http://www.harianhaluan.com/index.php/refleksi/37135-bukan-charlie-hebdo-saya-ahmad
Bukan Charlie Hebdo, Saya Ahmad

Oleh Shofwan Karim
Senin, 12 Januari 2015 02:33 –
Apapun alasannya, pembataian kru media syarat sindiran Majalah Charlie Hebdo, Paris, Rabu
7 Januari 2015 lalu, adalah tindakan tidak masuk akal. Semua negara dan semua orang
mengutuk.
Tetapi mengapa terjadi, bagi sebagian opini tidak lagi penting. Sehingga begitu terfokus dan
prihatinnya terhadap peristiwa itu, ribuan warga Prancis mengidentifikasi diri sebagai Charlie
Hebdo. “Je Suis Charlie”. “Saya adalah Charlie”, kata mereka pada sepanduk dan banner yang
dikibarkan.
Akan tetapi tetap saja muncul kontroversi, polemik, perbantahan, perdebatan, perselisihan dan
silang pendapat. Misalnya, sehari setelah kejadian, pada tanggal 8 Januari 2015, di Koran The
New York Time, seorang penulis opini mengatakan, “I am not Charlie Hebdo”. “Saya bukan
Charlie Hebdo”.
David Brooks, penulis opini itu di dalam intro paragraf pertama tulisannya mengatakan begini,
“Para wartawan di Charlie Hebdo kini telah dirayakan sebagai martir atas nama kebebasan
berekspresi, tetapi mari kita hadapi itu: Jika mereka mencoba menerbitkan koran satire mereka
pada setiap kampus universitas Amerika selama dua dekade terakhir ini tidak akan berlangsung
30 detik. Mahasiswa dan kelompok fakultas akan menuduh mereka mengkampanyekan
kebencian. Pihak rektorat akan menghapus beasiswa mereka dan akan memberhentikan
mereka.”
Selebihnya, David Brooks, alih-alih dari mengaitkan peristiwa itu kepada aksi pihak tertentu apa
lagi Islam, lebih banyak mengoreksi prilaku kelompok kritis kampungnya sendiri. Di Amerika
yang bebas mengeluarkan ekspresi, tetapi bila menyangkut sindiran terhadap lembaga suci,
1 / 4Bukan Charlie Hebdo, Saya Ahmad
Senin, 12 Januari 2015 02:33 –
agama dan kelompok serta orang-orang tertentu, tetap diberangus dan dilawan oleh mereka
yang tidak senang. Hanya tentu tidak sampai membantai seperti yang terjadi di Paris kemarin
lalu itu.
Kata David, “Reaksi masyarakat terhadap serangan di Paris mengungkapkan bahwa ada
banyak orang yang cepat untuk memperlakukan seperti orang penting dan menyinggung
pandangan teroris Islam di Perancis. Tetapi jauh lebih sedikit toleran terhadap mereka yang
menyinggung pandangan mereka sendiri di negeri mereka.”
Selanjutnya penulis ini berkata, “lihat saja semua orang yang telah bereaksi berlebihan ke
kampus mikro-agresi. The University of Illinois memberhentikan seorang profesor yang
mengajar pandangan Katolik Roma tentang homoseksualitas.”
Kembali ke Eropa, opini lain menyebut bahwa yang melakukan serangan teror itu ada yang
menyetelnya dari belakang. Dan itu sudah jelas dengan adanya pengakuan dari ISIS di
Yaman. Namun, teori konspirasi tetap subur. Tetapi di balik itu masih ada yang tidak percaya
dengan pengakuan dari Yaman itu. Bahkan menuduh ada bendera lain yang bersembunyi di
belakang.
Gilad Atzmon kolumnis Inggris di dalam tulisannya di dalam gilad. co.uk (9/1) mempertanyakan.
Apakah benar pengakuan itu?. Siapa dan kelompok mana yang sebenarnya bermain? Tetap
pertanyaan besar. Bahkan ada yang curiga, para teoris kali ini bukanlah kelompok profesional.
Mengapa seorang pemuda tanggung usia 18, Hamyd Mour, yang dicurigai dari 3 pelaku
dengan tenangnya setelah namanya disebut di muka polisi, mengaku bahwa dia tidak ada
hubungan dengan peristiwa itu.
Keanehan lain, sementara menganggap pembataian itu dilakuan oleh teroris profesional.
Tetapi mengapa mereka meninggalkan identitas pribadi (ID), Padahal menurut para ahli, hampir
mustahil seorang atau para teroris membawa ID.
Telepas dari itu, bagi kaum minoritas Muslim di Eropa, apapun alasannya peristiwa berdarah di
2 / 4Bukan Charlie Hebdo, Saya Ahmad
Senin, 12 Januari 2015 02:33 –
Paris pastilah sangat memprihatinkan. Bahkan membuat mereka ketakutan. Bahwa
perbuatan itu terkutuk dan tidak pernah diajarkan oleh Islam dan itu bukanlah dari kaum
muslimin, semua sepakat. Akan tetapi tetap saja berakibat memperkokoh pencitraan buruk dan
menyuburkan terus Islamopobhia.
Muhammad Elvandi dari Manchester, menulis dalam islamicgeo (7/1/15), tragedy Paris tanpa
sadar telah mengkhianati Nabi. Di sini diulas betapa tidak Islami perbuatan itu, meskipun
menghadapi orang yang mencaci dan menghina Nabi. Karena di dalam sejarah, tidak pernah
Nabi membalas penghinaan terhadap orang yang mencaci dan menghinanya.
Yang paling dikhawatiri penulis ini adalah, akibatnya terhadap pemeluk Islam minoritas di
Eropa. Puluhan tahun, da’i, ilmuwan, sastrawan, seniman muslim berusaha menampilkan
wajah rahmatan lil ‘alamin Islam, mulai dari kesantunan, intelektualitas, produktivitas, dan
keterbukaan mengajarkan Islam dengan semua cara yang elegan. Ia bukan tugas ringan,
apalagi di Perancis, dimana Islamophobia sangat kental, tidak seperti di Inggeris yang ramah.
Kita salut dengan upaya dan kerja keras selama ini. Mereka sudah bersusah payah meletakkan
dasar dan kerangka pikir Islam yang tepat sehingga banyak orang Eropa yang memeluk Islam
terutama dari kalangan ilmuan, kalangan elit dan kelompok atas.
Pada sisi lain ada lagi yang patut direnungkan tentang korban kematian seorang Polisi Muslim
Prancis korban peristiwa ini. Surat kabar the Daily Mail, BBC, The Guardian dan Washington
Times (8 , 9, 10 & 11/1) melaporkan, Ahmed Merabet (42) sudah 20 tahun bangga menjadi
polisi di Perancis. Almarhum menghidupi ibu dan saudara-saudaranya setelah ayah mereka
wafat. Malik Merabet mengatakan kematian adiknya Ahmad Merabet sia-sia jika masih
banyak orang beranggapan Islam itu sama dengan ekstremis. Pembunuh itu adalah ‘orang
gila’ dan ‘tak beragama’. Mereka adalah teoris, katanya.
Ahmad Merabet berasal dari pinggiran utara-timur Paris, dulunya adalah imigran muslim dari
Afrika Utara. Dia ditembak saat tengah bertugas, berpatroli di depan jalan kantor Charlie
Hebdo. Ahmad dihabisi oleh pelaku meski sudah mengangkat tangan. Dia ditembak di bagian
kepala.
Malik mengatakan sangat bangga pada adiknya telah mengabdi pada kepolisian Prancis dan
3 / 4Bukan Charlie Hebdo, Saya Ahmad
Senin, 12 Januari 2015 02:33 –
berguna di mata masyarakat Ibu Kota Paris.
“Dia tulang punggung keluarga. Dia seorang ayah, saudara, dan satu lagi, saya mengatakan ini
untuk para rasis, baik yang anti-Muslim atau anti-Semit. Kalian tidak bisa mencampur adukkan
ekstremis dengan Muslim. Orang sinting pelaku penembakan ini tidak punya agama. Jadi
hentikan merusak, membakar, dan menyerang masjid atau sinagog,” ujar Malik.
Ajaibnya, kematian Ahmad, entah kebetulan atau memang takdir-Nya, secara tersirat telah
juga mengundang kampanye dukungan terhadap Muslim. Teriakan dan slogan pada banner
yang semula hanya ‘Je Suis Charlie’ (Saya Charlie), kini muncul ungkapan baru ‘Je Suis
Ahmed’ (Saya Ahmad). Selanjutnya mereka meneriakkan anti rasisme dan anti fasisme.
Mereka mau bersatu.
***
SHOFWAN KARIM
4 / 4
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.