Islam dan Negara Sekuler

Islam dan Negara Sekuler

Singgalang PadangKamis, 13 April 2023 | 14:49

SHOFWAN KARIM

WACANA Islam dan negara telah berlangsung berabad-abad. Dengan berbagai argumentasinya, maka secara kategoristik, paling tidak terdapat tiga pendapat dan praktik tentang bagaimana konsep umum yang berhubungan dengan eksistensi keberadaan sebuah negara.

Pertama, Islam dan negara merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Negara Madinah, merupakan city-state (negara-kota) ideal. Nabi Muhammad adalah Rasulullah pembawa wahyu sekaligus pemimpin negara.

Rasulullah, di samping tugas pokok misi kerasulannya yang sakral, juga kepala negara dan  pemerintahan sekaligus panglima militer. Lebih dari itu bahkan Rasulullah juga menjadi pengatur kehidupan sehari-hari, politik, eknomi, inspirator, mediator dan katalisator penyatu antar golongan, suku, dan pemeluk agama yang berbeda.

Semua pedoman normatif, strategi, konstitusi, dasar hukum, manajemen negara-bangsa dapat digali dari Al Quran. Bila isyarat Al Quran belum dapat dipahami lebih jelas maka tilik dalam sunnah shahihah atau sirah nabawiyah.

Begitu pula  dapat dirujuk, praktik sejarah zaman sahabat al Rasyidun dan bahkan juga khalifah yang lebih berorientasi duniawi (sekuler) sesudahnya. Baik pemerintahan Umaiyah, Abbasiyah, sampai ke Daulat Bani Usmani sampai pertengahan dekade ke 3 abad lalu.

Kedua, adalah pemisahan yang bertolak belakang antara agama (Islam) dan negara.
Agama hanya urusan keimanan individual, gambaran syurga dan neraka yang berhubungan dengan kehidupan setelah kiamat. Dan negara adalah urusan publik dan bersifat duniawi semata-mata. Inilah yang disebut teori pemikiran sekularisme yang memisahkan urusan negara dan agama.

Merespon terhadap dihapuskannya sistem kekhalifahan Turki Usmani oleh Mustafa Kemal At Taturk 1924 maka sebagian besar para ulama menolaknya. Sebaliknya, salah seorang ulama bukan hanya menerima bahkan memberikan pembenaran.

Pembenaran itu datang dari Ali Abd al-Raziq (1887-1966). Belakangan  ada yang membela. Oleh Ali Abdul Raziq, dibuat kerangka teori bahwa Nabi Muhammad tidak mempunyai misi kenegaraan, politik, pemerintahan dan militer. Nabi Muhammad diutus  hanyalah pembawa misi kerasulannya. Kalaupun Nabi dianggap sebagai pemimpin, itu hanyalah tugas dan misi kemanusiaannya sebagai manusia umumnya.

Kerangka teori itu dipublikasikan dalam kitab al-Islam wa Ushul al-Hukmi (1925). Ia mengemukakan ide-ide dan alasan persetujuannya terhadap pemisahan urusan negara dengan agama.

Menurut al-Raziq,  Al-Quran  dan Hadist tidak mengatur sistem kenegaraan. Lalu,  agama Islam tidak mengenal lembaga semacam itu (khilafah), atau – paling minimal – tidak melarang dan tidak memerintahkannya. Semua itu diserahkan kepada manusia untuk  mempertimbangkannya. Manusia bebas memilih landasan dan sistem apapun sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakatnya masing-masing.

Akibatnya, pemikiran ini memicu kontroversi yang bahkan berakibat buruk ke ulama masa-masa berikut bahkan sampai sekarang. Antara pro dan kontra sepertinya belum selesai.

Pemikiran Ali Abdul Raziq ini, bila ditelusuri,  pada awalnya berasal dari sistem pemikiran Romawi yang tidak senang dengan intervensi gereja terhadap urusan negara dan pemerintahannya. Maka lahirlah slogan urusan negara dan pemerintahan berikan kepada kaisar atau raja dan urusan agama serahkan kepada gereja atau pastor dan pendeta.

Belakangan, pemikiran dan praktek inilah yang disebut konsepsi negara sekuler. Segala hal normatif, filsafat, konstitusi, pemerintahan, hukum, peraturan dan undang-undang, semuanya mesti merupakan produk dan otoritas pemikiran manusia semata-mata. Intervensi wahyu ditolak. Agama bebas dari urusan publik, negara, bangsa dan pemerintahan.

Ketiga, rangkuman dari dua pemikiran yang bertolak belakang tadi. Yang  terbaik dari agama (Islam), wahyu, sumber normatif dan praktek-faktual dirajut secara seksama dengan nilai-nilai politik  demokrasi dan praktik pemerintahan produk pemikiran manusia.

Dari mana pun datangnya yang tidak bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah shahihah, semua dapat dirakit dan disinkronisasikan untuk menjalankan urusan kenegaraan, kebangsaan dan pemerintahan.

Pemikiran yang  ke-3 inilah, pada dasarnya yang mengilhami lahirnya negara-bangsa di dunia Islam abad modern. Setelah Perang Dunia I (1914-1918) , akibat Turki Usmani berpihak dengan Jerman yang kalah, maka bekas dinasti yg juga memang sudah tak terkontrol itu menjadi protektorat Inggris.  Yang lain berdiri sebagai kesultanan dengan Amir-Amir dalam sistem kerajaan sendiri sendiri.
Baru setelah Perang Dunia II (1942-1945), maka konkrititasi dunia Islam menjadi negara merdeka satu persatu terwujud. Sejak itu terjadi perdebatan panjang soal keberadaan negara-negara mayoritas berpenduduk muslim. Mereka merumuskan konstitusi, bentuk negara dan pemerintahan yang mereka merdekakan, mereka proklamirkan, direbut dengan peperangan fisik dan ada pula yang diberi tanpa keringat, darah dan nyawa.

Sejarah panjang 100 tahun terakhir ini telah mempertontonkan pasang naik dan surutnya dunia Islam. Satu hal yang tak dapat ditolak adalah  pengaruh pemikiran Barat dalam praktik kenegaraan, kebangsaan dan pemerintahan.

Demokratisasi, hak asasi manusia, liberalisasi ekonomi dalam kehidupan negara, bangsa dan pemerintahan yang disemaikan Barat ke seluruh dunia, ibarat pisau bermata dua.

Di satu sisi, semaian-bibit Barat tadi mengangkat harkat dan derajat sehingga negara-negara muslim berhak duduk sejajar di Perserikatan Bangsa Bangsa dengan semua negara berdaulat lainnya di dunia. Di sisi lain mereka menjadi korban demokratisasi, HAM dan liberalisasi ekonomi itu.

Terutama di dunia Islam Timur Tengah dan Afrika. Di satu pihak dengan alasan membangun negara kesejahteraan memerlukan stabilitas, maka dipertahankan kekuasaan yang panjang.

Di pihak lain, kekuasaan tanpa kontrol, korup, tiranik dan diktator telah memicu pergolakan, reformasi dan bahkan revolusi.

Itulah yang pernah  terjadi pada protes massal bahkan perang saudara yang sering disebut sebagai Arab Spring Jilid I (2010-2011) dan Jildi II (2018-2022) di Tunisia, Mesir, Aljazair, Libiya, Syiria, Bahrain, dan yang masih berlangsung seperti Yaman. Paling aktual dan  versi lain tetapi sama tercabik-cabiknya adalah Sudan. Setelah pergolakan dan konflik berkepanjangan maka Sudan Selatan telah memisahkan diri dengan Sudan dan menyatakan sebagai negara merdeka sendiri.

Sementara konflik internal dalam variasi yang sedikit berbeda, umat Islam di Thailand Selatan, di Moro Filipina Selatan serta satu dua provinsi di China, sedang memeras nasib mereka. Jangan lupa pula keadaan yang masih traumatis pada  beberapa bekas Sovyet dan sisa-sisa negara Balkan lainnya.

Akan halnya Malaysia dan Indonesia rasanya sudah melewati krisis dunia Islam di atas tadi. Telah melewati revolusi dan reformasi. Meskipun dalam dinamikanya sendiri, kedua negara bertetangga terakhir ini sedang bergulat sesama elitnya sendiri.

(Shofwan Karim; Dosen-Lektor Kepala Pascasrjana UM Sumbar)

Sumber tayang ulang dari :

Islam dan Negara Sekuler

Diterbitkan oleh Home of My Thought, Talk, Writing and Effort

Mengabdi dalam bingkai rahmatan li al-alamin untuk menggapai ridha-Nya.

%d blogger menyukai ini: