Pidato Kebudayaan Irman Gusman Malewakan YPKM dan Peluncuran Buku Saudagar Emas Minangkabau, 2 Juni 2021

ORASI KEBUDAYAAN IRMAN GUSMAN

Pada acara Melewakan Pusat Kebudayaan Minangkabau Ladang Tari Nan Jombang, Padang, 2 Juni 2021

Dalam kesempatan yang terbatas ini, izinkanlah saya berbicara tentang kebudayaan Minangkabau khususnya dan kebudayaan nasional Indonesia umumnya. Kebudayaan adalah suatu sistem gagasan, tindakan, dan karya-cipta yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang mencakup unsur-unsur bahasa, sistem religi, ilmu pengetahuan dan teknologi, sistem sosial, ekonomi, hingga kuliner dan kesenian.

Setiap suku bangsa mempunyai identitas, ciri-ciri dasar, dan tipologi kebudayaannya sendiri. Ciri dasar kebudayaan Minangkabau ditunjukkan oleh adanya bahasa Minangkabau, sistem materinial yang unik, serta sistem sosial dan praktik kehidupan yang berpegang teguh kepada ajaran Islam dan adat Minangkabau yang dipadukan dalam filosofi Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah – syarak mangato adat mamakai.

Atau sebagaimana diistilahkan oleh tokoh Minang dulu, Datuak Singo Mangkuto dalam suratnya kepada Gubernur Jenderal Belanda tahun 1927, ketika memprotes campur tangan kekuasaan kolonial terhadap agama Islam dan adat Minangkabau. Beliau mengibaratkan Islam dan adat bagi masyarakat Minangkabau adalah ibarat tubuh manusia yang utuh: “Agama Islam adalah jiwa adat; sedangkan adat adalah tubuh”. “Jadi, jelaslah bagi Yang Mulia bahwa tubuh dan jiwa tidak dapat dipisahkan”, demikian kata-kata Datuk Singo Mangkuto kepada Gubernur Jenderal Belanda di Batavia.

Perpaduan agama Islam dan adat Minangkabau inilah yang menjadi landasan dasar bagi masyarakat Minangkabau dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini, Rudolf Mrazek, penulis Biografi Sutan Sjahrir, menyebut dua dua tipologi budaya Minangkabau, yakni “dinamisme” dan “anti-parokialisme”. Keduanya ditandai dengan tradisi merantau, berjiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter dan berpandangan luas –sebagaimana kita temukan dalam diri orang-orang Indonesia terkemuka yang berasal dari Minangkabau dari dulu hingga sekarang.

Masyarakat egaliter, masyarakat yang setara kedudukannya, juga menjadi pandangan dasar agama Islam tentang umat manusia. Hal ini diakui oleh Prof. Tsuyushi Kato dalam bukunya “Adat Minang dan Budaya Merantau” yang menegaskan bahwa dalam masyarakat Minangkabau tidak ada stratifikasi sosial, kecuali hanya karena umur – dalam budaya Minangkabau yang lebih muda harus menghormati yang lebih tua. Dan tentu saja, sesuai dengan ajaran Islam dan adat itu sendiri, kedudukan manusia di hadapan Allah adalah sama kecuali dibedakan oleh tingkat ketakwaan dan kemuliaan akhlaknya.

Sekarang kita hidup dalam zaman yang terus berubah, dengan eskalasi yang kian waktu kian meningkat dengan cepat. Perubahan adalah sebuah keniscayaan sebagaimana disebutkan dalam ungkapan nenek moyang kita, sakali aia gadang sakali tapian barubah. Ungkapan ini tentu tidak boleh kita telan mentah-mentah dalam arti harfiahnya saja. Dalam konteks kebudayaan, apalagi hal-hal pokok yang menjadi dasar filosofi kita, ada yang boleh berubah dan harus tetap kita pertahankan, kita jaga martabat dan kemuliaannya. Yaitu apa yang telah menjadi jati diri masyarakat Minangkabau, yaitu bahasa Minang yang menjadi dasar bahasa Melayu, sistem matrilinial, dan perpaduan agama Islam dan adat Minang yang diteguhkan dalam filosofi Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah – syarak mangato adat mamakai. Dengan kata lain, orang Minang adalah orang yang beragama Islam dan hidup dalam sistem sosial dan adat budaya Minangkabau.

***

Dari sejarah kita mengetahui bahwa Minangkabau tidak pernah menjadi wilayah kekuasaan dalam pengertian administrasi pemerintahan secara geografis. Walau pun William Marsden dalam buku Sejarah Sumatera menyebut bahwa Minangkabau adalah kerajaan terbesar di Pulau Sumatra.

Minangkabau lebih kelihatan sebagai wilayah kebudayaan yang mempunyai pengaruh luas di Sumatra hingga Semenanjung Malaya. Tome Pires, seorang pengelana yang pernah menjadi penasihat Portugis di Malaka dan Duta Besar Portugis untuk Cina, dalam buku Suma Oriental mencatat bahwa pengaruh Minangkabau mencakup lebih kurang dua pertiga pesisir Pulau Sumatra, mulai dari Batubara di pantai Selat Malaka, hingga ke Lampung di Selatan sampai ke Barus dan

Meolaboh di pantai barat pesisir Samudra Hindia. Sehingga dalam peta Pulau Sumatera yang ia buat, nama Manacabo atau Minangkabau ditulis sama besarnya dengan tulisan nama Pulau Sumatra itu sendiri.

Sejak berabad-abad silam orang Minang telah merantau ke berbagai tempat di Nusantara ini, bahkan sampai ke Semenanjung Malaya, Brunei, hingga ke Thailand Selatan dan Filipina. Para pengelana awal bangsa Eropa yang mengunjungi Asia Tenggara mencatat bahwa orang Minangkabau sudah menetap di Semenanjung Malaysia jauh sebelum bangsa kulit putih datang ke sana. Sebuah laporan pertengahan Abad ke- 19 menyebutkan tentang “The Minangkabau State in Malay Peninsula” atau Negara Minangkabau di Semenanjung Malaya. Negeri itulah yang kemudian kita kenal sebagai Negeri Sembilan, salah satu negeri atau negara bagian dalam Kerajaan Federal Malaysia yang sekitar 60 persen penduduknya adalah keturunan Minangkabau. Negeri Sembilan sampai sekarang juga masih mengamalkan “Adat Perpatih”, kata lain untuk adat Minangkabau, sebagai dasar kehidupan sosial mereka.

Dengan menggunakan pendekatan teori ekologi budaya, Dr. Zainal Kling, guru besar antropologi di Universiti Malaka, pernah mengatakan bahwa kebudayaan Minangkabau adalah kebudayaan besar yang kuat, sehingga memberi pengaruh positif bagi kebudayaan daerah luar, terutama di Malaysia. Bahkan, Zainal Kling berani mengatakan bahwa sebagian besar sejarah dan kebudayaan Malaysia dipengaruhi kebudayaan Minangkabau. Hal ini ia katakan dalam makalahnya pada Seminar Adat dan Budaya Minangkabau dalam rangka Pekan Budaya Sumatera Barat di Bukittinggi tahun 1985.

Jauh sebelumnya, M.D. Mansur juga ketua “regu penulis” buku Sejarah Minangkabau (1970) yang juga mengajar di Malaysia, telah menulis bahwa kebudayaan Minangkabau juga mempunyai pengaruh dalam sistem pemerintahan Federasi Malaysia yang ia sebut mirip federasi nagari dalam struktur pemerintahan tradisional di Minangkabau. Kemiripan itu juga ditunjukkan dengan digunakannya istilah “Yang di- Pertuan Agong” untuk jabatan raja federal Malaysia. Sebutan “Yang Dipertuan” untuk raja dalam bahasa Melayu hanya dikenal di Minangkabau yang kemudian digunakan di Negeri Sembilan dengan sebutan “Yang di-Pertuan Besar”. Sedangkan untuk kerajaan lain, sebutan untuk pemimpin tertinggi adalah “raja” atau “sultan”. Dan

kebetulan pula, jabatan “Yang di-Pertuan Agong” pertama Malaysia dipangkukan kepada Tuanku Abdulrahman yang tak lain adalah Yang di-Pertuan Besar Negeri Sembilan yang berasal dari keturunan Pagaruyung di Minangkabau. Gambar diri Tuanku Abdulrahman dapat kita lihat dalam semua mata uang Ringgit Malaysia.

Selain berdiaspora beserta adat, budaya dan sistem sosialnya, orang Minang juga membawa serta unsur budaya yang lain, seperti bahasa, agama, kesenian, hingga tradisi kuliner atau masakan seperti randang yang berdasarkan suvei CNN sejak sepuluh tahun lalu telah diakui sebagai makanan paling enak di dunia (the most delicious food in the world). Jadi kalau ada orang Malaysia, misalnya, menyebut randang sebagai warisan budaya nenek moyang mereka, juga tidak dapat kita salahkan. Karena memang di antara nenek moyang mereka itulah yang membawa tradisi memasak rendang dari Minangkabau ke Semenanjung Malaya.

***

Tradisi merantau menyebabkan orang Minang bisa ditemukan di

mana-mana, di kota-kota besar sampai ke pelosok pedesaan di seluruh Indonesia bahkan di luar negeri. Diperkirakan, jumlah orang Minang yang tinggal di Sumatera Barat dan yang hidup di rantau, hampir sama banyaknya. Keadaan ini juga terlihat dari data sensus yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), di mana dari lebih 5,5 juta penduduk Sumatera Barat, lebih 85 persen atau sekitar 4,5 juta adalah etnis Minang. Dengan populasi orang Minang sebanyak 8 juta di seluruh dunia, Ensiklopedia Britannica (2015) menyebut suku bangsa Minangkabau sebagai the largest etnic group alias suku bangsa terbesar di Pulau Sumatra dan etnik terbesar kelima atau keenam di Indonesia.

Orang Minang dalam jumlah yang signifikan terdapat di Provinsi Riau, Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu, serta DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten. Namun sekitar 1 juta orang keturunan Minangkabau juga terdapat di Malaysia, terutama di Negeri Sembilan.

Orang Minang dikenal memiliki daya adaptasi dan kemampuan penyesuaian diri karena memiliki pandangan hidup yang kosmopolitan dengan filosofi “Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”. Mereka selalu hidup membaur, tidak eksklusif, sehingga mudah diterima oleh masyarakat di mana pun mereka tinggal. Bukan hanya diterima, tetapi

banyak pula yang dijadikan pemimpin, pelopor dan pembaharu di daerah- daerah perantauan itu.

Misalnya, Datuk Jenaton tercatat sebagai perintis awal pemukiman di Pulau Pinang, Malaysia, setengah abad sebelum kedatangan orang kulit putih di sana. Keturunannya kemudian menjadi tokoh-tokoh yang yang mempunyai peran penting dalam kemerdekaan dan pembangunan negara Malaysia dan Singapura. Yosof Ishak, presiden pertama Republik Singapura, adalah generasi kelima keturunan Datuk Jenaton.

Di Indonesia sendiri, banyak tokoh asal Minang pernah menjadi gubernur di Maluku, Sulawesi Tengah, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Jambi dan Bengkulu. Selain di pemerintahan, juga banyak yang terpilih sebagai wakil rakyat di DPR maupun DPD dari provinsi luar Sumatera Barat. Contohnya, Pemilu pertama 1955, ada sejumlah tokoh asal Minang yang duduk di Parlemen maupun Konstituante karena dipilih oleh masyarakat setempat. Sebutlah misalnya Buya Hamka yang menjadi anggota konstituante dari Jawa Tengah, Anwar Bey dari Jawa Timur, Mohammad Isa Ansyari dari Jawa Barat, serta Mohammad Natsir yang terpilih dari dapil Jakarta Raya.

Tradisi itu masih berlanjut sampai sekarang, sehingga putra asal Minang yang duduk di Senayan (DPR dan DPD) karena terpilih dari provinsi lain jumlahnya sama banyak bahkan melebihi jumlah anggota DPR dan DPD yang terpilih dari Sumatera Barat sendiri. Hasil Pemilu 2019, ada 14 anggota DPR RI berdarah Minang yang duduk di Parlemen – sama dengan jumlah anggota DPR RI dari Sumatera Barat sendiri. Mereka antara lain Fadli Zon dari Jawa Barat, Evita Nursanty dari Jawa Tengah, Arteria Dahlan dari Jawa Timur, Ahmad Sahroni dari DKI Jakarta, dan banyak lagi dari provinsi lain di Sumatra.

Orang Minang di Rantau juga dikenal mengidap semacam “penyakit” yang mungkin boleh disebut romantisme kampung halaman. Ada ungkapan yang mengatakan, sejauh-jauh terbang bangau, kembalinya ke kubangan jua. Artinya, sejauh-jauh merantau, rasa cinta mereka tertambat di kampung halaman jua. Ungkapan lain mengatakan, hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, namun kampung halaman takkan pernah terlupakan.

Rasa cinta dan kepedulian kepada kampung halaman ini, ditunjukkan melalui berbagai organisasi dan paguyuban yang ada di

mana-mana, baik di dalam maupun di luar negeri. Sebutlah misalnya Ikatan Keluarga Minang (IKM) yang jaringannya tersebar di seluruh Indonesia, atau Forum Minang Maimbau yang berisikan tokoh-tokoh termuka Minangkabau di ranah maupun di rantau. Beberapa tahun lalu, telah hadir Jaringan Diaspora Minangkabau Global atau Minangkabau Diaspora Network-Global yang sangat aktif dengan penggeraknya antara lain Dino Patti Djalal, Prof. Fasli Djalal, dan Burmalis Ilyas, dengan jaringan yang luas hingga ke Malaysia, Amerika, Australia, Eropa, hingga Afrika. Di Malaysia sendiri telah lama pula berdiri Jaringan Masyarakat Minangkabau Malaysia (JM3) dengan tokoh utamanya antara lain Tan Sri Dr. Rais Yatim yang kini menjabat Senator dan Ketua Dewan Negara Malaysia, dan Prof. Dr. Firdaus Abdullah yang juga pernah menjadi Senator Malaysia. Tentu sangat banyak lagi organinasi dan komunitas Minangkabau di seluruh dunia yang sangat peduli dengan kemajuan daerah Sumatera Barat sebagai daerah inti kebudayaan Minangkabau dan kampung halaman bagi semua orang Minang.

Dari sini saya ingin mengatakan, bahwa kebudayaan Minangkabau dan seluruh masyarakat pendukungnya, di ranah maupun di rantau, adalah potensi besar bagi kemajuan daerah Sumatera Barat dan kebudayaan Minangkabau khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Yayasan Pusat Kebudayaan Minangkabau yang kita lewakan hari ini, siap turut serta dan bergandeng tangan dengan seluruh unsur pelaku dan pemangku kepentingan kebudayaan Minangkabau, menjadi mitra bagi pemerintah daerah dan lembaga-lembaga pemerintahan umumnya, demi memajukan, merayakan, dan memartabatkan kebudayaan Minangkabau bagi kemajuan dan kesejahteraan daerah dan masyarakat.

Saya mendapat kabar, bahwa Gubernur kita yang baru, Buya H. Mahyeldi Ansharullah, kini sedang menyusun sebuah Dewan Kebudayaan Sumatera Barat. Ini jelas harapan baru, di mana semua pelaku kebudayaan Minangkabau akan dapat bekerjasama dan saling bersinerji sehingga kebudayaan Minangkabau dapat kita fungsikan dan gerakkan sebagai modal dasar dan modal sosial untuk mencapai kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat Sumatera Barat di masa-masa yang akan datang.

***

Selanjutnya, izinkan saya menyinggung sedikit peranan dan sumbangan kebudayaan dan tokoh-tokoh Minangkabau dalam menggagas, memperjuangkan, dan mendirikan bangsa dan negara Indonesia.

Robert Edward Elson dalam buku The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan (2008) menyebutkan bahwa istilah “Bangsa Indonesia” dalam pengertian politik dan konteks kebangsaan sebagai pengganti kata inlander untuk bumiputra Hindia Belanda, pertama kali diperkenalkan oleh Baginda Dahlan Abdullah, putra Minangkabau yang menjabat Ketua Perhimpunan Hindia di Negeri Belanda. Istilah itu pertama kali ia sebut dalam pidatonya yang berjudul “Wij Indonesier” (Kami Bangsa Indonesia) dalam Kongres Persyarikatan Pelajar-Pelajar Indonesia di Universitas Leiden bulan November 1918. Sepuluh tahun kemudian, istilah “Bangsa Indonesia” dikukuhkan dalam rumusan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang perumus utamanya adalah Mr. Muhammad Yamin, juga seorang putra Minangkabau. Lalu, 17 tahun kemudian, frasa “Kami Bangsa Indonesia” menjadi pernyataan pembuka dalam naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditandatangani Soekarno dan Hatta 17 Agustus 1945.

Sejarah mencatat, bahwa putra-putra Minangkabau telah memberikan andil yang berarti dalam perintisan dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia dari dulu hingga kini. Minangkabau berhasil memberikan sumbangannya tak lain karena kebudayaannya yang mendorong masyarakatnya untuk terus melakukan usaha mencapai kemajuan melalui kesempatan pendidikan yang tersedia atau yang mereka ciptakan sendiri. Pendidikan ini pulalah yang mendorong kemajuan orang Minang di masa lalu, sehingga banyak menghasilkan kaum terpelajar yang sangat dibutuhkan pada masa itu.

Hasil dari pendidikan itu pulalah yang membuat peran orang Minang dalam mendirikan dan membangun negara-bangsa ini pernah begitu menonjol. Sebagaimana ditulis seorang peneliti asing, Elizabeth E. Graves dalam bukunya “Asal-usul Elite Minangkabau Modern” menulis:

Saat proklamasi kemerdekaan, warga Indonesia yang berpendidikan, yang memiliki keahlian profesional dan kemampuan teknis untuk mengelola negeri yang baru merdeka itu masih sangat sedikit jumlahnya. Kebanyakan dari jumlah yang sedikit itu, berasal dari Minangkabau, yaitu

suatu kelompok suku yang mendiami daerah Sumatera Barat sekarang. Jumlah orang Minangkabau di lingkaran elite politik, intelektual dan profesional Republik yang baru merdeka ini amat tidak sepadan dengan jumlah penduduknya yang hanya 3% dari total penduduk Indonesia.

Majalah Tempo dalam edisi khusus tahun 2000 mencatat bahwa 6 dari 10 tokoh paling penting Indonesia di abad ke-20 merupakan orang Minang. Satu dari dua Proklamator Kemerdekaan Indonesia –yaitu Hatta— adalah orang Minang. Demikian pula, dari “Empat Sekarangkai” yang dijuluki Pendiri Republik Indonesia –Soekarno, Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka— tiga di antaranya adalah putra Minang.

Setelah kemerdekaan, Bung Hatta duduk sebagai Wakil Presiden dan Perdana Menteri, sedangkan tiga orang Minang lagi pernah menjabat sebagai perdana menteri, yaitu Sutan Sjahrir, Abdul Halim dan Muhammad Natsir. Satu putra Minang lagi, yaitu Mr. Assaat, pernah menjadi Penjabat Presiden RI. Dalam kurun waktu sama dan sesudahnya, ada pula beberapa putra Minang yang pernah menjadi pimpinan Parlemen, yaitu Mr. Assaat sebagai Ketua KNIP, Zainal Abidin Ahmad sebagai Wakil Ketua Parlemen hasil Pemilu 1955, serta Chairul Saleh yang pernah menjabat Ketua MPRS.

Kalau belakangan dan dewasa ini para pemimpin dan elite kita sering bicara tentang “NKRI adalah harga mati”, tentu kita harus melihat kepada sejarah, bahwa sesungguhnya tokoh-tokoh dan para pemimpin nasional asal Minang juga punya peran besar dalam mendirikan dan meletakkan dasar-dasar NKRI tersebut.

Pada bulan Desember 1949 Indonesia menerima penyerahan kedaulatan setelah Konferensi Meja Bundar di Den Haag dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat atau RIS. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan masyarakat Indonesia, karena jelas mengingkari eksistensi Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 dalam bentuk Negara Kesatuan.

Dari dokumen sejarah, di antaranya tercatat dalam Lembaran Negara RI, adalah berkat peranan para tokoh bangsa asal Minangkabau juga, akhirnya RIS dapat dikembalikan menjadi Negara Kesatuan. Adalah Kabinet RI Yogyakarta di bawah Penjabat Presiden Mr. Assaat dan Perdana Menteri Abdul Halim –keduanya adalah orang Minang– yang menegaskan “Meneruskan Negara Kesatuan” sebagai program

pertama kabinetnya di awal tahun 1950. Lalu pada 3 April 1950 Mohammad Natsir sebagai Ketua Fraksi Masyumi di Parlemen RI mencetuskan Mosi Integral, didukung oleh semua ketua fraksi di DPR RS, yang intinya menuntut kembali ke Negara Kesatuan alias NKRI.

Mosi Integral Natsir kemudian disambut baik oleh Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta dan Perdana RI Abdul Halim sebagai sesuatu tuntutan yang harus dilaksanakan sesuai dengan keinginan rakyat Indonesia. Tidak menunggu waktu lama, pada tanggal 19 Mei 1950, Piagam Persetujuan RIS – RI ditanda-tangani oleh Mohammad Hatta dan Abdul Halim. Isinya adalah kesepakatan “membubarkan” Negara RIS dan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pada tanggal 17 Agustus 1950 Presiden Soekarno meresmikan Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dua pekan kemudian, Presiden memberi mandat kepada Mohammad Natsir membentuk kabinet, dan pada 6 September 1950 Mohammad Natsir dilantik sebagai Perdana Menteri NKRI yang pertama.

Kita perlu mengungkap kisah ini, bukanlah dengan maksud sebagai ungkapan romantisme masa lalu dan kebanggaan sejarah tanpa nilai. Melainkan untuk dapat digunakan sebagai motivasi dan inspirasi bagi kita semua, bahwa kebudayaan Minangkabau dan orang Minangkabau harus selalu peduli dan siap memberikan kontribusinya dalam setiap usaha perbaikan dan kemajuan bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik.

Tanggal 30 Mei 2021 kemarin, kita membaca sebuah artikel utama di halaman opini Harian Kompas berjudul “Lumpuhnya Pancasila” yang ditulis oleh tokoh Minang Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif. Intinya Buya Syafii mengatakan bahwa sejak pertama disepakati hingga saat ini Pancasila baru ideal sebagai “etalase politik”, tetapi lumpuh penerapannya sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa maupun dalam praktik penyelenggaraan negara dan pemerintahan di negara kita.

Pancasila yang sudah kita sepakati sebagai ideologi negara, dasar dan pedoman hidup dalam berperilaku, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, juga ikut dirumuskan oleh para tokoh bangsa asal Minangkabau. Apapun yang terjadi dengan Pancasila, termasuk kenyataan “memilukan” yang dikemukakan tokoh kita Buya Syafii Maarif, tentulah ikut menjadi tanggung jawab kita bersama untuk meluruskan dan

mengembalikannya ke jalan yang benar dan ideal sesuai yang dimaksudkan para Bapak Bangsa.

Hampir 90 tahun silam, jauh sebelum Indonesia merdeka, Bapak Bangsa dan Proklamator RI, Bung Hatta, sudah menegaskan dan mengingatkan dalam tulisannya di Majalah “Kedaulatan Rakjat”, bahwa negara Indonesia yang akan kita dirikan adalah sebuah negara nemokrasi. Yaitu demokrasi yang bersumber dan berakar dalam budaya masyarakat kita sendiri. Bila kita melaksanakan demokrasi dengan hanya menyalin dari konsep demokrasi yang digagas oleh Montesqueu dan Rousseou, maka nanti demokrasi atau politik kita akan dikuasai oleh pemilik kapital.

Kita meyakini, salah satu daerah dan masyarakat yang sudah memiliki budaya dan akar demokrasi sejak lama adalah Sumatera Barat atau Minangkabau. Saya pernah punya pengalaman mendampingi kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Sumatera Barat bulan Januari 2006, di mana Presiden dan rombongan tinggal di Bukittinggi selama empat hari.

Karena kunjungan itu tidak lazim –biasanya presiden hanya berkunjung ke satu daerah satu atau dua hari saja– maka saya pun bertanya. Kenapa kunjungan Bapak Presiden kali ini begitu lama. Apa jawaban Pak SBY? “Pak Irman, kita sekarang sedang membangun demokrasi. Demokrasi tidak cukup hanya sistem, tetapi juga budayanya. Dalam pandangan saya, salah satu daerah yang sudah memiliki budaya demokrasi sejak lama adalah Sumatera Barat atau Minangkabau. Jadi saya ingin mengetahuinya lebih dekat,” kata Presiden SBY.

Sekarang apa yang terjadi? Bagaimana demokrasi kita berjalan? Pancasila baru jadi “etalase politik” kata Buya Syafii Maarif. Sebanyak 92 persen calon kepala daerah dibiayai oleh cukong, kata Menko Polhukam Mahfud MD. Untuk menjadi anggota legislatif diperlukan modal materi yang besar, sebagian juga disokong oleh para toke. Akhirnya, setelah duduk harus membayar utang budi politik kepada penyandang dana. Jadi benarlah yang diingatkan Bung Hatta, demokrasi dan politik kita dikuasai oleh pemilik kapital alias cukong.

Begitu besar tantangan kita ke depan, untuk membangun demokrasi dan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang lebih baik.

Rasanya, inilah saatnya para tokoh, intelektual, budayawan, dan kaum cendekiawan Minangkabau, untuk ikut urun rebug, turut serta memberikan gagasan serta pemikiran positif dan bernas, mencarikan solusi atas berbagai persoalan yang ada, demi kebaikan kehidupan bangsa dan negara kita di masa depan.

Padang, 2 Juni 2021

IRMAN GUSMAN

Ketua Badan Pembina YPKM

Diterbitkan oleh Home of My Thought, Talk, Writing and Effort

Mengabdi dalam bingkai rahmatan li al-alamin untuk menggapai ridha-Nya.

%d blogger menyukai ini: