Catatan dari Silaknas ICMI 2014 Gorontalo (2) : Demokrasi Galau Terlanjur Latah

http://hariansinggalang.co.id/catatan-dari-silaknas-icmi-2014-gorontalo-2-demokrasi-galau-terlanjur-latah/

FGD.UMSB_.01.08.2009.jpg

Catatan dari Silaknas ICMI 2014 Gorontalo (2) :

Demokrasi Galau Terlanjur Latah

Home » Utama » Catatan dari Silaknas ICMI 2014 Gorontalo (2) : Demokrasi Galau Terlanjur Latah

Shofwan Karim 

TAMPAKNYA, demokrasi yang galau terlanjur latah, telah membuat para cendekiawan berpikir ulang. Mereka amat prihatin. Golkar pecah menjadi dua kubu, Aburizal Bakrie (Ical) dan Agung Laksono (Agung).

Ketika Silaknas sedang berlangsung (5-7/12), di Jakarta kubu Agung sedang melakukan Munas pula di Ancol (7-8/12).
Priyo Budi Santoso, kubu Agung sengaja tidak datang ke Silaknas Gorontalo. Ini untuk menutup pintu supaya ICMI jangan terseret kepada konflik politik itu. Sehari sebelumnya, Priyo menyerahkan tongkat Ketua Presidium ICMI yang dipegangnya 2014 diserahkan kepada DR. Sugiharto, MBA untuk 2015 ini.

Semua pertentangan itu, merupakan buah busuk dari pohon besar Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisasi Indonesia Hebat (KIH). Gesekan keras kedua kubu itu, seperti telah diketahui sebelumnya menelorkan berhadap-hadapannya kubu

Romahurmuziy (Romi) menandingi kubu Djan Faridz. Otomatis sejalan dengan pecahnya beberapa fraksi di parlemen.
Sampai hari ini, para politisi di parlemen tidak terbelah di dalam mempertahankan gagasan dan program, tetapi ber-petai-petai- karena merebut posisi, siapa duduk di mana.

Meskipun masyarakat dan bangsa Indonesia telah terbiasa di dalam kehidupan majemuk ‘bhinneka tunggal ika’, akan tetapi di dalam jagad politik, hari ini di negeri ini, telah kehilangan aura dan enerji positif yang memberikan dorongan untuk meningkatkan produktifitas dan kondusifitas untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat.

Artinya warna-warni dan pluralitas politik dan platform partai bukannya merupakan kekayaan ragam dan gagasan politik, tetapi lebih kepada menjadi kuda troya tunggangan para tokoh dan kelompok sebagai bumbu utama untuk konflik.

Penataan kembali

Bila suasana tadi dibiarkan begitu lama, akan berdampak buruk kepada generasi berikutnya. Bukan hanya bangsa ini kehilangan elan vital pendorong kemajuan dan kejahteraan, akan tetapi dikhawatirkan bakal terjadi prahara yang berulang.
Oleh karena itu para cendekiawan ICMI yang masih peduli, banyak mengajukan pikiran untuk menata kembali sistem berbangsa dan bernegara yang lebih berpihak kepada kesejahteraan untuk semua. Suatu kredo perjuangan yang kelihatannya mestinya semakin mengental, bukan kian terabaikan.

Maka di dalam Silaknas kali ini tema induk penataan kembali sistem berbangsa dan bernegara untuk kesejahteraan rakyat, dibahas dan didiskusikan lebih intensif setelah mendapatkan gagasan di dalam beberapa pleno.

Penguatan Ideologi Pancasila

Pleno pertama, penguatan sistem berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dengan narasumber Ketua MPR, Zukifli Hasan dan Pof. Jimly Asshiddiqie, lebih menekankan kepada perlunya revitalisasi ideologi.
Sampai sekarang, ada kesan, Pancasila tidak dipahami secara utuh, bukan saja oleh generasi muda, bahkan oleh para pemimpin sekalipun.

Masih belum terjadi kebulatan pemahaman generasi bangsa, apalagi para tokoh politik utama tentang Pancasila. Pancasila versi 1 Juni 1945 (Soekarno), versi 22 Juni 1945 (Piagam Jakarta), versi 18 Agustus Pembukaan UUD 1945.
Begitu pula versi Dekrit Presiden 5 Juli 1959, versi Seminar TNI AD II 1966, versi pemahaman Orde Baru (Soeharto) dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (1978).

Dan paling anyar adalah Pancasila yang sekarang zaman reformasi yang semakin sayup dan meredup. Apa yang kita pahami dengan Pancasila dalam gebyar 4 pilar bangsa dengan 3 yang lain: UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI. Soal istilah pilar, dasar dan fundamen saja kita masih pro-kontra.

Salah satu yang paling galau, contohya adalah alasan pihak-pihak lain dan paling utama KMP, misalnya.
Mereka memahami Sila ke-4, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, adalah demokrasi tidak langsung.

Bahwa demokrasi langsung sekarang sudah kebablasan. Oleh KMP pemilihan langsung presiden, gubernur, bupati dan walikota harus dikembalikan kepada dewan atau majelis. Kasarnya, demokrasi Pancasila Orde Baru dulu itulah yang benar.
Sementara buah manis demokrasi oleh pejuang reformasi 1998 adalah demokrasi langsung. Dan itu sudah terjadi sejak 2004 sampai 9 Juli 2014 lalu.

Pada sisi lain, ketika mereka merebut kepemimpinan di Dewan, mayoritas merekalah yang menentukan, musyawarah dan mufakat ditinggalkan.

Itulah yang mendorong misalnya, lahirnya UU MD3 hasil sidang kebutan pascapilpres lalu. Sampai hari ini parlemen kita masih terpecah. Walaupun sudah direvisi, tetapi kedudukan DPD tetap tidak disentuh.

Menurut Jimly Assiddiqi, kita sekarang bukan hanya semata-mata harus membaca ulang teks konstitusi yang di situ ada ideologi, tetapi lebih-lebih lagi kita harus memahami moral reasoning of constitution atau landasan-alasan moral konstitusi. Pandangan moral inilah yang kelihatannya sekarang semakin tipis. (bersambung)

Diterbitkan oleh Home of My Thought, Talk, Writing and Effort

Mengabdi dalam bingkai rahmatan li al-alamin untuk menggapai ridha-Nya.

%d blogger menyukai ini: