebaran kali ini menjadi amat istimewa. Hari raya yang menumpukkan kebahagiaan luar biasa.

Diperkirakan 20 juta orang pulang-balik mudik. Suatu istilah untuk orang kota yang pulang ke kampung halamannya. Istilah ini populer pada saat hari lebaran.

Dibalik sukacita mencapai hari kemenangan, tak kurang pula berita duka. Sampai dua hari lalu (13/8), sudah 630 orang tewas. Mereka adalah korban dari 2.826 kasus kecelakaan kenderaan pulang-balik mudik.

Di satu sisi panorama  pulang-balik mudik  adalah bentuk sosio-riligiositas keberagamaan yang amat dalam.

Di balik itu adalah pula cerminan tragedi kemanusiaan yang cukup memprihatinkan. Korban yang ratusan orang itu, tidak bisa dianggap enteng.

Di dalam konteks lebaran ini, tampaknya ada dua hal yang bertolak belakang. Di satu sisi makna hakiki syiar Idulfitri yang merupakan pancaran luapan semangat public dan sosial keberagamaan yang amat prima. Dan seharusnya itu menjadi puncak kebahagiaan dari semua, bagi semua, dan untuk semua.

Di lain sisi, manajemen praktis operasional syiar Idulfitri dalam kenyataan lahiriah-praktikalnya.

Secara individual dan komunitas, makna hakiki itu telah menyedot energi. Buktinya secara badani, ekonomi dan sosial-budaya, kemeriahan dan syiar Idul fitri semakin bertambah.

Setiap tahun arus pulang-balik mudik itu meningkat di atas 10 persen. Secara ekonomi, triliunan rupiah dibayarkan dan dibelanjakan.

Dibayarkan di sini adalah untuk  zakat-fitrah,  zakat-mal, infak, sadaqah, bantuan untuk kaum dhuafa, fakir-miskin dan anak yatim.

Dibelanjakan, artinya untuk berbagai keperluan, terutama yang konsumtif, sandang-pangan lebaran, perbaikan papan lebih semarak, traveling, dan biaya pulang-balik mudik itu sendiri.  

Bagaimana dengan manajemen atau pengurusan pulang-balik arus mudik?

Ini tidak bisa dilepaskan dengan kinerja pemerintah, kementerian perhubungan, penguasa pelabuhan, penerbangan, jasa angkutan dengan berbagai moda.

Begitu pula  kementerian perdagangan, pemasok logistik dan sembako, industri sandang dengan seluruh turunannya. Dan tentu saja  aparat keamanan atau kepolisian.

Maka kelihatan lintasan kompleksitas yang rumit. Semua itu membuktikan bahwa agama tidak hanya sekedar ritualitas atau ibadah yang bersifat perorangan.

Maka bila bangsa ini  sibuk dan heboh oleh teroris yang membunuh dan merusak, maka jiwa yang korban 630 orang terbunuh karena peristiwa pulang-balik mudik itu, harus di letakkan pada posisi apa?

Artinya, sehebat gemuruh  cercaan kepada  teroris, jangan lupa  juga harus ada strategi yang unggul mengatur manajemen praktis arus pulang-balik-mudik.

Tampaknya, repleksi nafas dan ruh keberagamaan  telah menjadi urusan yang melekat dengan suatu kehidupan yang komplit. Semoga kadar kedukaan tidak mengurangi makna kembali suci dalam kemenangan, baik perorangan maupun dalam kebersamaan.***

 

Diterbitkan oleh Home of My Thought, Talk, Writing and Effort

Mengabdi dalam bingkai rahmatan li al-alamin untuk menggapai ridha-Nya.

%d blogger menyukai ini: