Memoar 44 Tahun, Shautul Jamiah-Suara Kampus
Edisi 1986 Format Majalah.
Kiriman Abdullah Khusairi.
Memoar 44 Tahun, Shautul Jamiah-Suara Kampus
Oleh Shofwan Karim
Memoar 44 tahun lalu. Barusan terima Whatsapp Message (WA) dari Dr. Abdullah Khusairi, M.A. Rabu, 22/9/2021. Kami memanggilnya Heri. Generasi pengelola Suara Kampus tahun 2000-an. Anak muda yang cemerlang ini aktif di Pers Kampus dan menjadi Wartawan. Laporan dan tulisannya terpapar di media. Seingat saya basisnya di Jawa Pos Group, Padang Ekspres. Kini, anak muda yang tampan dan supel ini adalah dosen di Fak Dakwah UIN dan penulis aktif buku dan media pers.
Heri mengrim beberapa foto serpihan Suara Kampus (SK) yang waktu berdirinya 1977 disebut Shautul Jami’ah. Media cetak koran kemudian majalah, kemudian koran lagi, kemudian majalah lagi, kemudian koran lagi dan kini menjadi media digital online yang tetap eksis di IAIN Imam Bonjol Padang-UIN Imam Bonjol Padang.
Saya menjadi ingat tokoh-tokoh awal SK itu. Dr. Yulizal Yunus, M.Si, Drs. H. Zaili Asril, M.A (alm), Drs, Syafrizal MS (alm), Drs. Fachrul Rasyid HF, Drs. H. Adi Bermasa, Dr. H. Alirman Hamzah, M.Ag., Dr. H. Mafri Amir, M.A., Drs. Herman L, Drs. Akmal Darwis, Dr. Asfar Tanjung, M.A, Drs. Hambali, Drs. Sartoni, M.A., Prof. Dr. H. Salmadanis, M.Ag., Dr. H. Raichul Amar, M.Pd, Hj. Emma Yohanna, B.A., S.Pd.I., Dra. Nuraini Ahmad, Drs. H. Wardas Tanjung, dan lainnya.
Pembina kami waktu itu adalah Pimpinan IAIN IB dari 1976, sampai 1980-an. Mereka antara lain, Rektor Drs, kemudian Prof. Dr. H. Sanusi Latif, Drs. Soufyan Ras Burhany (Wk Rektor II & III), Drs. Usman Latif (Sekretaris IAIN), Drs. Ruslan Latif (Sekretaris IAIN), Kolonel AD Purn H. Hasnawi Karim yang menjadi Rektor setelah Prof Sanusi. Fauzan El Muhammady, M.A (Prof. Dr.) menjadi Wak Rektor I.
Ada lagi Drs. Kamaruttamam, Dekan F Tarbiyah kemudian Wk Rektor II. Drs. Aguslir Nur Dekan F Tarbiyah kemudian Wak Rektor I, Drs. Nurmawan Abdul Jabar Dekan F Tarbiyah, Drs. H. Zainir Naid (Dosen Wak Dekan I F Tarbiyah, H Bahrum Sutan Karyo dan Drs, H, Nukman, Drs. Ahmad Zaini, Dekan F Adab, Drs. Gafar MS, Drs. H Syahruddin Akhir, Dekan F Dakwah.
Ada Drs. H. Nursal Seran, M.A. Dekan F Syariah, Asnawir, B.A.-Keuangan, kemudian Wak Rektor II (Prof. Dr.), Drs. H. Djaja Sukma, Dekan F Ushuluddin, Kemudian Wak Rektor III. Dra. Hj. Meiliarni Rusli, Wak Dekan III Fak Dakwah, kemudian Wak. Rektor III.
Begitu pula Rektor Prof. Dr. Amir Syarifuddin, deretan Rektor setelah Sanusi Latif dan Hasnawi Karim. Kemudian Rektor Prof. Dr. Mansur Malik, setelah Prof Amir Syarifudin. Drs. Fauzi Yusuf-Keuangan Kantor Pusat-, Zainuddin Lajin, B.A., Tata Usaha F Tarbiyah dan banyak lagi pimpinan rektorat, dekanat dan dosen senior dan staf IAIN zaman itu.
Format Majalah. Kiriman Abdullah Khusairi.
Saya langsung audio call by WA kepada Heri. Saya bilang, ini dapat di mana? Katanya ada temannya, Taufik. Bertemu sobekan itu di tempat kosnya. Siapa Taufik? Masih saya lacak. Saya hanya katakan kepada Heri.
Bagi kami yang sudah hampir kepala 7 ini, –alhamdulillah wa syukrulillah masih diberi usia dan kesehatan oleh Sang Khalik–memoar 44 tahun lalu itu amatlah berharga. Kata saya, “Heri, ini lebih berharga dari 1 kg emas” . Heri tertawa terpingkal-pingkal. Nilainya bukan pada sobekan koran dan majalah itu tetapi mengenang kembali episoda lebih 4 dekade lalu.
Koran itu awalnya bulanan. Dicetak di Persetakan Sumatra Offset. Dulu terletak antara jalan Hiligoo-ke SMK 9 Padang, Pondok (kini). Sekarang Sumatera Offset sudah di Jl Agus Salim. Pak Kamener yang punya. Waktu 70-an awal 80-an itu masih percetakan lama dengan menyusun huruf terbuat dari timah. Rumit juga. Berhari-hari kami mengawasi karyawan bagian penyusunan huruf itu kami tongkrongi berganti-ganti.
Dana pencetakan dapat bantuan dari IAIN. Saya lupa berapa ongkos cetak sekali sebulan itu. Yang jelas kami tidak mendapat honor sebagai pekerja dan, reporter dan penulis. Honornya hanya kebahagiaan hati dan kebanggaan.
Saya masih dapat membayangkan bagaiman Fachrul Rasyid yang punya Honda CB 100 CC (beliau hanya satu-satunya di antara kami para aktifis yang punya kenderaan roda dua waktu itu) membawa tompangan bergantian di antara kami duduk di belakang bertahap-tahap membawa bundelan koran yang masih hangat cetak itu ke Kampus Sudirman 25 Padang.
Lalu digendong oleh Salmadanis, atau Sartoni atau Akmal Darwis dari Honda ke Lantai 2 Gedung Kampus 1 Sudirman. Kantor Suara Kampus dengan beberapa mesin tik di ruangan dekat WC itu. Baru nanti dibagikan gratis ke mahasiswa-mahasiswi serta dosen dan karyawan. Coba bayangkan sulitnya masa itu. Untuk satu artikel atau berita menunggu satu bulan dan proses persiapan naskah serta percetakan bisa 1 sampai 2 pekan. Tidak bisa dibandingkan dengan revolusi 4.0 atau sebentar lagi 5.0 sekarang.
Waktu itu mulai terjadi persaingan positif antara kampus. Tetapi kita SK IAIN yang tertua dan pada awalnya.Berikutnya, IKIP menerbitkan media Kampus Ganto. Pemrednya Dosen IKIP (waktu itu) UNP Makmur Hendrik dan Haris Efendi Thahar (Prof. Dr.). Makmur adalah tokoh pers masa itu yang menjadi wartawan Kompas dan penulis novel bersambung “Samurai” Singgalang sekaligus wartawan dan redaktur Singgalang. Haris adalah penyair dan penulis serta mahasiswa senior kemudian dosen dan Guru Besar UNP. Beliau-beliau di antara idola kami.
Edisi 1984 format Majalah. Kiriman Abdullah Khusairi.
Berikutnya Unand menerbitkan Suara Andalas. Saya hanya ingat salah seorang redakturnya Syaiful Bahri. Di samping Mahasiswa Fak Eknomi Unand, Syaiful Wartawan Olahraga Harian Haluan.
Walaupun kelihatan bersaing, media tiga kampus ini, tetapi kami kompak dan bermitra dalam pembinaan SDM. Maka setiap kampus mengadakan Sekolah-Penataran Pers Kampus. Berganti-ganti pelaksananya. Sekali di IAIN, berikutnya di IKIP kemudian Unand. Saya sendiri selalu ikut di 3 lokasi sekolah pers itu dan kadang-oadang jadi panitia.
Yang menjadi instruktur adalah para wartawan muda , senior nasional dan Sumbar waktu itu. Di antaranya Makmur Hendrik (Kompas), Wall Paragoan (Sinar Harapan), Inyiak Nasrul Sidik (Singgalang-Canang), Anas Lubuk, Rusli Marzuki Saria, Rivai Marlaut, (Haluan), H. Basril Djabar, Pendiri dan Pemimpin Umum Harian Singgalang dan Chairul Harun, Pemimpin Redaksi Harian Singgalang dan wartawan Tempo, Muchlis Sulin, Yusfik Helmi (Singgalang).
Begitu pula AA Navis Sastrawan dan penulis terkenal dengan Robohnya Surau Kami. Navis dan tokoh-tokoh lain tadi, bukan saja nara sumber di Sekolah Pers,. Mereka juga sering kami undang atas nama kampus menjadi nara sumber kuliah umum, diskusi, seminar. Ada lagi tokoh-tokoh seperti Wisran Hadi, Leon Agusta, Hamid Djabar , Darman Moenir, Edi P Ruslan Amanriza, Alwi Karmena, sering ke Sudirman 25. menjadi nara sumber diskusi dan tutorial sastra, seni, teater dan kebudyaan secara umum.
Deretan mereka yang disebut belakangan tadi adalah sastrawan, dramawan-teaterawan, dan budayawan top masa itu. Kami latihan drama dan teater. Manggung di Padang. Ketiga kampus utama di Padang kala itu di samping aktif dalam dunia pers juga dunia teater. Di IKIP dan Unand, juga marak aktifitas Teater Mahasiswa. Begitu pula diunia olahraga. Terutama Voli Bal. IAIN adalah juara antar univerisitas, institut dan perguruan tinggi se- Sumbar.
Untuk dunia teater, selain di Sumbar, kita manggung di Pekanbaru, Medan, dan Jakarta. Kita punya grup yang berbasis di lembaga bahasa. Saya menjadi sekretaris lembaga ini (belum pegawai). Direkrurnya adalah Drs. Zainir Naid yang pulang dari Program Colombo Plan, Australia. Dan Nursal Saeran sebagai salah satu pembina Lembaga Bahasa. Nursal baru selesai program Masternya dari Standfort University, California, AS.
Untuk Bahasa Arab dan Indonesia instruktur dan pembinanya adalah Syekh Abdul Latif Musa dari Al-Azhar University, Kairo dan Drs Nurmawan abdul Jabar serta Ibu Ramadian dari IKIP yang menjadi dosen pula di IAIN..
Pertunjukan teater dan hari haflah bahasa menjadi sinkron. Ada naskah yang diangkat dalam dan luar. ” Hanya Satu Kali” adalah karya Anton P Chekov. ” Di Kaki Bukit Taraqalli’” adaptasi karya penulis Mesir. Teater dan haflah bahasa diadakan dalam 3 bahasa (B Indonesi, B Arab dan B Inggris). Bergantian tiap bulan di Aula Sudirman. Itu semua ternyata dapat menggairah penggunaan bahasa asing.
Dengan kemampuan bahasa lisan dan tulisan, mahasiswa-i menjadi percaya diri. Maka pada waktu itu banyak mahasiswa-i IAIN mengikuti program pertukaran pemuda dan mahasiswa di dunia. Terutama Asia Tenggara dan Jepang: Yurnal Young, Eni Rosyda dan Wisyli Wahab. Ke Kanada ada Ruysdayati Idrus, Emma Yohanna , Shofwan Karim dn Bustari.
Banyak pula yang melanjutkan kuliah ke Timur Tengah seperti Kairo, Sudan, Maroko dan Saudi Arabia. Ada Maidir Harun (Prof. Dr.). Ruysdi AM (Prof. Dr). Maznal Zajuli (Prof. Dr.). M. Jarir, M.A., Yunahar Ilyas, (Prof.Dr) dan lainnya. Semuanya boleh dianggap di samping produk kemampuan akademik di bangku kuliah, handalnya dosen pengasuh dan pembimbing, juga buah dari dinamika dan mobilitas , geneologi intelektual Kampus. Ujungnya rentetan produk=-produk itu menjadi konsumsi berita bagi Shautul Jamiah-Suara Kampus. Juga menjadi konsumsi media yang terbit di daerah dan nasional.
Sisi lain, gemuruh, sorak riang-gembira dunia teter sejalan dengan dinamika penguasaan bahasa tadi . Di antara anggota grup Teater Imam Bonjol waktu itu adalah Yunahar Ilyas-Alm (Prof, Dr, GB UMY), Ilza Mayuni (Prof. Dr.) kini Guru Besar di UNJ , Yahya Imam Sari (Imam di Masjid London – Mosque), Adlis Hamdar, Yusmawati, Hj. Emma Yohanna (B.A., S.Pd.I-DPD RI), Kolonel Laut Purn Drs. Azwarlis Zakaria, Dra Latifah, Isteri Prof Dr Armai Arif, Dra. Elyusni (Pensiunan Guru), Drs. Irdinansyah, Drs. Kardinal. Di antara mereka ada yang dilirik oleh sutradara Film Jakarta, sehingga ikut main film yang shooting di Sumbar. Di antaranya Elyusni, Irdinansyah dan Kardinal . Yang saya ingat –kalau tak salah–film, “Titian Rambut Dibelah Tujuh”
Ilustrasi foto ini adalah kiriman Nandito Putra yang pernah menjadi Redaktur Suara Kampus (Kiriman 22.09.2021)
Kembali ke sekolah
pers. Instruktur lain, tentu saja ada unsur pemerintah kala itu dari Kanwil Deppen. Ada tokoh cendekiawan dan kampus seperti Prof. Hendra Esmara (Ekonom) dan Dr. Mochtar Naim (Sosiolog), Unand dan para Rektor 3 Perguruan Tinggi Negeri kala itu (IKIP, IAIN dan Unand).
Produk dari kerja media pers mahasiswa cukup signifikan untuk kemajuan pers di Sumbar kala itu. Alumni media pers kampus banyak yang menjadi wartawan profesional di Sumbar dan Jakarta. Secara khusus kebanyakan yang mengisi itu dari IAIN. Sehingga ada guyonan masa itu. Kalau tamat IAIN menjadi ustazd atau wartawan. ***