Islam Berkemajuan: Menyegar-Ulang Poros Minang dan Jawa

Islam Berkemajuan: Menyegar-Ulang Poros Minang dan Jawa

Novitri Selvia13 April 2023 10:28 am

Shofwan Karim Dosen-Lektor Kepala Pascasarjana UM Sumbar

PERTANYAAN yang sering muncul di kalangan public umum adalah, apakah dengan diksi Islam berkemajuan ada pula Islam berkemunduran? Pemikiran ini bagai teas dan antitesa serta bagaimana sintesanya.

Muhammad Darwis atau lebih dikenal KH Ahmad Dahlan (1888-1923) pada awal mendirikan Muhammadiyah (1912) sudah memulai diksi pendek, Islam berkemajuan. Sebenarnya, di Minangkabau wacana Islam berkemajuan secara intrinsik (makna hakiki dari dalam) sudah mendahuluinya.

Istilah kaum muda yang ada di Minangkabau kala itu menjadi mantra bagi kaum paham “modern” kala itu merespons perkembangan masyarakat. Oleh kaum tua kurang diperhatikan di awal abad lalu tersebut. Kira-kira kaum muda ini pemikiran mereka mirip dengan apa yang menjadi wacana dan ikhtiar Dahlan yang dimaksudnya berkemajuan.

Tokoh kaum muda merupakan hulu dinamika berkemajuan di Minang. Promotornya empat serangkai ulama. Mereka adalah Abdul Karim Amrullah (1879-1945) atau Inyiak Rasul-Inyiak DeEr. Abdullah Ahmad (1878-1933) keduanya tahun 1925 beroleh Doktor Kehormatan (Dr.HC) dari Universitas Al-Azhar, Mesir (bukankah ini berkemajuan?).

Syekh Djamil Jambek (1860-1947). Serta Ibrahim Musa Inyiak Parabek (1884-1963). Dengan begitu agaknya bisa disebut bahwa diksi Islam berkemajuan itu bagai air hujan yang datang dari langit nusantara menggenang di dua danau. Danau itu mengalirkan dua poros sungai kemajuan: Minang dan Jawa.

Bila ditilik dari pemahaman pemikiran dan logika masa awal tadi maka perdefinisi Islam berkemajuan lebih kepada makna memahami dan mengamalkan akidah tauhid murni. Ibadah yang murni tak bercampur dengan khurafat, takhayul dan bid’ah, bersih dari budaya nenek moyang serta kultur lokal.

Mereka agaknya derkelindan dengan kaum apa yang dinamakan di Arabia sebagai kaum al-muwahidun. Penganut tauhid mutlak. Secara teoritis, inilah yang sering disebut sebagai purifikasi atau pemurnian agama.

Sejalan dengan itu, tidak cukup dengan permurnian, Islam harus membumi untuk ikhtiar kehidupan yang baik di dunia. Doa “sapu jagat” memohon kebaikan di dunia dan akhirat harus diiringi dengan paralelisme kedua konten pokok tadi.

Maka untuk tujuan dunia, itulah makna kemajuan dan pembaruan atau modernisme. Bersamaan dengan itu untuk kebaikan akhirat inilah pada masa itu yang disebut pemurnian tadi.

Yang pertama dipahami sebagai tajdid dan yang kedua dipahami sebagai tashlih. Agaknya perdefinisi itulah yang dikonstruk ulang atau redefinisi oleh Dahlan, ketika kata berkemajuan menjadi membumi ketika Dahlan selama 8 bulan mengajarkan kepada santrinya mempraktekkan isi surat surat al-Ma’un.

Ikhtiar menyantuni anak yatim dan orang miskin berarti sekaligus memberdayakan mereka. Untuk maksud itu harus dinisbahkan ke banyak ayat dalam Al Quran dan Hadist serta sirah nabawiyah. Lalu disinkronkan aplikasinya dalam kenyataan hidup sehari-hari.

Di Minangkabau definisi itu mendahului Jawa. Gerakan Paderi (1803-1821) dan Perang Paderi (1821-1837) bersumbu kepada hal di atas. Sementara Perang Paderi sudah berkemajuan plus. Plus di sini dimaknai sebagai nilai perjuangan dari dalam (kebebasan) dan ekstrinksik (mengejar kebaikan). Kedua faksi kaum agam dan adat menyatu melawan Belanda.

Baca Juga:  Genius Siapkan100 Pemuda ke Korea

Bukankah itu inspirasi pencuatan energi dari dalam. Dan boleh jadi KH Dahlan terinspirasi dari gurunya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkawi secara simultan juga dengan gerakan Paderi tadi. Diskursus dan aplikasi Islam berkemajuan mengalami pasang naik dan turun.

Naik ketika munculnya semangat baru ber-Islam. Mereka dulu dianggap ketinggalan dalam merespons kemajuan dunia, lalu meningkatkan sumber daya manusia umat dengan pendidikan ketaqwaan (iman dan ibadah), kognitif (ilmu), afektif (moral-akhlak) dan psikomorotik (skil-vokasional).

Pada awal dan sepanjang abad lalu, Muhammadiyah mendirikan dan menggebiarkan dunia pendidikan, kesehatan dan santunan sosial serta kemanusiaan. Kini terus melakukannya dan jamaah, jam’iyah serta kelompok lain pun sudah melakukan pula hal yang sama meski terasa getaran, aura dan capaian mereka berbeda-beda.

Di Minangkabau Inyiak DeEr bersama tokoh sezaman membangun Thawalib. Abdullah Ahmad mendirikan Sekolah Adabiyah. Inyiak Syekh Djambek berbasis surau Tangah Sawah dan Surau Kamang dengan mensyiarkan taklim Islam moda tabligh.

Sejalan dengan melek baca dan tulis percetakan buku, belakangan mengispirasi Tsamaratul Ikhwan dan Pustaka Sa’diyah, Bukittingi dan Padangpaanjang. Ibrahim Musa berbasis Surau Parabek mendirikan Madrasah Thawalib Parabek. Semuanya masih bekembang oleh pelanjutnya sampai sekarang.

Sejalan dengan itu dalam redefinisi Islam berkemajuan, dalam bidang pendidikan mesti dimasukkan Inyiak Canduang. Adalah Syekh Sulaiman ar-Rasuli (1871 19970). Ulama yang sedang diperjuangkan menjadi Pahlawan Nasional ini, mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Canduang.

Ia dianggap sebagai tokoh yang menyebarluaskan gagasan keterpaduan adat Minangkabau dan syariat lewat kredo Adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (ABS-SBK). Pada beberapa kajian, inyiak Candung dianggap merevitalisasi serta mereaktualisasi Sumpah Sati Bukik Marapalam satu abad sebelumnya yang dianggap proklamasi awal SBS-SBK tadi.

Dan sekarang bukan hanya Inyiak Canduang dan pengikutnya mengubah definisi lama. Sekarang semua sudah berorientasi kemajuan. Dan sebaliknya para penganut purifikasi ajaran dan peraktik ibadah mahdhah masih tetap sama. Namun mereka melakukan reorientasi (pendekatan ulang). Mereka lebih akomodatif di tingkat public dan konsisten dalam sikap dan amaliah perorangan.

Maka terjadilah reaktualisasi dalam aplikasi berkemajuan. Purifikasi mereka tetap dilakukan namun menghindari ketidaknyamanan pihak lain. Inilah titik awal dan ujung, QS, al-Anbiya’ 107: “Kami tidak mengutus engkau wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.”

Maka tesa dan anti tesa pada awal tulisan ini, seolah sudah menemukan sintesanya, Islam berkemajuan menjadi paradigma dan praktek kaum muda, kaum tua, tradisional, modern, pasca-modernisme, bahkan di kalangan milineal. Alla a’lam bi al-shawab. (Shofwan Karim
Dosen-Lektor Kepala, Pascasarjana UM Sumbar)

Sumber tayang ulang dari :

Islam dan Negara Sekuler

Islam dan Negara Sekuler

Kamis, 13 April 2023 | 14:49

SHOFWAN KARIM

WACANA Islam dan negara telah berlangsung berabad-abad. Dengan berbagai argumentasinya, maka secara kategoristik, paling tidak terdapat tiga pendapat dan praktik tentang bagaimana konsep umum yang berhubungan dengan eksistensi keberadaan sebuah negara.

Pertama, Islam dan negara merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Negara Madinah, merupakan city-state (negara-kota) ideal. Nabi Muhammad adalah Rasulullah pembawa wahyu sekaligus pemimpin negara.

Rasulullah, di samping tugas pokok misi kerasulannya yang sakral, juga kepala negara dan  pemerintahan sekaligus panglima militer. Lebih dari itu bahkan Rasulullah juga menjadi pengatur kehidupan sehari-hari, politik, eknomi, inspirator, mediator dan katalisator penyatu antar golongan, suku, dan pemeluk agama yang berbeda.

Semua pedoman normatif, strategi, konstitusi, dasar hukum, manajemen negara-bangsa dapat digali dari Al Quran. Bila isyarat Al Quran belum dapat dipahami lebih jelas maka tilik dalam sunnah shahihah atau sirah nabawiyah.

Begitu pula  dapat dirujuk, praktik sejarah zaman sahabat al Rasyidun dan bahkan juga khalifah yang lebih berorientasi duniawi (sekuler) sesudahnya. Baik pemerintahan Umaiyah, Abbasiyah, sampai ke Daulat Bani Usmani sampai pertengahan dekade ke 3 abad lalu.

Kedua, adalah pemisahan yang bertolak belakang antara agama (Islam) dan negara.
Agama hanya urusan keimanan individual, gambaran syurga dan neraka yang berhubungan dengan kehidupan setelah kiamat. Dan negara adalah urusan publik dan bersifat duniawi semata-mata. Inilah yang disebut teori pemikiran sekularisme yang memisahkan urusan negara dan agama.

Merespon terhadap dihapuskannya sistem kekhalifahan Turki Usmani oleh Mustafa Kemal At Taturk 1924 maka sebagian besar para ulama menolaknya. Sebaliknya, salah seorang ulama bukan hanya menerima bahkan memberikan pembenaran.

Pembenaran itu datang dari Ali Abd al-Raziq (1887-1966). Belakangan  ada yang membela. Oleh Ali Abdul Raziq, dibuat kerangka teori bahwa Nabi Muhammad tidak mempunyai misi kenegaraan, politik, pemerintahan dan militer. Nabi Muhammad diutus  hanyalah pembawa misi kerasulannya. Kalaupun Nabi dianggap sebagai pemimpin, itu hanyalah tugas dan misi kemanusiaannya sebagai manusia umumnya.

Kerangka teori itu dipublikasikan dalam kitab al-Islam wa Ushul al-Hukmi (1925). Ia mengemukakan ide-ide dan alasan persetujuannya terhadap pemisahan urusan negara dengan agama.

Menurut al-Raziq,  Al-Quran  dan Hadist tidak mengatur sistem kenegaraan. Lalu,  agama Islam tidak mengenal lembaga semacam itu (khilafah), atau – paling minimal – tidak melarang dan tidak memerintahkannya. Semua itu diserahkan kepada manusia untuk  mempertimbangkannya. Manusia bebas memilih landasan dan sistem apapun sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakatnya masing-masing.

Akibatnya, pemikiran ini memicu kontroversi yang bahkan berakibat buruk ke ulama masa-masa berikut bahkan sampai sekarang. Antara pro dan kontra sepertinya belum selesai.

Pemikiran Ali Abdul Raziq ini, bila ditelusuri,  pada awalnya berasal dari sistem pemikiran Romawi yang tidak senang dengan intervensi gereja terhadap urusan negara dan pemerintahannya. Maka lahirlah slogan urusan negara dan pemerintahan berikan kepada kaisar atau raja dan urusan agama serahkan kepada gereja atau pastor dan pendeta.

Belakangan, pemikiran dan praktek inilah yang disebut konsepsi negara sekuler. Segala hal normatif, filsafat, konstitusi, pemerintahan, hukum, peraturan dan undang-undang, semuanya mesti merupakan produk dan otoritas pemikiran manusia semata-mata. Intervensi wahyu ditolak. Agama bebas dari urusan publik, negara, bangsa dan pemerintahan.

Ketiga, rangkuman dari dua pemikiran yang bertolak belakang tadi. Yang  terbaik dari agama (Islam), wahyu, sumber normatif dan praktek-faktual dirajut secara seksama dengan nilai-nilai politik  demokrasi dan praktik pemerintahan produk pemikiran manusia.

Dari mana pun datangnya yang tidak bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah shahihah, semua dapat dirakit dan disinkronisasikan untuk menjalankan urusan kenegaraan, kebangsaan dan pemerintahan.

Pemikiran yang  ke-3 inilah, pada dasarnya yang mengilhami lahirnya negara-bangsa di dunia Islam abad modern. Setelah Perang Dunia I (1914-1918) , akibat Turki Usmani berpihak dengan Jerman yang kalah, maka bekas dinasti yg juga memang sudah tak terkontrol itu menjadi protektorat Inggris.  Yang lain berdiri sebagai kesultanan dengan Amir-Amir dalam sistem kerajaan sendiri sendiri.
Baru setelah Perang Dunia II (1942-1945), maka konkrititasi dunia Islam menjadi negara merdeka satu persatu terwujud. Sejak itu terjadi perdebatan panjang soal keberadaan negara-negara mayoritas berpenduduk muslim. Mereka merumuskan konstitusi, bentuk negara dan pemerintahan yang mereka merdekakan, mereka proklamirkan, direbut dengan peperangan fisik dan ada pula yang diberi tanpa keringat, darah dan nyawa.

Sejarah panjang 100 tahun terakhir ini telah mempertontonkan pasang naik dan surutnya dunia Islam. Satu hal yang tak dapat ditolak adalah  pengaruh pemikiran Barat dalam praktik kenegaraan, kebangsaan dan pemerintahan.

Demokratisasi, hak asasi manusia, liberalisasi ekonomi dalam kehidupan negara, bangsa dan pemerintahan yang disemaikan Barat ke seluruh dunia, ibarat pisau bermata dua.

Di satu sisi, semaian-bibit Barat tadi mengangkat harkat dan derajat sehingga negara-negara muslim berhak duduk sejajar di Perserikatan Bangsa Bangsa dengan semua negara berdaulat lainnya di dunia. Di sisi lain mereka menjadi korban demokratisasi, HAM dan liberalisasi ekonomi itu.

Terutama di dunia Islam Timur Tengah dan Afrika. Di satu pihak dengan alasan membangun negara kesejahteraan memerlukan stabilitas, maka dipertahankan kekuasaan yang panjang.

Di pihak lain, kekuasaan tanpa kontrol, korup, tiranik dan diktator telah memicu pergolakan, reformasi dan bahkan revolusi.

Itulah yang pernah  terjadi pada protes massal bahkan perang saudara yang sering disebut sebagai Arab Spring Jilid I (2010-2011) dan Jildi II (2018-2022) di Tunisia, Mesir, Aljazair, Libiya, Syiria, Bahrain, dan yang masih berlangsung seperti Yaman. Paling aktual dan  versi lain tetapi sama tercabik-cabiknya adalah Sudan. Setelah pergolakan dan konflik berkepanjangan maka Sudan Selatan telah memisahkan diri dengan Sudan dan menyatakan sebagai negara merdeka sendiri.

Sementara konflik internal dalam variasi yang sedikit berbeda, umat Islam di Thailand Selatan, di Moro Filipina Selatan serta satu dua provinsi di China, sedang memeras nasib mereka. Jangan lupa pula keadaan yang masih traumatis pada  beberapa bekas Sovyet dan sisa-sisa negara Balkan lainnya.

Akan halnya Malaysia dan Indonesia rasanya sudah melewati krisis dunia Islam di atas tadi. Telah melewati revolusi dan reformasi. Meskipun dalam dinamikanya sendiri, kedua negara bertetangga terakhir ini sedang bergulat sesama elitnya sendiri.

(Shofwan Karim; Dosen-Lektor Kepala Pascasrjana UM Sumbar)

Tayang ulang sumber:

Islam Berkemajuan: Menyegar-Ulang Poros Minang dan Jawa

Islam Berkemajuan: Menyegar-Ulang Poros Minang dan Jawa

Novitri Selvia13 April 2023 10:28 am

Shofwan Karim Dosen-Lektor Kepala Pascasarjana UM Sumbar

PERTANYAAN yang sering muncul di kalangan public umum adalah, apakah dengan diksi Islam berkemajuan ada pula Islam berkemunduran? Pemikiran ini bagai teas dan antitesa serta bagaimana sintesanya.

Muhammad Darwis atau lebih dikenal KH Ahmad Dahlan (1888-1923) pada awal mendirikan Muhammadiyah (1912) sudah memulai diksi pendek, Islam berkemajuan. Sebenarnya, di Minangkabau wacana Islam berkemajuan secara intrinsik (makna hakiki dari dalam) sudah mendahuluinya.

Istilah kaum muda yang ada di Minangkabau kala itu menjadi mantra bagi kaum paham “modern” kala itu merespons perkembangan masyarakat. Oleh kaum tua kurang diperhatikan di awal abad lalu tersebut. Kira-kira kaum muda ini pemikiran mereka mirip dengan apa yang menjadi wacana dan ikhtiar Dahlan yang dimaksudnya berkemajuan.

Tokoh kaum muda merupakan hulu dinamika berkemajuan di Minang. Promotornya empat serangkai ulama. Mereka adalah Abdul Karim Amrullah (1879-1945) atau Inyiak Rasul-Inyiak DeEr. Abdullah Ahmad (1878-1933) keduanya tahun 1925 beroleh Doktor Kehormatan (Dr.HC) dari Universitas Al-Azhar, Mesir (bukankah ini berkemajuan?).

Syekh Djamil Jambek (1860-1947). Serta Ibrahim Musa Inyiak Parabek (1884-1963). Dengan begitu agaknya bisa disebut bahwa diksi Islam berkemajuan itu bagai air hujan yang datang dari langit nusantara menggenang di dua danau. Danau itu mengalirkan dua poros sungai kemajuan: Minang dan Jawa.

Bila ditilik dari pemahaman pemikiran dan logika masa awal tadi maka perdefinisi Islam berkemajuan lebih kepada makna memahami dan mengamalkan akidah tauhid murni. Ibadah yang murni tak bercampur dengan khurafat, takhayul dan bid’ah, bersih dari budaya nenek moyang serta kultur lokal.

Mereka agaknya derkelindan dengan kaum apa yang dinamakan di Arabia sebagai kaum al-muwahidun. Penganut tauhid mutlak. Secara teoritis, inilah yang sering disebut sebagai purifikasi atau pemurnian agama.

Sejalan dengan itu, tidak cukup dengan permurnian, Islam harus membumi untuk ikhtiar kehidupan yang baik di dunia. Doa “sapu jagat” memohon kebaikan di dunia dan akhirat harus diiringi dengan paralelisme kedua konten pokok tadi.

Maka untuk tujuan dunia, itulah makna kemajuan dan pembaruan atau modernisme. Bersamaan dengan itu untuk kebaikan akhirat inilah pada masa itu yang disebut pemurnian tadi.

Yang pertama dipahami sebagai tajdid dan yang kedua dipahami sebagai tashlih. Agaknya perdefinisi itulah yang dikonstruk ulang atau redefinisi oleh Dahlan, ketika kata berkemajuan menjadi membumi ketika Dahlan selama 8 bulan mengajarkan kepada santrinya mempraktekkan isi surat surat al-Ma’un.

Ikhtiar menyantuni anak yatim dan orang miskin berarti sekaligus memberdayakan mereka. Untuk maksud itu harus dinisbahkan ke banyak ayat dalam Al Quran dan Hadist serta sirah nabawiyah. Lalu disinkronkan aplikasinya dalam kenyataan hidup sehari-hari.

Di Minangkabau definisi itu mendahului Jawa. Gerakan Paderi (1803-1821) dan Perang Paderi (1821-1837) bersumbu kepada hal di atas. Sementara Perang Paderi sudah berkemajuan plus. Plus di sini dimaknai sebagai nilai perjuangan dari dalam (kebebasan) dan ekstrinksik (mengejar kebaikan). Kedua faksi kaum agam dan adat menyatu melawan Belanda.

Baca Juga:  Sekali Lagi, Selamatkan Kelok 9

Bukankah itu inspirasi pencuatan energi dari dalam. Dan boleh jadi KH Dahlan terinspirasi dari gurunya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkawi secara simultan juga dengan gerakan Paderi tadi. Diskursus dan aplikasi Islam berkemajuan mengalami pasang naik dan turun.

Naik ketika munculnya semangat baru ber-Islam. Mereka dulu dianggap ketinggalan dalam merespons kemajuan dunia, lalu meningkatkan sumber daya manusia umat dengan pendidikan ketaqwaan (iman dan ibadah), kognitif (ilmu), afektif (moral-akhlak) dan psikomorotik (skil-vokasional).

Pada awal dan sepanjang abad lalu, Muhammadiyah mendirikan dan menggebiarkan dunia pendidikan, kesehatan dan santunan sosial serta kemanusiaan. Kini terus melakukannya dan jamaah, jam’iyah serta kelompok lain pun sudah melakukan pula hal yang sama meski terasa getaran, aura dan capaian mereka berbeda-beda.

Di Minangkabau Inyiak DeEr bersama tokoh sezaman membangun Thawalib. Abdullah Ahmad mendirikan Sekolah Adabiyah. Inyiak Syekh Djambek berbasis surau Tangah Sawah dan Surau Kamang dengan mensyiarkan taklim Islam moda tabligh.

Sejalan dengan melek baca dan tulis percetakan buku, belakangan mengispirasi Tsamaratul Ikhwan dan Pustaka Sa’diyah, Bukittingi dan Padangpaanjang. Ibrahim Musa berbasis Surau Parabek mendirikan Madrasah Thawalib Parabek. Semuanya masih bekembang oleh pelanjutnya sampai sekarang.

Sejalan dengan itu dalam redefinisi Islam berkemajuan, dalam bidang pendidikan mesti dimasukkan Inyiak Canduang. Adalah Syekh Sulaiman ar-Rasuli (1871 19970). Ulama yang sedang diperjuangkan menjadi Pahlawan Nasional ini, mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Canduang.

Ia dianggap sebagai tokoh yang menyebarluaskan gagasan keterpaduan adat Minangkabau dan syariat lewat kredo Adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (ABS-SBK). Pada beberapa kajian, inyiak Candung dianggap merevitalisasi serta mereaktualisasi Sumpah Sati Bukik Marapalam satu abad sebelumnya yang dianggap proklamasi awal SBS-SBK tadi.

Dan sekarang bukan hanya Inyiak Canduang dan pengikutnya mengubah definisi lama. Sekarang semua sudah berorientasi kemajuan. Dan sebaliknya para penganut purifikasi ajaran dan peraktik ibadah mahdhah masih tetap sama. Namun mereka melakukan reorientasi (pendekatan ulang). Mereka lebih akomodatif di tingkat public dan konsisten dalam sikap dan amaliah perorangan.

Maka terjadilah reaktualisasi dalam aplikasi berkemajuan. Purifikasi mereka tetap dilakukan namun menghindari ketidaknyamanan pihak lain. Inilah titik awal dan ujung, QS, al-Anbiya’ 107: “Kami tidak mengutus engkau wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.”

Maka tesa dan anti tesa pada awal tulisan ini, seolah sudah menemukan sintesanya, Islam berkemajuan menjadi paradigma dan praktek kaum muda, kaum tua, tradisional, modern, pasca-modernisme, bahkan di kalangan milineal. Alla a’lam bi al-shawab. (Shofwan Karim
Dosen-Lektor Kepala, Pascasarjana UM Sumbar)

Tayang ulang dari sumber:

Islam Berkemajuan: Menyegar-Ulang Poros Minang dan Jawa | Padek.co (jawapos.com)

Islam dan Negara Sekuler

Shofwan Karim pada talks shows pengkajian Ramadhan sebagai Mom entun Peningkatan Kualitas diri.
Shofwan Karim (tengah pegang mik) pada talks shows pengkajian Ramadhan sebagai Momentun Peningkatan Kualitas diri. bersama Rektor UM Sumbar Dr. Riki Saputra, M.A. dan Dr. Firdaus AN, M.HI Wk Ketua PWM Sum bar (kiri) dan Kanan Prof. Dr. H. Rusydi AM, Lc., M.Ag. Ketua BPH UM Sumbar. (Ftoo Dok)

Islam dan Negara Sekuler

Oleh Shofwan Karim

Sudah tayang di Harian Singgalang Cetak dan PDF

Islam dan Negara Sekuler

Oleh Shofwan Karim

Wacana Islam dan negara telah berlangsung berabad-abad. Dengan berbagai argumentasinya, maka secara kategoristik, paling tidak terdapat tiga pendapat dan praktek tentang bagaimana konsep umum yang berhubungan dengan eksistensi keberadaan sebuah negara.

Pertama, Islam dan negara merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Negara Madinah, merupakan city-state (negara-kota) ideal. Nabi Muhammad adalah Rasulullah pembawa wahyu sekaligus pemimpin negara.

Rasulullah, di samping tugas pokok misi kerasulannya yang sakral, juga kepalanegara dan  pemerintahan sekaligus panglima militer . Lebih dari itu bahkan Rasulullah juga menjadi pengatur kehidupan sehari hari, politik, eknomi, inspirator, mediator dan katalisator penyatu antar golongan, suku, dan pemeluk agama yang berbeda.

Semua pedoman normatif, strategi, konstitusi, dasar hukum, manajemen negara-bangsa dapat digali dari al Quran. Bila isyarat Al Quran belum dapat dipahami lebih jelas maka tilik dalam sunnah shahihah atau sirah nabawiyah.

Begitu pula  dapat dirujuk, praktik sejarah zaman sahabat al Rasyidun dan bahkan juga khalifah yg lebih berorientasi duniawi (sekuler) sesudahnya. Baik pemerintahan Umaiyah, Abbasiyah, sampai ke Daulat Bani Usmani sampai pertengahan dekade ke 3 abad lalu.

Kedua, adalah pemisahan yang bertolak belakang antara agama (Islam) dan negara.
Agama hanya urusan keimanan individual, gambaran syurga dan neraka yang berhubungan dengan kehidupan setelah kiamat. Dan negara adalah urusan publik dan bersifat duniawi semata-mata. Inilah yang disebut teori pemikiran sekularisme yang memisahkan urusan negara dan agama.

Merespon terhadap dihapuskannya sistem kekhalifahan Turki Usmani oleh Mustafa Kemal At Taturk 1924 maka sebagian besar para ulama menolaknya. Sebaliknya, salah seorang ulama bukan hanya menerima bahkan memberikan pembenaran.

Pembenaran itu datang dari Ali Abd al-Raziq (1887-1966). Belakangan  ada yang membela. Oleh Ali Abdul Raziq, dibuat kerangka teori bahwa Nabi Muhammad tidak mempunyai misi kenegaraan, politik, pemerintahan dan militer. Nabi Muhammad diutus  hanyalah pembawa misi kerasulannya. Kalaupun Nabi dianggap sebagai pemimpin, itu hanyalah tugas dan misi kemanusiaannya sebagai manusia umumnya.

Kerangka teori itu dipublikasikan dalam kitab al-Islam wa Ushul al-Hukmi (1925). Ia mengemukakan ide-ide dan alasan persetujuannya terhadap pemisahan urusan negara dengan agama.

Menurut al-Raziq,  Al-Quran  dan Hadist tidak mengatur sistem kenegaraan. Lalu,  agama Islam tidak mengenal lembaga semacam itu (khilafah), atau – paling minimal – tidak melarang dan tidak memerintahkannya. Semua itu diserahkan kepada manusia untuk
 mempertimbangkannya. Manusia bebas memilih landasan dan sistem
apapun sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakatnya masing-masing.

Akibatnya pemikiran ini memicu kontroversi yang bahkan berakibat buruk ke ulama masa-masa berikut bahkan sampai sekarang. Antara po dan konta sepertinya belum selesai.

Pemikiran Ali Abdul Raziq ini, bila ditelusuri,  pada awalnya berasal dari sistem pemikiran Romawi yang tidak senang dengan intervensi gereja terhadap urusan negara dan pemerintahannya. Maka lahirlah slogan urusan negara dan pemerintahan berikan kepada kaisar atau raja dan urusan agama serahkan kepada gereja atau pastor dan pendeta.

Belakangan, pemikiran dan praktek inilah yang disebut konsepsi negara sekuler.  Segala hal normatif, filsafat, konstitusi, pemerintahan, hukum, peraturan dan undang-undang, semuanya mesti merupakan produk dan otoritas pemikiran manusia semata-mata. Intervensi wahyu ditolak. Agama bebas dari urusan publik, negara, bangsa dan pemerintahan.

Ketiga, rangkuman dari dua pemikiran yang bertolak belakang tadi. Yang  terbaik dari agama (Islam), wahyu, sumber normatif dan praktek-faktual dirajut secara seksama dengan nilai-nilai politik  demokrasi dan praktek pemerintahan produk pemikiran manusia.

Dari mana pun datangnya yang tidak bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah shahihah, semua dapat dirakit dan disinkronisasikan untuk menjalankan urusan kenegaraan, kebangsaan dan pemerintahan.

Pemikiran yang  ke-3 inilah, pada dasarnya yang mengilhami lahirnya negara-bangsa di dunia Islam abad modern. Setelah Perang Dunia I (1914-1918) , akibat Turki Usmani berpihak dengan Jerman yang kalah, maka bekas dinasti yg juga memang sudah tak terkontrol itu menjadi protektorat Inggris .  Yang lain berdiri sebagai kesultanan dengan Amir-Amir dalam sistem kerajaan sendiri sendiri.

Baru setelah Perang Dunia II (1942-1945), maka konkrititasi dunia Islam menjadi negara merdeka satu persatu terwujud. Sejak itu terjadi perdebatan panjang soal keberadaan negara-negara mayoritas berpenduduk muslim. Mereka merumuskan konstitusi, bentuk negara dan pemerintahan yang mereka merdekakan, mereka proklamirkan, direbut dengan peperangan fisik dan ada pula yang diberi tanpa keringat, darah dan nyawa.

Sejarah panjang 100 tahun terakhir ini telah mempertontonkan pasang naik dan surutnya dunia Islam. Satu hal yang tak dapat ditolak adalah  pengaruh pemikiran Barat dalam praktek kenegaraan, kebangsaan dan pemerintahan.

Demokratisasi, hak asasi manusia, liberalisasi ekonomi dalam kehidupan negara, bangsa dan pemerintahan yang disemaikan Barat ke seluruh dunia, ibarat pisau bermata dua.

Di satu sisi semaian-bibit Barat tadi mengangkat harkat dan derajat sehingga negara-negara muslim berhak duduk sejajar di Perserikatan Bangsa Bangsa dengan semua negara berdaulat lainnya di dunia. Di sisi lain mereka menjadi korban demokratisasi, HAM dan liberalisasi ekonomi itu.

Terutama di dunia Islam Timur Tengah dan Afrika. Di satu pihak dengan alasan membangun negara kesejahteraan memerlukan stabilitas, maka dipertahankan kekuasaan yang panjang.

Di pihak lain, kekuasaan tanpa kontrol, korup, tiranik dan diktator telah memicu pergolakan, reformasi dan bahkan revolusi.

Itulah yg pernah  terjadi pada protes massal bahkan perang saudara yang sering disebut sebagai Arab Spring Jilid I (2010-2011) dan Jildi II (2018-2022) di Tunisia, Mesir, Aljazair, Libiya, Syiria, Bahrain, dan yang masih berlangsung seperti Yaman. Paling aktual dan  versi lain tetapi sama tercabik cabiknya adalah Sudan. Setelah pergolakan dan konflik berkepanjangan maka Sudan Selatan telah memisahkan diri dengan Sudan dan menyatakan sebagai negara merdeka sendiri. 

Sementara konflik internal dalam variasi yg sedikit berbeda, umat Islam di Thailand Selatan, di Moro Filipina Selatan serta satu dua provinsi di China, sedang memeras nasib mereka. Jangan lupa pula keadaan yang masih traumatis pada  beberapa bekas Sovyet dan sisa-sisa negara Balkan lainnya.

Akan halnya Malaysia dan Indonesia rasanya sudah melewati krisis dunia Islam di atas tadi. Telah melewati revolusi dan reformasi. Meskipun dalam dinamikanya sendiri, kedua negara bertetangga terakhir ini sedang bergulat sesama elitnya sendiri. ***



Shofwan Karim, Dosen-Lektor Kepala Pascasrjana UM Sumbar

%d blogger menyukai ini: