Studium General Pelatihan Kempemimpinan
Mahasiswa Menengah Dewan Mahasiswa IAIN Imam Bonjol Padang
Peran dan Nilai Perjuangan Mahasiswa
Sebagai Intelektual Profetik dalam Menjawab
Dialektika Perubahan Zaman
Oleh Shofwan Karim, Dosen FU IAIN IB Padang
Email: info@shofwankarim.com, shofwan.karim@gmail.com
www.shofwankarim.com, www.shofwankarim.wordpress.com
I.Pendahuluan
Aktualisasi peran dan nilai perjuangan mahasiswa sebagai intelektual profetik dalam menjawab dialektika perubahan zaman merupakan keniscayaan. Sesuatu jang harus dirumuskan, dipahamkan serta diaktualisasikan.
Di dalam wacana singkat ini, peranan mahasiswa yang dimaksud adalah penjelajahan kesetaraan statusnya yang menuntut ilmu diperguruan tinggi dengan statusnya sebagai kaum intelektual. Fokus diskusi di sini adalah status mahasiswa sebagai warga negara yang berusia di dalam rentang waktu 16 sampai dengan 30 tahun.[i] Sebagai warga, elemen dan komponen bangsa dan ummat yang berperanan aktif, konstruktif, positif dan optimal di dalam masyarakat, bangsa dan ummat.
Sebagai pemuda yang berada di perguruan tinggi, otomatis mahasiswa mempunyai nilai plus sebagai warga intelektual kampus ikut bersama komponen lainya bertanggung jawab terhadap maju mundur dan mewarnai dinamika dalam konstruk positif kehidupan bangsanya. [ii]
Peran mahasiswa serta nilai perjuangan mahasiswa dalam sejarah kontemporer. tidak bisa dianggap kecil. Dan itu terjadi di mana-mana. Terutama di dalam menumbang tirani dan menegakkan demokrasi. Apakah peran dan nilai perjuangan mahasiswa itu sinkron dengan konsepsi intelektual profetik dan kalau sinkron, di situlah diharapkan dapat menjawab tesa, antitesa dan menjadi sintesa di dalam alektika perubahan zaman.
II. Aktualisasi Peran dan Nilai Perjuangan Mahasiswa
Selain belajar di ruang kelas, mahasiswa bukanlah hidup di ruangan hampa. Mahasiswa hadir dan eksis di dalam kehidupan secara keseluruhan dalam system kemanusiaan dan kemasyarakatan. Mahasiswa menjadi makhluk social. Bertanggung jawab dengan diri, lingkungan dan bangsa di mana mereka hidup.. Mahasiswa dengan begitu dituntut menempatkan dirinya dalam status kemasyarakatan sebagai warga sipil (civil-sosiety/masyarakat kewargaan).
Maka mahasiswa mesti terus menerus melakukan muhasabah (introspeksi) dan memberdayakan (self empowerment) dirinya sebagai makhluk social dan melakukan social adjustment (penyesuaian social) bahkan menjadi opinion leader (pemuka opini) di dalam gerakan social. Bukan sekedar agent perubahan dalam makna pisik tetapi memimpin ke mana masyarakat sipil menuju untuk kebaikan yang terus menerus.
Di situlah terlihat dalam kenyataan di berbagai belahan dunia, mahasiswa berperanan aktif di dalam gerakan demokrasi, hak asasi manusia, bekerja sebagai relawan mengatasi kemiskinan, buta aksara, membantu pembangunan daerah terisolir (remute area). Selain itu mahasiswa berpartisipasi di dalam pembangunan masyarakat lokal, nasional, regional dan internasional.
Di dalam sejarah kontemporer, di berbagai belahan dunia, [iii] mahasiswa bukan insan yang stril dan imun dari dinamikan kehidupan di mana mereka mereguk kenikmatan anugrah Allah dalam segala dinamika dan kompleksitasnya. Sebagai makhluk inetelektual, mahasiswa tidak bisa apatis dan menerima saja keadaan tetapi ikut terlibat aktif dan positif memecahkan masalah namun tidak larut. Involved but not dissolved. Mereka harus menjadi bagian dari part of solution but not part of the problem (bagian dari usaha memecahkan masalah bukan bagian dari masalah).
Di dalam pembangunan masyarakat (Comdev/Community Development) bahkan Perguruan Tinggi memasukkan ke dalam kurikulum apa yang disebut KKN, KKN Tematik, Kuliah Dakwah Mahasiswa, Kemah Bhakti Mahasiswa dst. Akan tetapi makna yang lebih substansial dari itu, adalah bahwa adakah kontinuitas atensi penuh dalam jiwa volunteerisme (paham kerelawanan) terhadap ummat. Wakil Rektor III yang dialokasikan pemegang wewenang dan kekuasaan kampus yang sudah ada sejak PTN/PTS berdiri di Indonesia dimaksudkan untuk melaksanakan koneksi intensif-konstruktif antara kampus dengan masyarakat dan ummat.
Dari semua alokasi-kontibutif mahasiswa terhadap lingkungan social, masyarakat, ummat dan bangsanya, akan lebih berbobot kalau gerakan mereka secara sadar dimotori dengan idealisme optimum nilai-nilai tinggi (high-value). Di sinilah ruh intelektual profetik ( kecendekiawan bermuatan mulia nilai-nilai kejuangan ke-nabian) menjadi sangat sterategis sebagai sumber dan ruh setiap alokalasi kontribusi mahasiswa sebagai kewargaan-masyarakat (civil-society) itu.
III. Intelektual Profetik dan Intelektual Organik
Sebelum terma intelektual profetik dan organik popular di abad ke-20 M, Islam sudah mengemukakan bagaimana tanggung jawab seorang ilmuwan dan intelektual di dalam transformasi social. Di dalam bahasa lain, bagaimana membawa umat hijrah dari keadaan yang terkebelakang kepada kemajuan Bahasa Islam adalah intelektual itu sama dengan ulama.
Ulama yang disebut paling takut kepada Allah harus dipahami ulama yang takut ummatnya terlantar. Bukan dia saja yang masuk syurga karna ilmunya tetapi dengan ilmunya itu mengubah masyarakat dan umat. Quran mendasarinya kepada nilai profetik yang sudah dipahami umum di kalangan ummat .
“Dan demikian pula di antara manusia, binatang melata dan hewan ternak, terdiri dari berbagai macam warna. Sungguh yang benar-benar takut kepada Allah di antara hamba- hamba-Nya, hanyalah ulama; mereka yang berpengetahuan. Sungguh Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun. (QS. Fathir[35]:28).“
Sejalan dengan itu ada testimoni paling gamblang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: اْلأَنْبِيَاءِ وَرَثَةُ الْعُلُمَاءُ “Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda radhiallahu ‘anhu).
Di sini merupakan rujukan paling akurat, bahwa sebenarnya istilah inetelektual profetik, lebih kepada makna ulama sebagai pewaris nilai-nilai kenabian itu. Hanya kalau dikaitkan dengan ulama (orang yang menguasai ilmu paripurna) belum dianggap sebagai intelektual di dalam wacana pemikiran Barat dan sebagian kalangan pemikir di dunia Islam. Mereka lebih cendrung memposisikan ulama sebagai pemilik kunci sekaligus gudang ilmu, bukan sumber perjuangan.
Ada terma lain di dalam Islam yang lebih tepat agaknya, zu’ama al-nubuwa atau atau zakiyat al-nubuwa. Yaitu ulama yang zu’ama, dalam ilmunya dan concern kepada kemajuan ummat, peduli dengan semua komponen dan eksponen serta lebih-lebih kepada kaum yang tertindas. Merekalah yang dapat disebut sebagai intelektual profetik.
Mereka adalah ulama dalam makna sekaligus cendekiawan yang bertanggungjawab terhadap lingkungannya, dan mau mengorbankan segalanya, inilah yang menjadi wacana kontemporer, baik di dunia Islam, Barat maupun di Indonesia. Yaitu ulama dan intelektual yang bertungkus lumus dengan masalah-masaah kehidupan kemanusiaan, pembebasan dan aplikasi serta aktualisasi nilai-nilai ke-Tuhanan. Maka mahasiswa sebagai kaum inetelegensia (istilah Hatta) mesti menjadi bagian dari yang bertungkus lumus itu.
Muhammad Hatta pada tahun 1957 pernah mengatakan bahwa,
“kaum intelegensia tidak bisa bersikap pasif, menyerahkan segala-galanya kepada mereka yang kebetulan menduduki jabatan yang memimpin dalam negara dan masyarakat. Kaum intelegensia adalah bagian daripada rakyat, warga negara yang sama-sama mempunyai hak dan kewajiban”. [iv]
Di dalam sejarah kontemporer Indonesia, kelahiran Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia 7 Desember 1990, boleh disebut sebagai respon mahasiswa terhadap keperihatinan kaum cendekiawan atau intelektual. Kelahiran ICMI itu disketsakan sebagai berikut:
“ICMI dibentuk pada tanggal 7 Desember 1990 di sebuah pertemuan kaum cendekiawan muslim di Kota Malang tanggal 6-8 Desember 1990. Di pertemuan itu juga dipilih Baharuddin Jusuf Habibie sebagai ketua ICMI yang pertama. Kelahiran ICMI berawal dari diskusi kecil di bulan Februari 1990 di masjid kampus Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang. Sekelompok mahasiswa merasa prihatin dengan kondisi umat Islam, terutama keadaan berserakannya cendekiawan muslim, sehingga menimbulkan polarisasi kepemimpinan di kalangan umat Islam. Masing-masing kelompok sibuk dengan kelompoknya sendiri, serta berjuang secara parsial sesuai dengan aliran dan profesi masing-masing.”[v]
Pada waktu itu Habibie yang didapuk menjadi Ketua Umum ICMI 2 periode 1990-1995-200 mengusung program 5 K yaitu meningkat kualitas iman, kualitas hidup, kualitas kerja, kualitas karya, dan kualitas pikir . Sampai sekarangprogram ICMI tetap di dalam kerangka 5 K tadi.
Sejalan dengan wacana di atas tadi, ada 2 (dua) terma filosofis di dalam status dan peranan intelektual bila dikaitkan dengan perannya di dalam komuniti, warga , masyarakat, bangsa, ummat dan negara.
Pertama, apa yang disebut oleh Foulcault sebagai intelellectual prophetic dan kedua apa yang disebut oleh Gramsci sebagai intellectual organic.
Intelektual profetik seperti yang disinggung oleh Foulcault [vi] adalah intelektual yang dapat memahami fenomena terdalam dan paling mendekati kebenaran terhadap lingkungannya. Meskipun dia tidak mengakui bahwa dirinya adalah tokoh yang seperti itu, tetapi Foulcault [vii] menganggap itulah model intelektual profetik yang dimaksudnya.
Oleh Kuntowijoyo (1943-2005) [viii] sebagai mana dipahami oleh beberapa diskusi di kalangan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), intelektual profetik adalah :
“Gerakan yang meletakkan keimanan sebagai ruh atas penjelajahan nalar akal. Gerakan Intelektual Profetik merupakan gerakan yang mengembalikan secara tulus dialektika wacana pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal. Gerakan Intelektual Profetik adalah gerakan yang mempertemukan nalar akal dan nalar wahyu pada usaha perjuangan perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan manusia secara organik.”
Selain KAMMI, yang bersemangat menebarkan bibit intelektual profetik ini adalah kalahangan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah). Begitu beremangatnya melahirkan apa yang disebutnya Manifesto Intelektual Profetik:
IMM sebagai ditulis oleh presensi buku ini, menyebut :
“Maksud dari konsep ini adalah bagaimana nilai-nilai kenabian bisa jadi landasan bagi pemikiran dan perilaku seorang intelektual. Seorang nabi tatkala telah mendapatkan kedudukan tertinggi di sisi Tuhan tidak lantas naik ke langit dan meninggalkan realitas. Tapi dia turun kembali ke bumi untuk melakukan perubahan atau transformasi sosial bagi masyarakatnya. Hal ini lah yang terjadi saat peristiwa mi’rajnya Nabi Muhammad saw. ke sidratul muntaha. Bercermin dari hal tersebut, konsep intelektual profetik pun bermaksud mengubah citra intelektual yang dengan intelektualitasnya hanya diam di menara gading, menjadi terjun langsung dan terlibat dalam transformasi sosial di masyarakatnya.” [ix]
Baik, KAMMI, maupun IMM, tampaknya sangat terinspirasi dari pemikiran yang sudah muncul sebelumnya, baik inspirasi dari Islam, Barat dan Indonesia
Sebetulnya, Kuntowijoyo meneruka suatu konsep yang lebih luas dari hanya kepada apa yang kita kaji sekarang sebagai intelektual profetik. Pemikir, sejarahwan, budayawan dan sosiolog ini mencoba sebelumnya mengemukakan apa yang kini oleh pengagumnya disingkat sebagai ISP (Ilmu Sosial Profetik).
“Ilmu sosial tidak boleh berpuas diri dalam usaha untuk menjelaskan atau memahami realitas dan kemudian memaafkannya begitu saja tapi lebih dari itu, ilmu sosial harus juga mengemban tugas transformasi menuju cita-cita yang diidealkan masyarakatnya. Ia kemudian merumuskan tiga nilai dasar sebagai pijakan ilmu sosial profetik, yaitu: humanisasi, liberasi dan transendensi. Ide ini kini mulai banyak dikaji. Di bidang sosiologi misalnya muncul gagasan Sosiologi Profetik yang dimaksudkan sebagai sosiologi berparadigma ISP.”[x]
Kedua, Intelektual Organik adalah istilah yang pertama kali digunakan oleh filsuf Italia Antonio Gramsci (1891 –1937) dalam Prison Notebooks, yang ditulis antara 1929 dan 1935.
“Intelektual organik adalah seorang individu yang mempromosikan kepentingan terbaik “rakyat,” istilah yang biasanya ditujukan untuk kelas bawah, dan tidak melanggengkan hegemoni kelas dominan. Intelektual organik Gramsci adalah salah satu yang meminimalkan berbicara kepada massa dan melibatkan dirinya “dalam kehidupan praktis, sebagai konstruktor, penyelenggara, ‘pembujuk permanen’, bukan hanya orator sederhana” (Crick 129). Intelektual organik menjadi aktif terlibat dengan orang-orang dan tidak selalu mencoba untuk membedakan dirinya sendiri dari massa. Partisipasi aktif mengalahkan belaka orasi. Intelektual organik yang lahir di masyarakat yang terpisah dan berbeda, dan membantu untuk mempromosikan kepentingan kelompok sosial khusus mereka (Crick 128). Tujuan utama dari intelektual organik adalah untuk menembus hegemoni yang menguntungkan kelompok sosial yang dominan dan memegang bawah massa paling akar rumput.” [xi]
Apakah peranan ulama, intelektual profetik dan intelektual organik dapat disatukan ? inilah yang menjadi wancana berikut.
III. Sintesa Menghadapi Perkembangan Zaman
Pada intinya, intelektual profetik antara lain yang diteorikan oleh Faulcault, yang didiskusikan di atas merupakan kualitas pengabdian yang bersumbu kepada nilai-nilai ke-Nabian kebenaran hakiki yang paling dalam. Bila kita pahami dari lebih jauh intelektual profetik bertolak dari pemikiran teologi pembebasan.
Nabi Muhammad saw telah membuktikan bahwa misinya adalah membebaskan ummat dari perbudakan baik klasik maupun modern. Memerdekan dari keterbelakangan, kebodohan, kejumudan, kegelapan dan ketidak berdaya an. Melawan ketidak adilan hukum, ekonomi dan pelakuan social. Nilai-nilai Tauhid itu adalah nilai kebenaran yang harus diperjuangkan.
Sementara itu intelektual organic menekankan kepada status dan peranan kaum intelektual yang menyuarakan suara dari kelas bawah. Dari massa yang terhimpit. Di dalam bahasa cendekiawan Murthada Mutahhari adalah keberpihakan kepada kaum “mustadhafin” (golongan paling lemah).
Persoalannya adalah apakah kaum intelektual-mahasiswa ini mempunyai perangkat pisau analisis yang disebut oleh al-Jabiri sebagai nalar-bayani (teks), nalar-burhani (logika) dan nalar-irfani (intuisi).
Seorang intelektual profetik tidak cukup hanya dengan mengandalkan makna harfiah dari Tauhid, Iman dan Islam dalam makna literer tetapi harus menguasai teks dan konteks yang bersifat pragmatis. Bersamaan dengan penguasaan teori berfikir dan teori perjuangan yang handal dan canggih dengan akal dan logika. Sejalan dengan itu, ada kalanya menggunakan ranah nalar irfani atau intuisi.
Di sinilah letaknya tesa-antitesa dan sintesa harus dipadukan. Di dalam perkembangan akhir-akhir ini, bila kita padukan antara intelektual profetik dengan intelektual organic sebagai tesa, maka kini ada trend anti-tesa yang saya ingin menyebutnya sebagai intelektual opportunis.
Yaitu intelektual yang memadukan kekuatan penalarannya dengan kepentingan politik jangka pendek, kongloramerasi dan gurita ekonomi, mementingkan kelompok dan keinginan untik mendominasi dan hegemoni.
Semuanya itu dan masing-masing mengklaim atas nama kebenaran konsitusi, auran, perundang-undangan dan hukum. Mereka bukan saja menyembunyikan teks dan konteks. Bahkan, lebih jauh nalar-logika mereka jumpalitan dan koprol bambu.
Jangan Tanya soal irfani atau intuisi-suci. Mereka tidak segan mempertontonkan tindak kekerasan intekektual tanpa etik, basa basi serta kesantunan.
IV. Penutup
Inilah antitesa di dalam dialektika yang kini sedang berjalan di lingkungan tanah air tercinta. Maka itu nilai-nilai penalaran intelektual profetik dan intelektual organic harus menjadi pilihan. Dan ini adalah suatu keniscayaan yang harus diperjuangakan terus menerus serta diaktualisasikan.***
[i] http://kemenpora.go.id/index/preview/perundangan/3. Akses, 31.10.2014. Yang dimaksud dengan pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun.
[ii] The Responsibility of Intellectuals Noam Chomsky. The New York Review of Books, February 23, 1967. Seorang intelektual dengan status istimewanya berkewajiban memajukan kebebasan, keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian.
http://www.chomsky.info/articles/19670223.htm. Akses, 31.10.2014.
[iii] http://www.voaindonesia.com/content/protes-di-hong-kong-terus-berlangsung/2473065.html. Akses, 31.10.2014. “Saturday night (4/10/2014), the main student union leaders of Hong Kong agreed to hold new talks with the authorities, if the government gives a guarantee of police protection to demonstrators who got gang attack in Mong Kok Friday. The protest leader said government employees will be allowed to return to work on Monday.”
[iv] http://revolusi-pemikiran.blogspot.com/2012/09/mahasiswa-dan-tanggung-jawab-sosial.html. Akses, 31.10.2014.[v] http://id.wikipedia.org/wiki/Ikatan_Cendekiawan_Muslim_Indonesia. Akses, 31.10.2014.
[vi] Foucault’s Prophecy: The Intellectual as Exile. Christina Hendricks. University of Texas at Austin, 2000. http://blogs.ubc.ca/christinahendricks/files/2012/11/IAPL2000-WebVersion.pdf. Akses, 31.10.2014.
[vii] Paul-Michel Foucault (15 October 1926 – 25 June 1984). http://en.wikipedia.org/wiki/Michel_Foucault. Akses, 31.10.2014.
[viii] http://kammikomsatugm.wordpress.com/2014/02/15/intelektual-profetik-membaca-pemikiran-kuntowijoyo/
[ix] http://immipb.blogspot.com/2012/05/sebagai-hadiah-malaikat-menanyakan.html#.VFNPTvSUeyM. Akses, 31.10.2014.
[x] http://id.wikipedia.org/wiki/Kuntowijoyo. Akses, 31.10.2014.
[xi] http://intellectualwiki.wikispaces.com/Organic+Intellectual . Akses, 31.10.2014.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.