Toleransi Kerukunan
Antar Pemeluk Agama
Oleh Shofwan Karim
Selain Sumbar, ada 7 provinsi lagi sebagai percontohan pilot proyek Kerukunan Beragama. Yakni Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Sulawesi Tengah, Riau, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat.
Secara sepintas, kelihatan bahwa menurut penuturan Pelaksana Kakanwil kementerian agama Sumbar ini kabar baik.
Artinya kini Sumbar sudah keluar dari tuduhan sebagai provinsi intoleran (tidak toleran). Tentu dengandemikian termasuk 7 contoh lain tadi. Lihat,
https://www.republika.co.id/berita/r4gxwe430/sumbar-jadi-percontohan-kerukunan-beragama.
Mengapa dulu Sumbar dianggap sebagai wilayah intoleran? Padahal tidak ada yang berubah. Kecuali isu yang dikembangkan pihak tertentu. Maka kalau sekarang isu tidak lagi meruyak, tentulah dari dulu mestinya Sumbar adalah daerah toleran.
Untuk itu, agaknya perlu dilihat makna toleransi secara umum. Yaitu sebagai sikap manusia agar saling menghargai dan menghormati terhadap perbedaan yang ada.
Itu tidak berarti mengakui kebenaran pihak lain kalau bertentangan dengan kebenaran hakiki menurut doktrin dasar agama mereka.
Dalam kehidupan beragama, Islam melihat bahwa perbedaan itusudah diterima sebagai apa adanya. Perbedaan dalam Ibadah danakidah tidak akan mengganggu kalau tidak ada pemaksaankepada mereka untuk mengikuti yang berbeda dengan prinsipmereka.
Jangankan dengan berlainan agama, sesama atau seagama saja, umat Islam sudah terbiasa berbeda dalam pelaksanaanpemahaman, pemikiran serta praktek Ibadah mereka.
Meskipun rukun iman sama dan rukun Islam sama tetapi sudah menjadi kenyataan umum dalam kaifiat-cara pelaksanaan ternyata ada perbedaan . Dan itu semua dilaksanakan dengan prinsip salingmenghargai dan menghormati.
Terhadap mereka yang berlainan keyakinan agama sudah terlaksana dengan baik tidak menggangu mereka bahkan membiarkan mereka dalam cara yang berbeda terhadap akidahdan Ibadah.
Lebih-lebih dalam pergaulan social.
Tidak ada larangan bertegur-sapa, berjual beli, mengikuti pendidikan disatu lembaga yang mereka pilih. Bahkan ada yang jelaslembaga pendidikan agama lain, anak didiknya ada yang tidak sama agama mereka. Itu sudah berlangsung berabad-abad sejakzaman penjajahan, pra kemerdekaan, dan sekarang.
Membiarkan, mentoleransi di sini bukan berarti ikutmelaksanakan akidah dan Ibadah agama lain.
Tetapi kokohdengan akidah dan agama sendiri itu berarti sudah menghargaiagama lain. Karena akidah dan Ibadah adalah dasar masing-masing agama yang bersumber dari wahyu dan ajaran nabi mereka masing-masing,
Itulah pemahaman standar bagi umumnya umat Islam dari Quran, 109-Al-Kafirun : 6. Lakum di nukum waliyadin. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.
Keristen ternyata sama dengan prinsip di atas. Di dalam Kristen sendiri, lihat: https://student-activity.binus.ac.id/po/2016/05/toleransi-beragama-dalam-pandangan-kristen/
(akses : 22.12.2021), mereka harus berpegang teguh kepadaiman eksklusifnya sekaligus hidup bertoleransi dengan orang beragama lain. Caranya, bersikap tulus dan menghormatiterhadap iman dan keyakinan agama lain tetapi itu tidak berartimengakui apa yang mereka katakan tentang kebenaran bilabertentangan dengan kebenaran Kristen
.
Matius 5: 45 tertulis. “Karena dengan demikianlah kamumenjadi ana-anak Bapamu yang di syorga, yang menerbitkanmatahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik danmenurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidakbenar.”
Dalam pemahaman mereka meskipun Tuhannyamenciptakan Matahari untuk orang jahat dan baik, tidak berartiTuhan menyetujui perbuatan jahat dan Tuhan hanya menyetujuiperbuatan baik. Pada sisi lain ada ada arahan toleransi akidah-teologis yang gamblang tidak memaksa.
Quran membiarkan akal manusiamengikuti petunjuk secara bebas dan bahkan Tuhan pun tidakmemaksa manusia beriman kepadanya.
Di dalam Quran 6-Al-An’am: 35 “…Dan sekiranya Allah menghendaki, tentu Diajadikan mereka semua mengikuti petunjuk, sebab itu janganlahsekali-kali engkau termasuk orang-orang yang bodoh.”
Selanjutnya, Quran 10-Yunus: 99 , “Jikalau Rabbmumengehendaki tentulah beriman semua orang yang dimuka bumiseluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusiasupaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya”. Itulah sebabnya, ada kesimpulan hanya karena izin, rahmat, karunia, hidayah serta Ridha Allah sesorang itu beriman kepadaAllah dan memeluk agama yang diredhai-Nya.
Sementara di dalam pergaulan social, sebaiknya menoleh kepadaal-Quran Surat Al-Hujurat ayat 13. “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lak-lakidan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisiAllah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”Di dalam konteks ini, kata takwa dapat dipahami sebagaimemelihara diri dan menghormati prinsip orang lain.
Persoalannya muncul ketika toleransi, berlapang dada, kepala sejuk, hati dingin- dianggap melebihi pijakan agama yang dipahami secara umum.
Misalnya ketika dikaitkan dengan kata kehidupan beragama. Kerukunan kehidupan beragama atau toleransi kehidupan beragama. Oleh pihak tertentu dianggap semua sama saja.
Ada tafsir pihak tertentu yang menyamakan antara kerukunan akidah dan ibadah dengan pergaulan social. Padahal akidah dan ibadah-ritualistik khusus adalah prinsip dasar yang tidak bisadicampur adukkan dengan masalah sosial umum. Bagi Islam Nabi Isa adalah Rasullullah dan Nabi dalam deretan 25 Rasullah yang masyhaur. Bukan yang lain statusnya. Soal shalat tidak bisa untuk ditoleransi dengan mengikuri kebaktian di Gereja dll.
Akan tetapi soal muamalah ada prinsip ihsan. Kebaikan kemanusiaan. Tidak ada batasan berjual beli dengan orang tidak seagama. Tidak ada larangan berbentuk Fatwa Ulama MUI, Pusat dan Daerah. Tidak ada larangan keputusan dari Pastor danPendeta. Tidak ada larangan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI), PerhimpunanHindu Dharma Indonesia, Ratu Pedanda, dan Pemangku Agamalainnya.
Bolehkah bertegur sapa dengan berlainan agama? Tidak adaketentuan yang melarang di dalam teks dan konteks dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu, sebagai agama-agama yang resmi pada kementerian agama di negara ini.
Bahkan di dalam urusan kemanusian seperti menanggulangi bencana alam, banjir, gunung meletus, tanah longsor, mengatasi penyakit menular seperti Covid-19, dengan segalavariasinya seperti Omicron dan mengatasi kemiskinan sertakebodohan, semua pemeluk agama bekerjasama dan tidakpernah mengaitkan dan menanyakan, kamu beragama apa? Di sinilah letak toleransi antar pemeluk dan kehidupan beragama. Oleh karena setiap agama, apapun agamanya mempunyaikonsep kemaslahatan sosial kemanusiaan yang tidak terikat olehfirkah dan aliran masing-masing mereka.
Untuk yang terakhir, bertegur sapa, kehidupan sosial dankemanusiaan mengucapkan selamat hari tertentu menjadisensitif. Pada praktek pranata sosial dan budaya inilah antaralain ada sikap “ghuluw” atau berlebih-lebihan melampaui batas.
Ada keinginan secara halus bahkan kasar oleh pihak tertentuuntuk mengikuti budaya agama lain dalam memperingati hari besar mereka.
Keinginan seperti itu sebenarnya yang boleh disebut sikap intoleransi. Jangan dibalik, Orang yang tidak mengikuti tetapi hanya membiarkan dan tidak mengganggu dianggap tidak menghormati,
tidak toleran dan sebagainya. Bila itu yang terjadi, inilah yang disebut “ghuluw” Atau berlebihan, melampaui batas.
Hal itu disinggung dalam QS,5, Al-Maidah:77.
“… janganlahkamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulu (sebelum kedatangan Muhammad) danmereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan merekatersesat di jalan yang lurus (tersesat dan menyesatkan)”. ***
Tulisan ini merupakan edit ulang dari artikel Komentar Harian Singgalang Format PDF 23 Desember 2021.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.