Lantik Dirjen hingga Staf Ahli Baru Kemendag, Zulhas: Jangan Lengah!

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan atau biasa disapa Zulhas resmi melantik sejumlah Pejabat Tinggi Madya dan Pratama di lingkungan Kementerian Perdagangan.
— Read on finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-6459147/lantik-dirjen-hingga-staf-ahli-baru-kemendag-zulhas-jangan-lengah/amp

Momen Mendag Lantik Pejabat Tinggi Madya dan Pratama – Foto 1

Mendag Zulhas resmi melantik sejumlah Pejabat Tinggi Madya dan Pratama di lingkungan Kementerian Perdagangan pada hari ini, Selasa (13/12). – Foto 2
— Read on news.detik.com/foto-news/d-6459725/momen-mendag-lantik-pejabat-tinggi-madya-dan-pratama/1

Wacana Politik Mulai Mengemuka dalam Khittah Ponorogo

SERIAL ESAI MUHAMMADIYAH MENGHADAPI 2024 (BAGIAN 3)

Oleh Shofwan Karim

Wacana Politik Mulai Mengemuka dalam Khittah Ponorogo

SERIAL ESAI MUHAMMADIYAH MENGHADAPI 2024 (BAGIAN 3)

Oleh Shofwan Karim

(Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumbar)

BERSAMA KETUM PP MUHAMMADIYAH DI CONVENTION HALL PROF DR HA SYAFII MAARIF 2022 DI KAMPUS I UM SUMBAR (dok SK)

ESSAY, POTRETKITA.net – Bila ditilik kepada lima khittah yang lain, baru pada  khittah ketiga Ponorogo agak semakin jelas dalam kaitan hak warga persyarikan dengan politik kebangsaan. Pada khittah kedua masih belum.  

Khittah kedua, Palembang 1956. Berisikan 7 hal. (1) Menjiwai pribadi para anggota, utamanya para pimpinan Muhammadiyah; (2) Menjalankan uswatun hasanah; (3) Mengutuhkan organisasi dan merapikan administrasi; (4) Memperbanyak dan mempertinggi mutu amal; (5) Mempertinggi mutu anggota serta membentuk kader; (6) Mempererat ukhuwah; (7) Menuntun penghidupan anggota.

Pada khittah lain, netralitas persyarikatan semakin mengemuka tanpa menahan warga yang terjun ke politik praktis dan pesan tidak bertentangan dengan dasar dan tujuan Muhammadiyah. 

Mari lihat Khittah ketiga, Ponorogo 1969. Tanwir Muhammadiyah tahun 1969 di Ponorogo memproduk Khittah Perjuangan Muhammadiyah. Singkatnya disebut “Khittah Ponorogo”. Khittah ini lahir sebagai amanah dari Muktamar Muhammadiyah ke-37 tahun 1968 di Yogyakarta. Khittah ini kelihatannya agak lebih “jantan-politik”, meski agak samar-samar

Matan (teks) Khittah Ponorogo dibagi menjadi dua bagian: pola dasar perjuangan dan program dasar perjuangan.

BACA JUGA : 

Pola Dasar Perjuangan : (1) Muhammadiyah berjuang untuk mencapai atau mewujudkan suatu cita-cita dan keyakinan hidup yang bersumber dari ajaran Islam; (2) Dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya sebagaimana yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW adalah satu-satunya jalan untuk mencapai cita-cita dan keyakinan hidup;

(3) Dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar seperti yang dimaksud harus dilakukan melalui dua saluran/bidang secara simultan yaitu : (a) Saluran politik kenegaraan (politik praktis); (b) Saluran Masyarakat; 

(4) Untuk melakukan perjuangan dakwah Islam dan amar ma’ruf nahi mungkar seperti yang dimaksud di atas dibuat alatnya masing-masing yang berupa organisasi; (a) Untuk saluran/bidang politik kenegaraan (politik praktis) dengan organisasi politik (partai); (b) Untuk saluran/bidang masyarakat dengan organisasi non partai, Muhammadiyah sebagai  organisasi memilih dan menempatkan diri sebagai gerakan Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dalam bidang masyarakat.

Sedang untuk alat perjuangan dalam bidang politik kenegaraan (politik praktis), Muhammadiyah membentuk satu partai politik diluar organisasi Muhammadiyah. (1) Muhammadiyah harus menyadari bahwa partai tersebut adalah merupakan obyek dan wajib membinanya; (2) Antara Muhammadiyah dan partai tidak ada hubungan organisatoris, tetapi tetap mempunyai hubungan ideologis;

(3) Masing-masing berdiri dan berjalan sendiri-sendiri menurut caranya sendiri-sendiri, tetapi dengan saling pengertian dan menuju tujuan yang satu. (4) Pada prinsipnya tidak dibenarkan adanya perangkapan jabatan, terutama jabatan pimpinan antara keduanya demi tertibnya pembagian pekerjaan (spesialisasi).

PROGRAM DASAR PERJUANGAN

Dengan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dengan arti dan proporsi yang sebenarnya, Muhammadiyah harus dapat membuktikan secara teoritis konsepsional, secara operasional dan secara kongkrit tentang Islam. 

Bahwa Islam mampu mengatur masyarakat dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 menjadi masyarakat yang adil, makmur, sejahtera bahagia materiil dan spirituil yang diridhoi Alloh SWT.

Khittah Keempat, Ujung Pandang 1971. Muhammadiyah memang pernah terlibat poltik praktis melalui Masyumi. Namun, sejak khittah Ujung Pandang tahun 1971, Muhammadiyah tak pernah lagi terlibat dalam politik praktis hingga saat ini. 

Pada khittah berikut, netralitas persyarikatan semakin mengemuka tanpa menahan warga yang terjun ke politik praktis dan pesan tidak bertentangan dengan dasar dan tujuan Muhammadiyah.

Berikut isi khittah Ujung Pandang (1971): (a) Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam yang beramal dalam bidang kehidupan masyarakat dan tidak mempunyai afiliasi dengan partai politik manapun; (b) Setiap warga Muhammadiyah, sesuai dengan asasinya dapat / tidak memasuki organisasi lain sepanjang tidak menyimpang dari AD/ART:

(c) Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah islam setelah pemilu 1971, Muhammadiyah melakukan gerakan amar ma’ruf nahi munkar secara konstruktif dan positif terhadap Partai Muslimin Indonesia (Parmusi); (d) Mengamanatkan PP Muhammadiyah untuk menggariskan dan mengambil langkah-langkah dalam pembangunan ekonomi, sosial, dan mental spiritual.

Mari lihat berikutnya. Khittah kelima, Surabaya 1978. (a) Muhammadiyah adalah Gerakan Da’wah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari sesuatu partai politik atau organisasi apapun.

(b). Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muham­madiyah. 

Khittah keenam, Denpasar 2002. Khittah ini menyatakan bahwa Muhammadiyah akan  tetap berada dalam kerangka gerakan dakwah dan tajdid yang menjadi fokus dan orientasi utama gerakannya, dapat mengembangkan fungsi kelompok kepentingan atau sebagai gerakan social civil-society dalam memainkan peran berbangsa dan bernegara.

Sampai sekarang, sejak 2002 pedoman sebagai gerakan sosial civil-society belum pernah ditinjau apalagi diubah. Artinya, tetap saja secara arif dipahami bahwa persyarikan sebagai jamaah dan jam’iah bebas dan aktif menjaga hubungan kedekatan dengan berbagai politik tanpa terkontaminasi secara structural.

Tentu saja secara kultural dan fungsional sebagai gerakan masyarakat madani, Muhammadiyah bukan membelakang kepada Partai Politik. Akan tetapi tetap menjaga kedekatan dan dapat saja secara arif mencari dan mendorong keunggulan warga Muhammadiyah yang punya talenta dan DNA serta jagoan politik harus disokong dengan cara yang lebih dinamis dan kondusif. (Bersambung)

Khittah 12 Langkah Tahun 1938 Tetap Relevan

Shofwan Karim, Masjid Nurul Ihsan, 2022 (Dok)

Serial Esai  Muhammadiyah Menghadapi 2024 (2)

Khittah 12 Langkah Tahun 1938 Tetap Relevan

Oleh Shofwan Karim

Pada awalnya khittah  berarti garis atau langkah. Dalam kaitan itu esai ini  memahami khittah artinya garis besar perjuangan. Dalam khittah terkandung konsepsi  perjuangan yang merupakan tuntunan, pedoman, dan arah dari persyarikatan Muhammadiyah.

Dalam muhammadiyah khittah merupakan landasan filosofis gerakan. Khittah menjadi landasan berpikir, bertindak dan beramal bagi semua pimpinan dan anggota Muhammadiyah. Hal itu boleh disebut sebagai  garis-garis besar haluan perjuangan Muhammadiyah (GBHPM).  Selamanya tidak boleh bertentangan dengan mukaddimah anggaran dasar, asas dan tujuan Muhammadiyah.

Berbeda dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah, kedudukan khittah dalam persyarikatan memiliki posisi khusus. Jika AD/ART merupakan landasan dalam menggerakkan persyarikatan sebagai sebuah organisasi, maka khittah menjadi landasan berbuat dan berperilaku anggota Muhammadiyah, baik dalam kehidupan pribadi, kehidupan social. Termasuk   dalam hal-hal strategis di dalam pengambilan kebijakan organisasi. Dalam kaitan inilah berkelindan secara lentur dan bijak  dalalam interaksi Muhammadiyah sebagai persyarikan maupun individu warga dalam kehidupan berbangsa bernegara.

Di dalam bentangan panjang sejarah Muhammadiyah dikenal paling tidak ada 6 khittah perjuangan.  Satu di antara 6 itu adalah yang paling awal, khittah 12 Tafsir Langkah Muhammadiyah 1938.  Pada waktu itu dianggap semangat bermuhammadiyah agak melemah, maka khittah ini menjahit kembali semangat revitalisasi.

Situs UM Metro (Mukhtar Hadi, 2021) menguraikan agak rinci khitttah ini dalam diksi kata dan frasa masa itu. Langkah pertama adalah memperdalam masuknya iman, yaitu hendaklah iman itu ditablighkan ( disampaikan), disiarkan dengan selebar-lebarnya, diberi riwayatnya dan diberi dalil buktinya, dipengaruhkan dan digembirakan sampai iman itu mendarah daging, masuk di tulang sungsum dan mendalam di hati sanubari kita.

Langkah kedua adalah memperluas faham agama, yaitu hendaklah faham agama yang sesungguhnya itu dibentangkan dengan arti yang seluas-luasnya, boleh diujikan dan diperbandingkan, sehingga kita anggota Muhammadiyah memahami agama Islam secara luas, tidak memahami Islam secara sempit dan kaku.

Langkah ketiga, memperbuahkan budi pekerti, yaitu bahwa setiap anggota Muhammadiyah harus memahami dan menerangkannya pada yang lain, mana akhlak yang terpuji ( akhlaqul mahmudah) dan mana akhlak yang tercela ( akhlaqul mazmumah). Setiap anggota Muhammadiyah harus melaksanakan akhlak terpuji dan menjauhi akhlak yang tercela dalam kehidupan sehari-hari.

Langkah keempat, menuntun amalan Intiqad. Yang dimaksud amalan intiqad adalah hendaknya kita senantiasa melakukan perbaikan diri kita sendiri (self corectie) atau senantiasa melakukan evaluasi  baik untuk amalan kita sendiri maupun evaluasi terhadap pekerjaan atau tugas tanggungjawab kita di persyarikatan.

Langkah kelima, menguatkan persatuan, yaitu hendaklah senentiasa menguatkan persatuan organisasi dan mengokohkan persaudaraan (Ukhuwah), menempatkan persamaan hak dan memberikan kemerdekaan bagi pikiran-pikiran yang berkembang.

 Langkah keenam, menegakkan keadilan, yaitu hendaklah keadilan itu dijalankan dan ditegakkan dengan semestinya walaupun akan mengenai badan sendiri dan sanak famili kita sendiri. Ketetapan yang sudah diputuskan dengan seadil-adilnya hendaknya dibela dan dipertahankan dimanapun juga.

Langkah ketujuh, melakukan kebijaksanaan. Setiap anggota Muhammadiyah, dalam segala gerak dan langkahnya tidak boleh melupakan hikmah kebijaksanaan, yaitu bisa menempatkan segala sesuatu pada tempatnya (proporsinya), memutuskan dan melakukan sesuatu dengan penuh pertimbangan, tidak tergesa-gesa, disendikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.

Sedangkan langkah kedelapan sampai dengan langkah ke dua belas adalah, menguatkan majlis Tanwir, mengadakan konperensi bagian, mempermusyawaratkan putusan, mengawaskan gerakan jalan ( memperhatikan secara tajam gerakan yang sudah dilaksanakan, sedang dilaksanakan dan yang akan dihadapi kedepan), dan mempersambungkan gerakan luar (bekerjasama dengan pihak eksternal dengan dasar silaturahmi dan tolong menolong).

Ditambahkan Mukhtar Hadi mengutip penjesalan di atas. Dalam kata penutup 12 tafsir langkah Muhammadiyah dinyatakan bahwa langkah ke 1 sampai dengan 7 adalah langkah ilmu yang membutuhkan keterangan dan penjelasan. Adapun langkah ke 8 sampai dengan langkah 12 adalah langkah mati, yakni tinggal dipratekkan saja atau dilaksanakan saja, karena sudah terang dan nyata.

Meskipun khittah dua belas tafsir langkah Muhammadiyah sebagaimana di atas adalah kebijakan PP Muhammadiyah yang dijadikan garis perjuangan Muhammadiyah antara 1938 – 1940, namun khittah itu sampai sekarang masih sangat relevan bagi persyarikatan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.

Di dalam pengkaderan Pemuda Muhammadiyah, IMM dan IPM kapan saja sampai sekarang, selalu khittah 12 langkah ini menjadi materi pokok. Penulis ingat Kembali betapa Allah Yarham Ramli AD sebagai Bapak Ideologis Muhammadiyah Sumbar tahun-tahun 70-an, 80-an,  dengan sistematis dan retorika jitu meresapkannya semua butir tadi  ke dalam jiwa  dan lubuk hati AMM. (Bersambung)

%d blogger menyukai ini: