
Kivlan Zein, Nur Misuari, dan Abu Sayyaf
Oleh Hasril Chaniago
Pembebasan 10 WNI yang disandera oleh kelompok Abu Sayyaf di Sulu, Filipina Selatan, membuat nama Mayjen TNI Purn. Kivlan Zein ramai menghiasi laman media nasional, cetak maupun elektronik. Putra Maninjau, Agam, kelahiran Langsa (Aceh), 24 Desember 1946 ini, dianggap sosok penting di balik bebasnya ke-10 sandera yang merupakan anak buah kapal (ABK) Brahma-12 milik PT Patria Maritim Lines. Mereka diculik Abu Sayyaf tanggal 26 Maret silam dalam pelayaran mengangkut 7.000 ton batubara dari Banjarmasin menuju Filipina Selatan. Salah seorang ABK tersebut adalah Wendi Raknadian (29) asal Padang, Sumatera Barat.
Pembebasan 10 sandera ini sejatinya adalah hasil kerja pemerintah RI yang melibatkan berbagai pihak dan bekerjasama dengan pemerintah Filipina. Namun setelah 10 sandera dibebaskan penculik, banyak nama dan pihak muncul ke permukaan, karena klaim sendiri atau karena diungkapkan media dan pihak lain. Salah satunya adalah Kivlan Zein.
Selain dijadikan namasumber tentang cerita di balik pembebasan tersebu, nama Kivlan Zein juga disebut oleh Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Pol. Boy Rafli Amar sebagai tokoh yang membantu negosiasi dengan Kelompok Abu Sayyaf. Meskipun diakui oleh pihak resmi pemerintah, tak sedikit pula yang meragukan peran Kivlan Zein. Kok bisa-bisanya? Siapa Kivlan Zein?
Melalui wawancara berbagai media, di antaranya TV One, Kivlan menceritakan nogosiasi pembebasan sandera tersebut dengan lancar. Mantan Kepala Staf Kostrad era Pangkostrad Letjen TN Prabowo Subianto itu masuk ke Filipina Selatan akhir Maret lalu, beberapa hari setelah penyanderaan. Ia mengaku sebagai utusan perusahaan PT Patria Maritim Lines, pemilik kapal yang diawaki ke-10 sandera.
Segera setiba di Filipina Selatan, Kivlan yang didampingi seorang staf dan penerjemah, menemui Nur Misuari, Pemimpin Moro Nasional Liberation Front (MNLF) dan mantan Gubernur Daerah Otonomi Muslim Mindanao (ARMM – Autonomous Regional Muslim in Mindanao). Tokoh Muslim Filipina yang kharismatik itu kemudian meminta Gubernur Sulu, Abdusakur Toto Tan II, yang tak lain adalah keponakannya sendiri, membujuk ‘komandan’ penculik Al Habsyi Misaya agar membebaskan ke-10 sandera. Yang disebut terakhir adalah bekas sopir dan pembantu Nur Misuari ketika menjadi Gubernur ARMM, tapi kemudian bergabung dengan Abu Sayyaf.
Semudah itukah prosesnya?
Hari Senin (2/5) kemarin, seorang pensiunan perwira tinggi TNI adik kelas Kivlan Zein di AMN, memberi tahu saya, bahwa Kivlan berangkat ke Filipina Selatan adalah dalam rangka tugas negara. “Status sebagai utusan perusahaan pemilik kapal hanya kedok penyamaran saja,” katanya.
Kenapa Kivlan yang ditugaskan pemerintah atau TNI atauBadan Intelijen –atau lembaga negara apapun– untuk melakukan negosiasi? Lalu kenapa pula prosesnya seperti begitu mudah saja: 10 WNI yang disandera dilepas tanpa membayar tebusan, sementara beberapa hari sebelumnya seorang warga negara Kanada telah dieksekusi oleh Abu Sayyaf karena tak kunjung membayar uang tebusan.
Tentu saja ada latar belakangnya. Yaitu pengalaman Kivlan Zein hampir 20 tahun silam bertugas di Filipina dan persahabatan pribadinya dengan Nur Misuari.
Tanggal 29 September 1996, saya sebagai wartawan Singgalang bersama rombongan Konjen RI di Davao, sampai di Cotabato City, ibukota ARMM di Provinsi Magoindanao, di bagian selatan Mindanao, pulau terbesar kedua di Filipina. Melalui koneksi dengan Taufan Adityawarman, putra Padang Panjang dan keponakan Gubernur Sumatera Barat Hasan Basri Durin, yang ketika itu menjadi Minister Concellor di KJRI Davao, saya mendapat fasilitas untuk menghadiri pelantikan Prof. H. Nur Misuari sebagai Gubernur ARMM oleh Presiden Fidel Ramos keesokan harinya. Misuari menjadi Gubernur ARMM pasca perdamaian Pemerintah Filipina dengan MNLF yang difasilitasi oleh pemerintah RI.
Di Cotabato City, malam itu saya langsung diajak Konjen RI di Davao, Brigjen TNI Asmardi Arbi –orang Minang asal Pesisir Selatan— berkumpul di salah satu Posko Kontingen Garuda XVII-B. Di situlah saya diperkenalkan kepada Brigjen TNI Kivlan Zein, Komandan Konga XVII-B tersebut.
Begitu mengetahui saya dari Harian Singgalang Padang, Bang Kivlan –begitu ia saya panggil kemudian—langsung menyapa dalam bahasa Minang. “Baa kaba Yonda (Djabar) kini?” tanyanya.
Ternyata Bang Kivlan teman satu angkatan di Akademi Militer Nasional (AMN) dengan Uda Yonda Djabar (Alm., ketika itu Wakil Pemimpin Umum Singgalang). Mereka sama masuk AMN 1967. Kivlan Zein lulus AMN 1971, sedangkan Uda Yonda tidak sampai selesai, lalu melanjutkan karier sebagai pengusaha.
Sebagai Komandan Konga XVII-B –pasukan Penjaga Pedamaian di Filipina Selatan di bawah Organisasi Konferensi Islam/OKI— Brigjen Kivlan Zein mempunyai peranan yang cukup penting dalam proses perdamaian MNLF dengan pemerintah Filipina.
MNLF yang dipimpin Nur Misuari adalah organisasi perjuangan Bangsa Moro yang mayoritas Muslim di Mindanao. Mereka angkat senjata sejak 1973 karena ingin mendirikan negara sendiri di Filipina Selatan. Berbagai perundingan damai dilakukan selama hampir seperempat abad, sampai akhirnya perundingan yang dimediasi OKI khususnya Indonesia tahun 1995. Perundingan tersebut sering naik-turun tensinya. Sampai satu saat di pertengahan 1996 terjadi jalan buntu (deadlock), dan Prof. Nur Misuari menarik diri dari meja perundingan, lalu mengancam kembali angkat senjata.
Dalam keadaan genting tersebut, ketika Nur Misuari sudah pulang ke kampung halamannya di Sulu dan menutup komunikasi dengan siapapun, Brigjen Kivlan Zein datang sendiri menemui pemimpin MNLF itu. Berhari-hari, siang dan malam, Kivlan terus membujuknya sampai akhirnya Nur Misuari menyerah dan setuju kembali ke meja perundingan. Persetujuan damai pemerintah Filipina dengan MNLF akhirnya ditanda-tangani di Jakarta bulan Agustus 1996, antara Nur Misuari dengan Manuel Yan dari pemerintah Filipina, disaksikan Menlu RI Ali Alatas. Sebagai kompensasinya, MNLF diberi kekuasaan memerintah Daerah Otonomi Muslim di Mindanao (ARMM) yang terdiri dari lima provinsi (Basilan, Maguindanao, Lanao del Sur, Sulu, dan Tawi-Tawi). Dan tanggal 30 September 1996 Nur Misuari dilantik sebagai Gubernur ARMM oleh Presiden Fidel Ramos di Cotabato City, dalam sebuah upacara meriah yang didahului pembacaan ayat suci Alquran oleh qari internasional Filipina, Haji Musa Pandai.
Dua hari kemudian Kivlan Zein, tentara tempur itu, mengakhiri tugasnya sebagai Komandan Konga XVII-B. Balik markas ke Jakarta, sepekan kemudian ia dilantik jadi Kasdam VII/Wirabuana di Makassar. Setahun berikutnya menjadi Panglima Divisi-2 Kostrad, dan menjelang Reformasi 1998 Kivlan promosi menjadi Kepala Staf Konstrad mendampingi Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto.
Meskipun telah berjauhan, hubungan persahabatan Kivlan Zein dengan Nur Miasuari tetap langgeng. Akan halnya kondisi Filipina Selatan sendiri, ternyata belum sepenuhnya damai. Perdamaian yang diteken oleh Pimpinan MNLF ditolak oleh kelompok garis keras yang kemudian menjadi MILF (Moro Islamic Liberation Front) yang menginginkan wilayah dan otonomi yang lebih luas, yaitu mencakup 13 provinsi berpenduduk Muslim di Filipina Selatan seperti perjanjian Tripoli 1976. Hingga kini MILF masih berunding dengan pemerintah Filipina.
Selain MILF yang mengklaim memiliki 11.000 tentara, ada lagi kelompok sempalan MNLF yang lebih kecil, yaitu Kelompok Abu Sayyaf (artinya Pemegang Pedang). Meskipun mengusung tema perjuangan untuk pemerintahan sendiri bagi Muslim Filipina Selatan –sama dengan MILF– dalam prakteknya Abu Sayyaf yang didirikan Abubakar Janjalani (bekas pentolan MNLF yang berpendidikan Saudi dan Libya serta pernah bertempur di Afganistan), lebih tampak sebagai organisasi ekstrimis yang dekat dengan aksi teorisme, penculikan, dan perampokan untuk membiayai kelompoknya. Mereka yang menamakan diri Al Harakat Al Islamiyya ini, juga punya hubungan dengan Al-Qaeda dan ISIS.
Kelompok Abu Sayyaf inilah yang menculik 10 ABK Indonesia 26 Maret lalu. Beruntunglah 10 ABK WNI ini, karena komandan penculik mereka, Al Habsyi Misaya, adalah bekas anak buah Nur Misuari. Dan persahabatan Nur Miasuari dengan Kivlan Zen yang tetap terjaga, menjadi pintu masuk untuk membujuk penculik melepaskan para sandera.
Tentang peranan Pimpinan MNLF Nur Misuari dalam pembebasan 10 WNI ini bukan hanya cerita Kivlan Zein dan media di Indonesia saja. Media di Filipina juga memberitakannya. “Laporan menyebutkan, para sandera Indonesia itu dilepaskan lewat bantuan Ketua MNLF, Nur Misuari,” tulis GMA News, media Filipina, dari kaporan koresponden mereka yang berada di Mindanao, Filipina Selatan.*
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.