MEMAHAMI RADIKALISME, SALAFI, TRANSNASIONAL DAN PLATFORM PARPOL ISLAM MEMBINGKAI UKH
MEMAHAMI RADIKALISME, SALAFI, TRANSNASIONAL DAN PLATFORM PARPOL ISLAM MEMBINGKAI UKHUWAH [1]
I. Mukaddimah. Kasus paling akhir di dalam bulan November 2017 pembakaran kantor Polsek Kecamatan Sungai Rumbai, Dharmasraya. “Yang jelas, indikasi sementara, serangan dari teroris, karena ada kata-kata thogut dan Allahu Akbar,” kata Kapolda Sumatera Barat, Irjen Polisi Fakhrizal kepada para wartawan di Padang, Minggu (12/11).
Lalu, penembakan yang ditengarai oleh ISIS di Masjid Sinai Utara. Otoritas Mesir tengah menyelidiki keterlibatan militan-militan ISIS dalam serangan teror bom dan penembakan di Masjid Al-Rawdah, Mesir yang telah menewaskan 311 orang. Sebuah masjid di kota Bir-al-Abed, di Sinai, Mesir utara, diserang sekelompok orang bersenjata pada Jumat (24/11/2017).
(https://www.nytimes.com/2017/12/01/world/middleeast/egypt-sinai-mosque-attack.html).
Bersama wafatnya Osama Ben Laden, trending beralih ke radikalisme. Ketika ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) yang dianggap pecahan dari gerakan al-Qaedah menyimpang dari khittahnya, berdiri sendiri sebagai garis perjuangan mereka yang baru.
Wacana berikut merupakan deskripsi dan analisis terbatas. Pemahaman semantik kata radikal dalam filsafat pemikiran dan radikal dalam makna aktual gerakan. Apa kaitan radikalisme, khilafah Islamiyah dan beberapa konseptualisasi salafi-wahabi merupakaan deskripsi dan analisis berikutnya. Kemudian apa hubungannya dengan platform atau prinsip dasar dan program yang ditawarkan Parpol Islam dalam hal ini PPP dan PKS serta bagaimana peranannya di dalam menghindari radikalisme dalam aura bingkai ukhuwah dan kebangsaan, merupakan bagian akhir dari diskursus ini.
Di dalam wacana umum, menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), radikal artinya secara mendasar, sampai kepada hal-hal yang prinsip. Perubahan yang radikal bermakna membongkar sesuatu yang mapan sampai ke urat tunggang dan akar-akarnya lalu menanam hal-hal yang baru, yang bahkan bertentangan dengan yang lama. Bila telah menyangkut aksi atau tindakan maka makna sinonimnya adalah ekstrem, militant, melampaui batas atau melewati garis kesabaran dan toleransi, revolusioner, lebih dari itu juga disebut subversive .
Oleh karena media dan diskursus dunia dikuasai Barat, maka wacana fundamentalisme yang menekankan hal-hal mendasar serta berkaitan dengan akar masalah sangat dalam, maka fundamentalisme-radikalisme, sudah salah kaprah dilekatkan oleh mereka kepada pemikiran dan gerakan yang berlabel Islam seperti saat ini.
Tentu saja kalau hanya bersifat ucapan dan paham atau bahkan tulisan maka hal itu dapat disebut sebagai fundamentalisme-radikalisme pemikiran. Pemikiran yang bertolak dari segala sesuatu yang paling mendasar dan original (murni), asasi atau asli. Untuk yang terakhir ini, dapat disebut sebagai pemurnian atau purifikasi pemikiran. Dari sinilah kaitannya, orang senang mengatakan radikalisme juga kadang-kadang dikaitkan konsepsi salafi. Oleh karena kaum salafi, menekankan hal-hal yang berhubungan dengan urat tunggang dalam kehidupan agama dan sosial yang mendasarkan kehidupan atas kemurnian dan kesucian akidah.
Maka kaum salafi merupakan golongan yang sangat menjaga hal-hal yang prinsipil dan paling dalam terhunjam di dalam rekayasa bangunan kehidupan keagamaan, social-kemasyarakatan, paham kenegaraan dan pemerintahan . Dengan begitu kaum salafi menjunjung tinggi hal-hal prinsip itu, bahkan menjadi ideologi yang kokoh.
Apabila hal itu mengkristal menghunjam ke dalam aliran darah dan urat nadi kehidupan, perjuangan dan gerakan, maka menjadilah ia sebagai paham salaf yang disebut salafisme. Salafisme mengambil namanya dari salaf. Istilah yang berarti “pendahulu”, “nenek moyang” atau suatu identifikasi kepada generasi awal Islam. Kaum salaf menjadi “role model” sebagai lambang praktik Islam yang super jenuin.
Sebuah hadits Nabi Muhamad Rasulullah saw, mengatakan “orang-orang dari generasi saya sendiri adalah yang terbaik, begitu pula para sahabat dan berikutnya orang-orang yang datang setelah mereka, dan kemudian orang-orang dari generasi berikutnya, “.
Adalah sebuah seruan yang amat mulia bagi umat Islam untuk mengikuti contoh mereka tiga generasi pertama, yang dikenal secara kolektif sebagai salaf atau “pendahulu yang saleh” (al-salaf al-Saleh). Mereka yang dimaksud dimulai dari Nabi Muhammad Rasulullah saw sendiri, para sahabat (shahabat), yang pengikut (tabi’in) dan pengikut dari pengikut (tabi ‘al-tabi’in).
Kaum Salafi percaya bahwa Al-Qur’an, Hadits dan konsensus (ijma) atau kesepakatan yang disetujui para ulama bersama dengan pemahaman salaf merupakan pandu utama jalan kehidupan. Tidak perlu yang lain, dan cukup itu saja bagi setiap warga dan masyarakat Muslim.
Di dalam konsepsi dakwah, Salafi adalah metodologi dan bukan mazhab fikih (yurisprudensi). Kadang-kadang hal itu dapat bercampur-baur dan mungkin pula terjadi salah paham. Dengan demikian secara metodologis, Salafi dapat berasal dari pengikut Mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali dan Hanafi. Semuanya digolongkan kepada pemikiran Fikih Sunni.
Untuk memahami dengan baik tentang Al-Qur’an atau Hadits, mereka mendukung keterlibatan ulama untuk berijtihad. Tentu saja syarat berijtihad yang terpenuhi. Ini merupakan cara untuk menghindari kebekuan (jumud) dan taklid buta. Khusus untuk akidah, keyakinan dan pandangan teologis, pengikut salafi semata-mata mengikuti apa yang dipahami sunnah shahihah tanpa terbawa kepada dialektika ilmu kalam dan semua bentuk filsafat yang dianggap sepekulatif.
Ajaran salafi menganggap “tawassul” sebagai syirik, termasuk bertawassul dengan tokoh agama dan para ulama. Begitu pula memuja kuburan termasuk memuja kuburan Nabi dan orang-orang yang dianggap suci. Mengunakan azimat (jimat) apalagi batu akik yang punya kekuatan magis adalah syirik. Mempertahankan praktik-praktik itu semua dianggap bid’ah (mengada-ada atau inovasi sesat). Semua itu termasuk politeisme atau syirik. Tidak satupun dari praktik itu yang dibolehkan di kalangan salafi.
Lebih dari itu yang menjadi ideologi mereka bahwa mereka percaya bahwa gradasi dan kualifikasi Islam menjadi turun, setelah generasi awal karena inovasi-sesat agama golongan tertentu dan meninggalkan apa yang mereka anggap sebagai ajaran Islam yang murni. Mereka percaya bahwa kebangkitan Islam hanya akan dapat sukses kalau kembali kepada cara-cara dan peradaban generasi awal umat Islam dan membersihkan semuanya dari pengaruh asing. Lebih dari itu kaum salafi menolak yang disebut konsep teologi dan ilmu kalam apalagi pemikiran filsafat spekulatif.
III. Salafi Modern dan Kontemporer. Kaum Salafi menganggap Muhammad ibn Abd al-Wahhab sebagai sosok pertama di era modern yang mendorong untuk kembali ke praktik keagamaan dari salaf al-shalih. Ia memulai gerakan revivalis (menghidupkan kembali) Islam yang murni di daerah pedalaman Jazirah Arabia pada abad ke-18 yang jarang penduduknya di wilayah Najd (Nejed).
Belakangan bersama-sama dengan Ibnu Saud memurnikan pemahaman Islam dan melakukan gerakan kembali kepada doktrin salafi itu. Dari sejarah yang panjang sekarang menjadi Kerajaan Saudi Arabia. Kolaborasi antara Muhammad Ibnu Abdul Wahab dengan Ibnu Saud itu, oleh beberapa analis disebut sebagai salafi-plus (salafi-politik)
Karya-karya Muhammad Ibnu Abdul Wahab, terutama kitab at-Tauhid, masih banyak dibaca oleh kaum Salafi di seluruh dunia. Bahkan saat ini dan mayoritas ulama Salafi masih mengutipnya. Tidak jarang oleh kalangan lain ajaran asli kaum yang menamakan diri al-Muwahhidun tadi sebagai ajaran Wahabi. Dinisbatkan kepada namanya. Dan ini boleh dianggap sebagai berfikir cara orientalisme (ahli ketimuran-ke-Islaman) kalangan Barat yang bersifat pejorative (merendahkan).
Di antara pengamat, berdasarkan gerakan dan pemikiran mutakhir melihat beberapa aliran salafisme menjadi tiga tren: puritan (murni); orientasi politik dan para penggerak militant yang ekstrim-radikalis.
Tren pertama, puritan adalah gerakan pemikiran dan usaha yang berfokus pada pendidikan dan pekerjaan dakwah untuk rekonstruksi tauhid. Ini dianggap salafi puritan non-kekerasan dalam tabligh , dakwah serta penyiaran memperkuat Islam. Selalu melaksanakan pemurnian kepercayaan dan praktik keagamaan. Tampaknya mereka mengabaikan politik dan kekuasaan dalam menyampaikan misi dakwahnya.
Sementara tren kedua, politik memfokuskan kepada reformasi politik dan membangun kembali khilafah melalui sarana evolusi, tapi bukan kekerasan. Ini disebut kadang-kadang sebagai aktivisme-salafis. Selanjutnya tren ketiga, sebenarnya untuk tujuan politik yang sama seperti kelompok kedua, akan tetapi terlibat dalam tindakan kekerasan, revolusioner yang oleh pihak lain disebut para radikalis-fisik. Mereka ini yang disebut sebagai kaum jihadis tadi, sebagai satu istilah pejorative atau merendahkan. Padahal kata jihad adalah untuk berjuang keras demi kebaikan.
Di dalam media on-line serta situs-situs dunia-maya, akan kesulitan dan susah membagi mana kategori yang benar-benar dari kalangan “Jihadis Salafi” itu yang murni, mana pula yang menangguk di air keruh atau berpura-pura, sehingga membuat buncah jagat dunia global.
Pada tahun 2014 ada analisis oleh Darion Rhodes, dari Kaukasus Emirat mengetengahkan dua kategori. Kelompok ketaatan tauhid dan penolakan dari syirik, taqlid, ijtihad, dan bid’ah, sementara yang lain percaya jihad yang satu-satunya cara untuk memajukan kehendak Allah di bumi.
Dengan begitu tampaknya, meski ada beberapa kesamaan, tetapi banyak kelompok yang memproklamirkan diri di era kontemporer ini yang berbeda pemikiran Salafi mereka. Antara yang satu dengan yang lain sering sangat tidak setuju atas beberapa hal dan menyangkal karakter Islam pihak yang lain.
V. Saudi Arabia dan Indonesia: Salafi yang Beda. Lebih lanjut ada pandangan yang berbeda tentang Wahabisme dan Salafi. Di antaranya mengatakan bahwa setiap Wahabisme adalah Salafi tetapi belum tentu setiap Salafi adalah Wahabisme. Wahabisme dianggap salafi ideologis. Sementara ada salafi non-ideologis.
Yang non-idelogis, semata-mata mempromosikan ketauhidan, anti syirik, anti bid’ah dan mempromosikan Islam melalui pendidikan, memberikan biaya hidup bagi para dosen dalam negeri dan di luar Saudi Arabia. Mereka yang mendukung konsep ini, mempromosikan salafisme di seluruh dunia.
Orang kaya Saudi yang disebut juga petro-Islam, membiayai pembangunan kampus, madrasah, sekolah, masjid, pengadaan buku-buku, memberikan beasiswa bagi angkatan muda negara mayoritas muslim ke Timur–Tengah. Semua itu tidak bisa disebut sebagai salafi-jihadi seperti yang diteorikan oleh para akademisi dan penulis Barat tadi.
Penyebaran paham Salafisme-Wahabi dan Salafi-Murni, di Indonesia pada beberapa waktu belakangan menjadi kajian yang menarik. Ahmad Bunyan Wahib di dalam “Being Pious Among Indonesian Salafis” Al-Jāmi‘ah: Journal of Islamic Studies – ISSN: 0126-012X (p); 2356-0912 (e) Vol. 55, no. 1 (2017), pp.1-26, doi: 10.14421/ajis.2017.551.1-26, mengatakan bahwa salafi itu pada awalnya adalah pengamalan Islam yang otentik atau murni. Islam yang hanya berdasarkan al-Quran dan Sunnah.
“Salafi is known as a group of Muslims who propagate Islamic Puritanism for them. The implementation of Islamic doctrines in their pristine form is a must to maintain the holiness of Islam. Under the framework of puritanization, religious activities should be based on al- Qur’an and ensure the Sunnah as two Islamic main sources in order to purity Islamic doctrines deviations and invalid religious innovation (bid’a). The purification is aimed at separating Islam from all un-Islamic facets, and this is needed to become pious Muslims”.
Menurut Wahib, mengutip Hamka, di dalam Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera (Umminda, 1982), Islam puritan itu di Indonesia mulai awal abad ke-19 yang kita sebut sebagai pergolakan kaum ulama di Minangkabau atau Perang Paderi. Wahib mengatakan,
“The initial phase of the development of Islamic Puritanism in Indonesia can be traced back to the Dutch colonial period in nineteenth century when some Muslims from Minangkabau, West Sumatra, propagated ideas similar to that of Islamic Puritanism after returning from the pilgrimage to Mecca, well known as Padri Movement. This is considered as the early period of Islamic Puritanism in Indonesia. However, the Padri movement has been defeated by the Dutch Colonial.”
Kekalahan Paderi oleh Belanda membuat gerakan purifikasi Islam meredup sampai awal abad ke-20. Lahirnya Muhammadyah (1912), al-Irsyad al-Islamiyah (1914), Persatuan Islam (Persis, 1923) kembali menjadikan purifikasi Islam sebagai dasar gerakan yang dikombinasikan dengan modernisme Islam atau Islam bekemajuan. Kemudian lahirnya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia 1967 yang dianggap dekat dengan Saudi Arabia dan berdirinya LIPIA yang memang insitiatif dari pihak Arab Saudi.
Namun di era kontemporer ini gerakan salafi di Indonesia menjadi lebih kentara dalam tiga hal. Pertama, tetap memelihara purifikasi Islam dalam hal akidah dan ibadah tetapi, kedua, didalam tatanan budaya hidup sehari-hari ingin seperti kebiasan orang Arab. Ketiga, menolak budaya lokal dan menolak budaya dan pikiran barat. Oleh karena itu di dalam cara berpakaian baik pria maupun wanita, bergaul dan dalam cara bertegur sapa kaum salafi Indonesia mempunyai tagar, “murnikan akidah, sebarkan sunnah”. Di antaranya berpakaian komprang kaki celana di atas tumit atau separoh betis, berjenggot, berbaju gamis dan peci putih bagi pria . Dengan jilbab amat lebar, memakai cadar atau niqab bagi wanita. Di dalam percakapan sehari-hari lebih senang mengatakan “antum” dan “ana” dari pada menyebut kamu atau saya. Begitu pula ucapan lainnya yang disenangi dalam istilah atau Bahasa Arab.
Setakat itu, tidak ada masalah yang memperoalkan salafi di Indonesia. Persoalan buncah ketika beberapa waktu lalu dikaitkan dengan gerakan dari manca Negara yang lebih dinamis. Antara lain dikaitkan dengan istilah Islam Trans-Nasional. Ada fenomena (gejala) semakin mengentalnya pemahaman ke-Islaman yang dekat ke gejala tersebut, di samping tentu saja ada yang semakin menjauh.
VI. Islam Transnasional. Terma Islam Transnasional, secara umum mengacu kepada gerakan beberapa harakah (gerakan) Islam lintas negara bahkan lintas benua. Beberapa organisasi besar Islam di dunia, boleh disebut sebagai gerakan Islam Trans-Nasional itu.
Terhadap organisasi masyarakat madani ormas Islam tersebut, perlu ada dorongan yang kuat untuk meningkatkan hubungan yang mesra antara sesamanya. Akan tetapi ada faktor lain, yang kurang disadari bahwa peranan Partai Politik (Parpol) sebagai infra dan supra struktur politik nasional cukup menentukan untuk meningkatkan harkat dan martabat organisasi ummat tadi.
Apalagi Parpol, di dalam hal ini Parpol Islam secara langsung atau tidak, agaknya dapat memberikan pengaruh positisif yang signifikan terhadap kehidupan keumatan dan kebangsaan dalam bingkai ukhuwah untuk ke-Indonesiaan dan ke-Islaman yangrahmat li al-alamin.
Secara tersirat diskursus penyatuan payung Parpol menurut sejarah lahir dan berkembangnya sampai hari ini masih ada di dalam back-mind (pikiran-tersirat) dan hidup di kalangan tertentu. Terutama pada kalangan ideolog muslim senior. Di Amerika, dua partai utama Republik dan Demokrat, masih layak menjadi cermin. Betapa negara terbesar berpenduduk terbesar ketiga setelah Tiongkok dan India itu cukup dengan dua partai dominan itu.
Bayangkan dengan Indonesia dengan populasi ke-3 terbesar di dunia setelah Amerika, mempunyai 12 Partai mendapat kursi dan beberapa kekuatan mayoritas Parlemen. Jumlah Partai itu terasa kurang menguntungkan kepada laju pertumbuhan dan perkembangan kesejahteran rakyat dan kemajuan bangsa.
Rendahnya kinerja bebeberapa bahkan sementara pengamat mengatakan sebagian besar anggota Kabinet Jokowi-JK, langsung atau tidak karena terlalu banyaknya partai. Dalilnya, sebagian karena kepentingan Partai tidak dapat ditolak oleh Jokowi-JK, sehingga merit sistem dan cabinet kerja yang bertumpu semata-mata kompetensi, tidak banyak bisa diaplikasikan. Oleh karena tidak semua pakar partai yang layak masuk ke Kabinet. Atau bahasa vulgar-nya, orang Partai yang duduk di Kabinet tak “pas”.
Belajar dari Orde Baru yang banyak kegagalannya dan dianggap ademokratis, namun di dalam penataan Partai Politik, Pengkaderan Partai serta etika dan budaya politik, agaknya masih layak mendapat apresiasi. Terutama dengan penyederhanaan partai (fusi) dari 10 menjadi 3 kekuatan: Nasionalis-Sekuler (PDI); Agamis-Nasionalis (PPP); dan Kekaryaan-Fungsional (Golkar).
Zaman reformasi, pada struktur politik, secara gradual terjadi penurunan dari lebih 40 Parpol pada awalnya (1998-2004) kini tinggal 12 Parpol. Dan sebetulnya, tanpa disadari dengan tidak mempedomani Platform Partai secara murni, mereka sudah mengerucut di Parlemen menjadi 2 kekuatan: Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisasi Merah Putih (KMP).
Pengerucutan itu kelihatannya murni karena kekuasaan, suka dan tidak suka. Bercampurlah di situ antara partai yang platformnya Pancasila murni, Pancasila plus, antara sekuler dan agamis atau bahasa moderatnya antara partai nasionalis-agama dan agama-masionalis.
Beberapa waktu lalu bahkan secara di bawah sadar, sampai sekarang masih terasa ada perpecahan pada beberapa partai. Apakah itu karena perbedaan platform-partai? Secara kasat mata, jawabannya, tidak. Kelihatannya hanya soal kekuasaan semata. Di dalam memillih koalisasi juga tidak karena platform. Kalau platform Pancasila-plus agama, tentunya PPP harus satu kapal dengan PKB, PAN, PKS dan PBB. Atau sebaliknya Partai platform Pancasila-plus sekuler, mestinya PDIP, Golkar, Demokrat, Hanura, Nasdem , Grindra dan PKPI dalam satu kapal lainnya.
Kembali ke PPP, partai ini boleh dikatakan Partai Islam garis tengah dan moderat. Sebagai yang termaktub di dalam Khittah Perjuangannya di dalam menjalankan ideologi politik, dilakukan secara moderat dengan prinsip ukhuwah, ta’awun dan tasamuah :
“PPP menyadari bahwa kemajemukan dan keragaman umat Islam dalam pikiran dan paham keagamaan merupakan rahmat bagi umat yang harus diterima sebagai pelangi dinamika untuk mencapai kebenaran hakiki. Sebab sikap menghormati berbagai perbedaan pikiran dan pandangan merupakan wasilah bagi terbentuknya kehidupan kolektif yang dilandasi semangat persaudaraan (ukhuwah), tolong menolong (ta’awun), dan (tasamuh).”
Bila kita sigi PKS, maka dalam bahasa yang lain ada tujuan dan maksud ideal yang dimiliki. Hal itu tersurat di dalam visi dan misinya. Visi Indonesia yang dicita-citakan PKS adalah terwujudnya masyarakat madani yang adil, sejahtera, dan bermartabat.
Tentu saja beberapa partai politik Islam seperti PKB dan PBB tidak akan jauh berberbeda dengan Platform PPP tadi. Namun di dalam kenyataannya, perjalanan partai ini tidak semulus apa yang dibayangkan, meski semua merujuk kepada nash yang sama, seperti yang sering dikutip Quran, al-Hujurat, 49:10.
“ Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
Dari platform partai-partai Islam tadi, kelihatan bahwa paling tidak di dalam rangka dinamika politik nasional Islam dan kebangsaan dalam bingkai ukhuwah Islamiyah, harus dilakukan upaya strategis dan konkret secara internal sesama pendukung, anggota, kader dan pemimpin masing-masing. Lalu secara simultan terhadap umat Islam dan bangsa secara keseluruhan. Parpol diharapkan menjakankan agenda aksi yang lebih signifikan pula.
Secara internal, seyogyanya Parpol menjalankan program berpedoman sepenuhnya kepada platform. Terlebih dulu apa yang menjadi sejarah, visi dan misi, ideologi, pengkaderan dan pembinaan anggota serta artikulasi alokasi dan distribusi politik serta fungsi dan peranannya sebagai infra dan supra struktur politik nasional, mesti ditanamkan kepada warga partai masing-masing.
Upaya gesekan internal untuk menghindari dualisme kepemimpinan, apalagi organisasi partai yang terbelah seperti yang terjadi pada waktu yang lalu yang masih terasa akhir-akhir ini pada beberapa partai, kiranya diantisipasi jauh hari. Kalau tidak, maka sejarah partai ke depan akan lesu dan itu merugikan ummat dan bangsa secara keseluruhan.
Selanjutnya, Parpol Islam kiranya melakukan antisipasi terhadap kemungkinan berkembangnya radikalisme ideologis, apalagi gerakan ekstrim yang akan menimbukan gesekan dan titik api. Upaya menyusupnya kekuatan ekstrim yang dibawa oleh Islam transnasional ke dalam Parpol yang pada gilirannya merembes ke tengah masyarakat, umat dan bangsa harus diwaspadai dan harus kreatif melakukan upaya antsipatif .
Bersamaan dengan itu semua, bingkai ukhuwah dan silaturrahim sekaligus pendidikan politik umat dan bangsa, kiranya menjadi kepedulian yang prima bagi Parpol, terutama Parpol Islam. Wa Allah a’lam bi al-shawab. ***
__________________________________________
http://www.wikiwand.com/id/Shofwan_Karim_Elha
Amerika. Lihat, Mohamed Nawab Mohamed Osman
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.