Catatan dari Silaknas ICMI 2014 Gorontalo (4)

http://hariansinggalang.co.id/menjawab-gawat-darurat-pendidikan/

10452905_10152852546603433_8744932924315268534_o

Menjawab Gawat Darurat Pendidikan

Home » Opini » Menjawab Gawat Darurat Pendidikan

Catatan dari Silaknas ICMI 2014 Gorontalo (4)Catatan dari Silaknas ICMI 2014 Gorontalo (4) — Oleh: Shofwan Karim — Gawat darurat pendidikan di Indonesia. Begitu judul presentasi Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar, dan Menengah (Menbuddikdasmen) Anies Baswedan di hadapan silaturrahim kementerian dengan Kepala Dinas Pendidikan se-Indonesia di Jakarta 1 Desember lalu. (Bagi yang berminat mendapatkan file ini hubungi penulis pada surel: shofwan. karim@gmail.com).

ICMI sangat galau. Bagaikan si bisu bermimpi, seakan ingin ikut menjawab testimoni menteri itu. Pada pleno V Silaknas ini dibahas agak mendalam. Ada 4 narasumber. Mereka adalah Nanat Fatah Natsir, Tuty Alawiyah, M. Jafar Hafsah dan Marwah Daud Ibrahim membuka cakrawala awal.

Di bawah kredo penguatan sistem pendidikan, sosial dan budaya berdasarkan Pancasila, ketiga mereka menjemput pidato Ketua Presidium ICMI, Sugiharto pada pembukaan Silaknas dan Milad ICMI lalu.

Pidato itu menyinggung bahwa 3 tahun lalu, ICMI mengambil tema Silaknas hijrah moral. Oleh Sugiharto, kredo tadi merupakan pendahulu dan singkron dengan revolusi karakter bangsa yang menjadi butir ke-8 nawacita (Sembilan-Cita) Jokowi-JK yang sekarang populer dengan sebutan revolusi mental.

Refleksi pendidikan
Seakan merefleksikan keadaan sebenarnya dunia Islam, bukan hanya Indonesia, Nanat Fatah Natsir, mantan Rektor UIN Bandung dan salah seorang anggota Presidium ini, mensitir beberapa gambaran umum.

Betapa 40 negara mayoritas penduduk Muslim hanya menyumbang 1,5 persen karya ilmiah di dunia. Kita kalah dengan Israel dan Singapore yang menyumbang 0,5 persen.

Padahal tantangan kita sekarang dan ke depan adalah bagaimana mengubah basis ekonomi dari sumberdaya kepada berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.

Di dalam keadaan gawat darurat, pemerintahan baru tentu sedang berupaya keras menghadapi tantangan ‘sakratul maut’ dunia kependidikan ini.

Pada nomenklatur utama ada dua kementerian yang bertanggungjawab. Kementerian Buddikdasmen dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kementerian Ristekdikti).

Sementara itu hampir semua kementerian lain juga mempunyai lembaga pendidikan sendiri. Kementerian Dalam Negeri di samping mempuyai Balai Latihan Besar, juga mempunyai IPDN di Bandung dan di beberapa provinsi.

TNI dan Polri mempunyai lembaga pendidikan sendiri. Kementerian Kesehatan memiliki lembaga kependidikan. Begitu pula pada banyak kementerian yang lain.

Paling luas spektrum dan jangkauannya adalah Kementerian Agama yang mengatur pendidikan sejak dari Raudhatul Athfal, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah.

Universitas serta Institut dan Sekolah Tinggi Negeri. Institut agama dan sekolah tinggi Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha ada di kementerian ini.

Oleh karena itu secara kelembagaan kelihatannya bukan saja terjadi dualisme bahkan multilateralisme.
Dunia kependidikan tampaknya adalah yang paling komplit dan kompleks pengelolaan serta lebih-lebih lagi permasalahannya.
Keinginan sebagian pakar pendidikan sejak tahun 1970-an menjadikan jagat pendidikan Indonesia di bawah satu atap, tampaknya bukan saja semakin jauh, bahkan hampir mustahil.

Merujuk Pancasila

Merespon sketsa dunia kelabu di atas, ICMI ingin mengajak umat dan bangsa Indonesia menelusuri ke masalah hulu. Antara lain mereaktualisasi rujukan filosofis dunia kependidikan, social dan budaya kembali kepada Pancasila.

Pembangunan sumber daya manusia (SDM), kata Marwah Daud Ibrahim, seperti kurang menjadi isu optimal di pemerintahan. Pemerintahan lebih banyak berbicara soal infrastruktur yang bersifat fisik, materi dan konstruksi pembangunan lahiriah-material.

Soal SDM antara ya dan tiada. Maka itu, Marwah mengajak ICMI kembali ke khitattahnya untuk melanjutkan eksekusi program yang berdasarkan strategi program 5 K, seperti yang sudah disebut pada bagian terdahulu dari catatan ini.

Antara pendidikan, sosial dan budaya, merupakan paradigma pembangunan yang berkelindan dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Bukankah pendidikan itu pada hakikatnya adalah transformasi budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Setali dengan itu, nara sumber Tutty Alawiyah, mengingatkan kembali sumber inspirasi kependidikan, social dan budaya itu kepada Pancasila. Muballigat mumpuni itu, mengingatkan bahwa sejak reformasi, Pancasila seakan terabaikan.

Menurut Rektor Universitas Assyafii’yah (UIA) tersebut, mendekati 2 dekade masa reformasi ini, Pancasila tidak populer di wacana atau diskursus politik, apalagi di bidang pendidikan, sosial, budaya dan tingkah laku.

Sikap abai itu bukan saja menjadi fenomena umum masyarakat, bakan terasa hambar di kalangan pejabat pemerintahan dan penyelenggara negara. Pada upacara dan acara resmi kenegaraan tidak ada lagi gaung Pancasila itu.

Nyaris tak terdengar, Pancasila sepertinya bukan saja tidak menjadi pemandu, ironisnya bahkan ada yang ‘alergi’ terhadapnya.
Untuk itu, Tutty yang juga salah seorang pimpinan MUI Pusat ini, menawarkan 4 hal. Pertama, revitalisasi pemahaman dan implementasi Pancasila dalam kenyataan sosial dan budaya bangsa. Kedua, membangun sistem pendidikan nasional yang kuat sebagai pusat pembudayaan dan pemberdayaan bangsa.

Ketiga, mengubah demokrasi poltik kita dari demokrasi prosedural kepada demokrasi substansial. Keempat, mengubah sistem ekonomi kita dari ekonomi kapitalis-neoliberal kepada ekonomi keummatan (kerakyatan) sesuai Pancasila dan UUD 1945.

Akses dan kualitas

Pada bagian lain dari sesi ini, muncul problema dunia kependidikan yang berputar pada dua persoalan. Pertama, soal akses. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada setiap anak negeri bukan hanya mengenyam dunia pendidikan akan tetapi mereguk sedalam-dalamnya.

Kedua, problema kualitas, meningkatkan mutu kemanusian dan tanggung jawab serta kapabilitas sosial. Sejalan dengan itu, perlu ditekankan pendidikan bukan saja alih ilmu dan teknologi tetapi amat penting kesejajarannya dengan peroses pembudayaan dan pemberdayaan.

Artinya, keluarannya baik out-put maupun out-come pendidikan itu, semakin beriman dan bertaqwa, berbudaya, berakhlak, beretika, berkeadaban dan beretos kerja serta mandiri.
Pada bagian lain, Mohammad Jafar Hafsah mengajak ICMI memperhatikan 3 hal yang menjadi daya dorong untuk mengoptimalkan daya dorong.

Peran aktif masyarakat dalam pendidikan perlu ditingkatkan. Pasal 28 UU No.20 Tahun 2003 disebutkan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan.
Lalu, kinerja pemerintah perelu digiatkan. Layanan dalam penyelengaraan pendidikan bermutupun masih membutuhkan penyempurnaan. Anggaran pendidikan yang diamanahkan 20 % dari APBN senantiasa membutuhkan pengawasan agar tepat sasaran.

Kemudian, pembenahan sistem pendidiian nasional yang berbasis kepada kepentingan rakyat. Selama ini orientasi ditujukan kepada percepatan daya intelektualitas peserta didik terbatas angka-angka.
Padahal peserta didik tidak hanya perlu dibekali kecerdasan akademik saja. Sebagai insan Indonesia mereka perlu dibekali kecerdasan spiritual, etika, moral, sosial dan emosional serta kehidupan kewargaan. (bersambung)

Diterbitkan oleh Home of My Thought, Talk, Writing and Effort

Mengabdi dalam bingkai rahmatan li al-alamin untuk menggapai ridha-Nya.

%d blogger menyukai ini: