Dilema dan Alternatif Menag
Dilema dan Alternatif Menag
Oleh Shofwan Karim
Di dalam pemahaman umum, situasi sulit yang mengharuskan orang menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan; situasi yg sulit dan membingungkan itu biasa disebut dilema. Sebaliknya adalah alternatife, memilih di antara beberapa yang baik di dalam kebijakan atau penerapan suatu gagasan untuk digunakan atau dieksekusi sehingga menghasilkan produk yang terbaik.
Pemilihan Menteri Agama adalah dua gugus-paradigma keputusan antara dilema dan alternatif itu. Beberapa saat sebelum pemilihan wakil menteri kabinet Indonesia maju kemarin telah menimbulkan reaksi dari beberapa pihak. Di antara beberapa kementerian yang kejutan itu, adalah Menko Polhukam yang pertama kali adalah sipil, Prof. Mahfud MD. Menteri Kemendikbud yang plus kembali masuk urusan pendidikan tinggi, Nadiem Makarim yang dianggap bukan pakar penggelut utama dunia pendidikan. Terakhir tokoh nomor satu di Kementerian Agama. Ketika Jendral Purn Fachrul Razi, ditunjuk Jokowi-Ma’ruf sebagai Menteri Agama, timbul silang pendapat. Menurut asumsi saya, sebelum pengumuman kabinet, Jokowi-Ma’ruf sudah merasa dilematis sekaligus memiliki alternatif. Opini singkat ini tentang yang terakhir, Menteri Agama.
Beliau berdua galau. Bila tetap seperti selama ini, Menteri Agama dari partai tertentu dan didukung oleh ormas tertentu, maka ada beberapa kenyataan. Di antaranya meski tidak menjadi korban, Menteri Agama yang sebentar berlalu, Lukman Hakim Saifuddin dikaitkan namanya dengan tokoh partai tertentu yang kini sedang tersangka korupsi oleh KPK. Putusan sela, hakim tolak eksepsi mantan pimpinan partai itu. Menteri Agama sebelum Lukman, bahkan sedang menjalani hukuman putusan hakim sebagai melakukan korupsi.
Sejalan dengan itu, persoalan dukungan dari partai serta ormas tertentu juga menimbulkan gossip yang kadang banyak benarnya. Bahwa petinggi kementerian agama harus berafiliasi dengan partai dan ormas tertentu. Parahnya bahkan sampai ke bawah. Ke Provinsi, Kota dan Kabupaten. Maka mengalirlah isu yang tak sedap bahwa kalau tidak didukung oleh partai atau ormas tertentu, atau ada faktor lain yang “orang sudah paham”, jangan harap duduk di situ.
Dilema lain. Ada hak paten sakralitas sejarah. Sosok Menteri agama hak paten ormas Islam karena di peralihan dan awal kemerdekaan, BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) beranggotakan 60 orang dibentuk Jepang 1 Maret 1945. Baru benar-benar diresmikan 29 April 1945 bertepatan dengan ulang tahun Kaisar Hirohito.
Dalam rangka merumuskan UUD Indonesia yang akan merdeka, BUPKI setelah bersidang beberapa kali membentuk tim perumus. Tim ini menyimpulkan produk diskursus, curah pendapat dan perdebatan. Tim itu disebut Panitia 9. Mereka adalah Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, KH. Abdoel Kahar Moezakir, H. Agoes Salim, Mr. Achmad Soebardjo, KH Wahid Hasjim dan Mr. Moehammad Yamin. Hasilnya, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang isinya dimaksudkan menjadi Mukaddimah UUD 1945 dan disitu ada Pancasila.
Pada tanggal 7 Agustus 1945 Jepang membubarkan BPUPKI. Kemudian membentuk PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia) dengan anggota 21 orang. Ke-21 orang itu oleh Jepang dianggap mewakili berbagai etnis Hindia-Belanda. Mereka 12 orang Jawa, 3 Orang Sumatera, 2 Orang Sulawesi, 1 Orang Kalimantan, 1 Orang Sunda Kecil (Nusa Tenggara),1 orang Maluku dan 1 orang etnis Tionghoa.
Sampai 17 Agustus sore, Piagam Jakarta yang asli masih tetap. Beberapa saat sore itu, tujuh kata, setelah Ketuhanan Yang Maha Esa “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dipersoalkan pihak lain. Menurut beberapa sumber, adalah opsir Angkatan Laut Jepang yang berkuasa di Indonesia Timur dan Kalimantan yang namanya tidak diketahui sampai sekarang didatangi oleh utusan Indonesia timur meminta 7 kata itu dihapus.
Kalau tidak, mereka akan tidak ikut dalam Indonesia merdeka. Sampai sekarang utusan yang datang itu tidak ada rincian nama, waktu dan keterangan lain. Hanya ada permintaan kepada Mohammad Hatta pada 17 Agustus 1945 sore untuk maksud itu. Mungkin masa itu, karena masih di bawah Jepang tokoh-tokoh kita tidak perlu mempertanyakan dan percaya saja.
Peristiwa ini menjadi dilematis. Oleh BPUPKI Piagam Jakarta awal disebut Mukaddimah (Prambule) UUD. Kemudian diganti menjadi Pembukaan. Itu hal yang tidak terlalu masalah. Persoalan adalah tujuh kata ….dengan kewajiban menjalankan syairat Islam bagi pemeluk-pemeluknya…minta dihapus.
Atas usul AA Maramis, Mohammad Hatta berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimejo dan Ki Bagus Hadikusumo supaya penghapusan 7 kata tadi dapat diterima. Ketiga nama terakhir tadi adalah Anggota BPUPKI yang tegas menyuarakan kehendak umat Islam untuk Syariat Islam ada disitu. Ketiga mereka yang pertama dari Sumatera dan dua lainnya adalah tokoh Muhammadiyah dari Jawa. Mereka melunak. Maka jadilah Pancasila seperti sekarang.
Kembali ke Menteri Agama, sepanjang masa sampai 23 Oktober 2019, antara tokoh umat Islam, terutama ormas-ormas Islam yang sekarang ada 84 jumlahnya, di antaranya NU dan Muhammdiyah yang paling paling banyak disebut, merasa seakan penentuan sosok Menteri Agama niscaya melibatkan mereka. Atau paling tidak diajak membei masukan. Selama ini, seperti ada komitmen tak tertulis antara NU dan Muhammadiyah. Pos Menteri Agama dan Mendikbud berganti-ganti antara mereka. Bahkan ada masa sebelumnya kementerian sosial dan kesehatan juga mendapat endorcement dari kedua ormas itu.
Panorama sejarah selama 74 tahun Indonesia merdeka dan dihilangkan 7 kata pada Pembukaan UUD yang disyahkan 18 Agustus 1945 menjadi dilema dalam pemikiran tokoh tertentu. Ada yang berpendapat hanya di Indonesia ada Kementerian Agama. Karena itu seakan-akan penunjukannya, meski hak prerogatif presiden, sebaiknya Menteri adalah ulama atau yang direkomendasi ulama. Dan di dalam kenyataannya rekomendasi dari Partai dan Ormas tertentu. Untuk cara berfikir begini, agaknya Jokowi menganggap dengan adanya Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presiden, rasanya Menteri Agama boleh siapa saja yang berkompeten dan dapat meningkatkan menajemen serta menjalankan program dengan sebaik-baiknya. Maka Jendral Fachrul Razi, tepat.
Jendral Fachrul Razi adalah antara pilihan yang logis, tepat dan kondusif untuk situasi Indonesia 5 tahun ke depan. Apalagi sekarang dikenal sebagai koalisi obesitas. Kabinet Indonesia maju bagaikan koalisasi gajah. Bila tidak ada yang mendinamisasikan, akan saling tunggu-menunggu. Sebagai gajah, maka kelihatan akan bergerak lambat, meski kuat dan gagah. Menteri agama Bersama Mengko Polhukam dan Menhan, akan mencari solusi terbaik masalah bangsa di dalam pendekatan yang persuasive di dalam hal menghadapi hal-hal pelik. Di anatranya masa kemarin, tebelahnya sebagian umat antara mereka yang sangat keras dengan rezim berkuasa dan mereka yang lunak serta pro-aktif mendukung pemerintah.
Dan bukan hal baru sama sekali . Bila menoleh jauh ke belakang. Menteri Agama yang militer pensiunan itu ada yang dipuji. Misalnya Letjen Purn Alamsyah Ratu Perwiranegara Menteri Agama 1978-1983 mengatakan bahwa Pancasila adalah hadiah umat Islam. Ketika dia berkata kala itu, banyak yang berpendapat positif. Kalau Bukan jendral bintang 3 itu yang mengatakan, pasti Menteri Agama tidak berani. Hal itu dianggap menguntungkan sentimen hubungan Islam dan masalah kenegaraan serta posisi Pancasila sebagai filsafat, ideologi dan dasar negara, lebih kurang 40 tahun lalu.
Maka sekarang Fachrul Razi mengatakan bahwa saya bukan Menteri Agama Islam tetapi Menteri semua agama, Kristen, Katolik, Hindu, Buda, Konghucu, harus dipahami sebagai pengayom semua umat dan melaksanakan pembangunan semua program agama.
“Kita harus sepakat bahwa teman-teman, Pak Fachrul menteri agama ya, iya tapi saya bukan Menteri Agama Islam, saya Menteri Agama Republik Indonesia. Di dalamnya ada agama-agama lain. Tapi kalau di dalamnya saya gunakan pendekatan Islam wajar-wajar saja karena memang Islam adalah agama yang dipeluk oleh mayoritas,” ujar Fachrul Razi di Kantor Kemenag, Jalan Lapangan Banteng Barat, Jakarta Pusat, Rabu (23/10/2019). (Dari beberapa sumber).
Pada suatu saat Menteri Agama Tarmizi Taher pernah mengatakan saya bukan Menteri Minangkabau tetapi Menteri Agama RI. Begitu pula ada desas desus, ketika Malik Fajar Menteri Agama, dia berkata bahwa saya bukan Menteri Agama Muhammadiyah tetapi RI. Ketika itu saya malah menulis di Koran Singgalang protes kepada Tarmizi Taher, tidak perlu kata itu keluar. Belakangan dia jawab karena banyak betul yang mengaitkan dengan dari mana saya berasal. Hal itu bukan konsumsi publik, tetapi terbatas. Bahwa kemudian heboh, itu tak terpikirkan sebelumnya.
Kontroversial lain karena Jokowi menyebut bahwa tugas Fachrul Razi mengurus radikalisme. Jokowi berkata, “Ke-9, Bapak Jenderal Fachrul Razi sebagai Menteri agama. Ini urusan (Menag) berkaitan dengan radikalisme, ekonomi umat, industri halal, saya kira, dan terutama haji berada di bawah beliau, “ (Dari beberapa sumber)
Di dalam konteks ini, di antara 2 Jenderal yang pernah menjadi Menteri Agama sebelumnya, hampir tidak ada protes terbuka waktu itu. Mungkin karena zaman orde baru, atau memang para pengamat memahami bahwa penunjukan Menteri sepenuhnya hak prerogatif Presiden. Beda dengan yang kali ini. Semua merasa dapat mengeluarkan unek-uneknya. Kebebasan berpendapat dan beropini dijamin undang-undang, apa yang salah?
Tentu tidak ada yang salah. Sejauh silang-kata ini bertujuan supaya Menteri Agama berkerja lebih baik dan memberikan ketenangan kepada umat beragama. Soalnya ada yang sensitif terhadap kata radikalisme. Radikalisme yang terjadi bukan dalam makna filsofis, berfikir secara mengakar dan menghunjam ke perut bumi agama. Tetapi radikalisme dipahami sebagai fenomena lahiriah sifat ekstrim, militansi-fisik, bahkan membawa kepada kekerasan serta terorisme.
Celakanya kata itu selalu disematkan kepada umat Islam. Hal ini dianggap sebagai pejoratif (merendahkan). Beberapa pihak merasa umat Islam tertuduh. Pada hal umat Islam Indonesia itu mayoritas. Berapalah mereka yang terkapar dan tersasar oleh paham radikalisme fisik itu ? Padahal radikalis ada pada semua umat beragama. Bahkan ada pada semua bidang kehidupan. Pada pelaku ekonomi yang disebut liberalis dan kapitalis. Radikalisme politik seperti facisme, nazisme, otoritarianisme, egalitarianisme, demokratisme, liberalisme, sosialisme, kapitalisme. Ada politik sayap kanan-kiri. Ada sosialis, radikalisme social dan seterusnya. Untuk itu semua mari bersabar, ada baiknya kita tunggu, apa jabaran program membereskan radikalisme yang dimaksud Presiden Jokowi pekan lalu itu oleh Kabinet Indonesia Maju 2019-2024 ini.****