Wacana Pluralisme





Wacana Pluralisme antara
Pemahaman Publik dan Pemikiran Akademik di Indonesia 1

Oleh Shofwan Karim2

I.Pendahuluan
Wacana (diskursus) pluralisme di Indonesia cukup marak sejak beberapa dekade belakangan sampai saat ini . Beberapa kelompok dan perorangan pakar Islam tentang pemikiran moderen Islam cukup gencar membicarakannya. Wacana itu berkembang dalam karya tulis, ceramah, diskusi dan seminar baik langsung maupun melalui media massa. Para akademisi memperdebatkannya secara intensif dengan cara ilmiah dan dapat menambah wawasan ilmu dan akademik. Sejalan dengan itu, dalam sosialisasi pemikiran itu terpapar dan tertayangkan dalam media massa grafika, audio-visual dan elektronika yang diakses langsung oleh kalangan umum.
Konsekuensinya, wacana pluralisme ditanggapi dengan beragam. Respon kalangan akademik yang kontra pemikiran pluralisme dapat dimengerti karena mereka dapat memilah-milah secara rasional sesuai latar belakang akademik mereka. Akan tetapi di kalangan masyarakat umum, penolakan pemikiran telah berimplikasi disharmoni sosial yang bersifat fluktuatif. Terutama munculnya prasangka dan gunjingan tidak sehat. Pada gilirannya menbuat tuduhan merendahkan bahkan membuat stigma amat negatif terhadap lembaga dan perorangan yang dilekatkan sebagai subyek yang dianggap mengembangkan pemikiran pluralisme tadi. Beberapa lembaga dan tokoh telah dianggap terpojokkan oleh keadaan itu
Hal itu boleh jadi membawa resiko kepada perkembangan pemikiran Islam ke depan karena setiap pemikiran yang tidak sesuai dengan pemikiran yang telah mapan dianggap sesat dan menyesatkan. Dalam kerangka itulah, maka perlu dikaji secara proporsional wacana pluralisme dalam pemahaman publik dan pemikiran teoritis ilmiah tentang pluralisme secara akademik Selanjutnya, di mana letak perbedaan pemahaman dan pemikiran itu serta bagaimana cara menghampiri keduanya sehingga menjadi produktif untuk perkembangan pemikiran Islam dan publik merasa tidak terbaikan pula.
II. Wacana Publik tentang Pluralisme.

Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2005 dalam Keputusan Fatwanya No. 7/Munas VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama telah menggambarkan kegelisahan yang amat mendalam soal perkembangan pemikiran Islam kontemporer di negeri ini Di dalam konsideran menimbang fatwa itu dikatakan “ bahwa berkembangnya paham pluralisme agama, liberalisme dan sekularisme serta di kalangan masyarakat telah menimbulkan keresahan sehingga sebagian masyarakat meminta MUI untuk menetapkan fatwa tentang masalah tersebut.” (DDII, 2005:227).
Sebenarnya, fatwa MUI tentang pluralisme merupakan satu paket dalam 11 fatwa lainnya produk Munas tadi. Di antaranya yang terkait langsung dengan pluralisme ini adalah (1) do’a bersama, (2)perkawinan beda agama, (3) kewarisan beda agama, (4)pluralisme, liberalisme, dan sekluarisme agama, (5) wanita menjadi Imam Shalat (6)aliran Ahmadiyah. Sementara 5 fatwa lainnya tidak terkait langsung dengan wacana pluralisme yang dibahas tulisan ini . 3
Tabel : Fatwa MUI tentang Pluralisme

No Keputusan Isu Keputusan
1 No. 3 Do’a bersama Mengamini orang yang berdo’a, termasuk do’a; do’a bersama antara Muslim dan Muslim adalah bid’ah; orang Islam haram mengikuti dan mengamini do’a yang dipimpin non-muslim; do’a bersama dengan non muslim yang dipimpin tokoh Islam adalah mubah .
2 No. 4 Perkawinan beda agama Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah; perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlu kitab menurut qaulul mu’tamad adalah haram dan tidak sah.
3 No. 5 Kewarisan beda agama Islam tidak memberikan hak mewarisi antara orang-orang yang berbeda agama; pemberian harta antar orang yang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalm bentuk hibah, wasita dan hadiah.
4 No. 7 Pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama Pertama: ketentuan umum. Yang dimaksud pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain adalah salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemulk agama akan masuk dan hidup berdampingan di syurga.

Pluralitas agama adalah sebua kenyataan bahwa di negaa atau daerah tertnetu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup berdampingan.

Liberalisme adalah memahami nash-nash agama (al-Qur’an dan sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikian semata.

Sekularisme adalah memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.

Kedua, ketentuan umum. Pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran Islam .

Umat Islam haram mengikuti paham pluralisme, lierbalisme dan sekularisme agama.

Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap ekslusif, dalam arti haram mencampurkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.

Bagi masyakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.
5 No. 9 Wanita menjadi imam shalat Wanita menjadi imam shalat berjama’ah yang di antara makmumnya terdapat laki-laki hukumnya haram dan tidak sah

Wanita menjadi imam shalat berjama’ah yang makmumnya wanita, hukumnya mubah.
6 No. 11 Aliran Ahmadiyah Menegaskan kembali keputusan fatwa MUI dalam Munas II tahun 1980 yang menetapkan bahwa aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam)

Bagi mereka yang terlanjur mengikuti aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islanyan haq (al-ruju’ ilal haq), yang sejalan dengan al-Qur’an dan al-Hdis.

Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.

III. Tinjauan akademik.
Masyarakat majemuk atau masyarakat plural dapat dipahami sebagai masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok dan strata sosial, ekonomi, suku, bahasa, budaya dan agama. Di dalam masyarakat plural, setiap orang dapat bergabung dengan kelompok yang ada, tanpa adanya rintangan-rintangan yang sistemik yang mengakibatkan terhalangnya hak untuk berkelompok atau bergabung dengan kelompok tertentu (Asykuri, dkk., 2002:107)
Pluralitas baru bermakna positif bila ada interaksi dan relasi saling percaya antara sesama (social-trust) . Hal itu merupakan prasyarat untuk terciptanya masyarakat yang beradab dan bermartabat . Yaitu masyarakat yang memiliki moral, akhlak, etika, budi luhur, santun, sabar dan arif, menghormati hak asasi, menghormati diri sendiri dan orang lain, bangsa sendiri dan bangsa lain, suku dan kelompok sendiri dan suku serta kelompok lain. Dengan begitu upaya untuk mencapai kualitas hidup yang optimal untuk menjadi lebih sejahtera, berkeadilan dan berkemakmuran, niscaya akan membawa masyarakat itu dapat duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Untuk maksud tersebut diperlukan infra struktur harmonisasi sosial dalam kehidupan bersama. Menghormati pluralitas harus sejalan dengan menghormati peradaban dan martabat. Tidak ada artinya pluralitas kalau yang dipertahankan adalah budaya primitif, keterbelakangan dan hanya asal berbeda dengan alasan kemurnian penghormatan budaya lokal atau hak asasi manusia tanpa mempertimbangkan hak manusia lainnya dalam sistem kehidupan bersama.

IV. Analisis Rekonstruktif Karakter Pluralitas:
Pengalaman Indonesia

Secara umum pandangan dunia atau world-view bangsa ini terhadap dirinya tentang kemajemukan (pluralitas) dapat didiskripsikan dalam stream-line (arus utama) menurut awal kelahiran bangsa, masa pertumbuhan dan masa perkembangan ke depan . Pengalaman itu tertata secara sosio-kultural, sosio-politik dan sosio-religius. Secara ringkas, dapat ditelusuri menurut periodikal sejarah yang dikategorikan sebabagai watak kultural, aslinya pada masa awal kelahiran bangsa, zaman revolusi dan awal kemerdekaan (1928-1959); watak politik dan kekuasaan (1959-1990); serta watak reformasi, priode sekarang dan ke depan .

Karakter Pertama, watak majemuk secara sosio-kultural aslinya. Masyarakat Indonesia adalah terdiri atas bangsa yang bersuku-suku dengan cara hidup bermasyarakat dan berbudaya, adat istiadat serta 300 lebih dialek lokal, hidup di atas lebih kurang 17 ribu pulau-pulau yang membentang dari Sabang ke Merauke, dari Zulu ke Pulau Rote yang pernah dijarah Portugis, Spanyol, Inggris dan dijajah Belanda, dan terakhir Jepang sejak abad ke 16 sampai pertengahan abad ke-20. Jauh sebelumnya telah berdiri kerajaan Sriwijaya, Mojopahit dan kerajaan Mataram serta kesultanan-kesultanan di berbagai wilayah nusantara. Secara historikal oleh Koentjaraningrat (1979 : 21-34) kemajemukan Indonesia menerima pengaruh dari kebudayaan Hindu, Islam dan Eropa di masa lalu. Akan tetapi di abad ke-20, dalam kemajemukan dan perbedaan-perbedaan itu masyarakat yang belum menjadi satu bangsa itu mempunyai tekad untuk bersatu dengan dikumandangkannya tekad Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Tekad itu pula yang mengantarkan bangsa ini menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Pada masa awal, istilah kemajemukan merupakan kosa kata murni dalam mengatakan kebermacaman atau keberagaman bangsa Indonesia. Lalu dicanangkan motto bhinneka tungal ika: masyarakat majemuk tetapi tetap bersatu atau unity in diversity. Motivasi aplikasi kosa kata itu datang dari dalam diri masyarakat dan bangsa Indonesia sendiri. Katakanlah, bahwa pluralisme berakar dari ideologi dan sosio-kulturalnya sendiri.
Karakter kedua, watak sosio-politik dan kekuasaan. Setelah era proklamasi bangsa ini mencitrakan diri sebagai bangsa majemuk untuk mengisi kemerdekaan dengan mengikuti cara-cara demokrasi politik liberalisme Barat. Di sini dimulai pengaruh kultur politik kosmo-globalisme. Dengan dikeluarkannya Maklumat Presiden No X, 16 Oktober 1945 yang intinya mengubah sistem pemerintahan Presidentil ke Parlementer dan Maklumat Presiden 3 November 1945 tentang kesempatan rakyat mendirikan partai-partai, merupakan awal pluralitas-politik yang syah. Dengan begitu maka niat monolitik Soekarno yang hanya akan menggiring PNI sebagai satu-satunya partai politik, berubah kepada dibolehkannya hidup banyak partai. Kehidupan multi partaipun dimulai. Dengan demikian pluralitas politik dihalalkan, hanya dengan satu restriksi, bahwa partai jangan hanya asal berdiri saja melainkan turut memperjuangkan kepentingan rakyat banyak: “mempertahankan kemerdekaan “ dan “memperjuangkan keamanan rakyat” (Deliar Noer, 1990 : 284-289). Mungkin kebebasan itu secara teoritikal adalah baik. Akan tetapi karena para pemimpin dan masyarakat politik pada masa itu ditambah rakyat yang belum terdidik secara memadai maka kebebasan multi partai itu tidak membawa keuntungan amat berarti dalam perkembangan bangsa. Keadaan itu telah membawa ketidak stabilan pemerintah dengan berganti-gantinya kabinet. Lebih dari itu Soekarno yang merasa jabatan Presiden hanya sebagai simbol negara, ingin mendominasi kekuasaan. Puncaknya adalah mundurnya Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden th 1956 (Ibid, 482). Kemudian berturut-turut dibubarkannya Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan membubarkan dirinya Partai Masyumi pada 1959 dan pembubaran resminya oleh Presiden th. 1960. Selanjutnya kehidupan nasional didominasi oleh jargon Nasakom (Nasional, Agama dan Komunis). Nasakom waktu itu merupakan soko guru Soekarno sebagai tri-tunggal politik nasionalis yang citrakan sebagai PNI, Islamis yang dicitrakan NU dan Komunis dan sosialis yang dicitrakan sebagai PKI . Dengan segala resikonya, moto bhinneka tunggal ika (berbeda-beda tetapi tetap satu kesatuan) sudah dikerdilkan dari plate-form politik.
Keadaan serupa dengan substansi yang berbeda terjadi pada masa Orde Baru. Ketika Masyumi ingin dihidupkan kembali oleh para pemimpinnya yang baru keluar dari penjara Orde Lama (Orla) seperti M. Natsir, M. Rum, Kasman Singodimejo dan lain-lain, partai itu tidak dibenarkan menamakan diri Masyumi dan harus yang memegang pucuk pimpinan partai yang menampung eks Masyumi itu bukan tokoh lama. Maka lahirlah Parmusi yang dipimpin Djarnawi Hadikusuma yang belakangan terlalu dekat dengan kelompok mantan tokoh masyumi lalu digantikan oleh tokoh yang dianggap lebih dekat dengan Orde Baru (Orba) seperti Mintareja dan kemudian J. Naro. Episoda berikutnya pada pentas politik nasional awal Orba itu terdapat 9 partai, termasuk Parmusi dan 1 Golkar. Belakangan kecuali Golkar, 9 partai tadi dilikwidasi (istilah waktu itu fusi) menjadi 2 Partai Politik: PPP dan PDI, pada th 1973 (Sahar L. Hasan, Ed. 1998: 15). Sejak itu di Indonesia hanya terdapat 2 Parpol dan 1 Golkar yang menjalankan fungsi kekuatan resmi sebagai infra struktur politik. Dengan 3 kekuatan politik itu, pluralitas politik pada dekade awal Orde Baru itu secara relatif masih ada termasuk masih dibolehkannya 2 parpol tadi berasaskan idelogi Islam dan Nasionalisme, sementara Golkar tetap dengan ideologi Pancasilanya. Belakangan terjadi perubahan total. Dengan alasan politik sebagai panglima dan keragaman idelogi telah merusak tatanan bangsa pada masa Orla, maka keragaman atau pluralitas ideologi harus dilenyapkan. Kemauan itu terealisasikan dengan disyahkannya UU No. 3 tentang Parpol, th 1975 dan UU No. 5 tentang Ormas th. 1985, diwajibkannya asas tunggal sebagai ideologi dasar dan asas Parpol dan Ormas. Upaya pengasastunggalkan itu juga didasari dengan alasan-alasan kepentingan integrasi nasional, perlunya cara pandang kesatuan udara, laut dan darat sebagai satu kesatuan dan perlunya cara pandang berwawasan nusantara (Sutopo Yuwono, Alfian, Ed, 1985 : 83-95). Dengan begitu maka pluralitas ideologi sudah terkubur.
Selain itu, pluralitas sosial budaya yang pada masa pra dan awal kemerdekaan hingga masa akhir masa Orla masih berkembang simultan dan agak proporsional, berubah secara signifikan. Bahasa Indonesia yang terdiri dari Bahasa Melayu ditambah bahasa daerah lainnya dan Bahasa Asing, terkooptasi dengan kosa kata dan istilah-istilah Jawa dan Sanskerta. Sekedar menyebut contoh, muncullah istilah Parasamya Purnakarya Nugraha untuk anugrah pembangunan. Bina Graha untuk kantor Presiden dan sebagainya. Watak pluralitas tidak lagi teraplikasikan dalam kehidupan bangsa secara berimbang tetapi telah terkooptasi oleh satu budaya suku bangsa mayoritas yang memegang tampuk kekuasaan.

Karakter ketiga, pluralitas agama secara sosiologis . Dalam rentangan waktu, diskursus pluralitas agama secara sosiologis, tidaklah terkait secara padu dengan kenyataan reformasi politik di Indonesia dengan jatuhnya Soeharto 21 Mei 1998. Karena, pada dasarnya diskursus pluralitas agama sudah jauh ada sejak masa awal Orde Baru terutama dalam hubungan Islam dan Kristen. Tetapi karena watak Orde Baru kala itu yang selalu merujuk kepada kestabilan pembangunan sehingga melahirkan trilogi pembangunan yang disebut: stabilitas keamanan; pertumbuhan ekonomi dan; pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, maka setiap gejala yang mengedepankan diskursus tentang pluralitas agama selalu dikaitkan dengan kewaspadaan yang akan mengganggu kepentingan nasional. Maka setiap yang berbau intrik suku, agama dan hubungan antara golongan (SARA) yang bersifat primordialistik, selalu ditekan.
Khusus hubungan antar agama , pemerintah mempunyai kredo yang disebut tri-krukunan hidup antar pemeluk agama. Ketiganya adalah kerukunan hidup internal umat beragama; kerukunan hidup antara umat berlainan (eksternal) agama; dan kerukunan hidup pemeluk dan organisasi agama dengan pemerintah. Hasilnya, pada masa itu, meskipun ada gangguan misalnya pelecehan tempat ibadah agama tertentu oleh pihak lain sehingga menimbulkan kerusuhan, tidaklah akan berlangsung lama dan traumatis. Pihak keamanan dan berwajib cepat memadamkannya.
Pada dekade akhir Orde Baru, formula dan keran kebebasan semakin terbuka. Setelah masa reformasi keran yang semakin terbuka tadi itu bahkan memberikan kebebasan yang amat sangat. Sebagian ada yang mengatakan kebebasan yang kebablasan. Maka wilayah yang selama ini amat sensitif seperti SARA di masa orde baru, sudah tidak lagi tabu untuk publikasi dan diwancanakan di mana-mana. Maka wacana hubungan antar umat beragama amat intensif dikaji dalam berbagai istilah pluralitas agama. Pada dasarnya, agama secara sosiologis dipandang sebagai sesuatu yang given dan sunnatullah memang beragam-ragam dan berbeda-beda (Tobroni-Syamsul Arifin, 1994: 33-34). Akan tetapi, sebagai mana nanti akan disinggung, pluralitas agama akan mengalami multi-tafsir dan pada gilirannya ada yang menganggap sebagai sumber gesekan dan sengketa dalam masyarakat.

Pluralitas Agama
Di Indonesia sejak awal kemerdekaan, agama yang dinyatakan resmi adalah Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha, dan sejak pemerintahan Gus Dur ditambah dengan Kong Hu Cu (Konfusionisme). Di kalangan pemeluk agama, secara umum pandangan dan pemahaman eksistensi masing-masing agama dalam kaitan kehidupan bersama dalam bermasyarakat dapat diterima. Tentu saja dengan segala resiko kepelbagaian dan keberagaman atau kemajemukan Inilah yang di dalam tulisan ini disebut sebagai pluralitas sosiolo-kultural agama. Yang dimaksud adalah perbedaan kelompok, suku, bahasa, budaya dan adat-istiadat, serta agama yang dianut.
Pengakuan formal oleh negara telah diakomodasikan di dalam struktur Departemen Agama dengan diformasikannya dalam struktur organik Direktorat Jenderal masing-masing agama tadi. Dengan demikian, baik secara formal maupun informal, kenyataan bahwa kehadiran agama-agama secara sosiologis dan supra struktur pemerintahan dapat diterima sebagai sebagai hal yang syah. Kalangan Islam merujuk pluralitas sosiologis itu dari pedoman pokoknya al-Qur’an. Oleh mayoritas kalangan Islam pluralitas sosiologi itu diterima sebagai sesuatu yang murni. Inilah yang dirujuk kepada QS.49:134. Perbedaaan antara manusia dalam bahasa dan warna kulit harus diterima sebagai kenyataan positif dan itu merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah(QS, 30:22).5 Kemajemukan dan perbedaan cara pandang di antara manusia tidak perlu menimbulkan kegusaran tetapi hendaklah dipahami sebagai pangkal tolak dorongan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan . Tuhanlah yang akan menerangkan mengapa manusia berbeda, nanti ketika kita kembali kepada-Nya (QS, 5:48). 6
Di dalam kenyataan kehidupan pluralitas sosio-kultural itu ternyata telah menimbulkan berbagai pengalaman empirik yang berbeda-beda pula pada setiap bangsa, kawasan, ethnik dan kelompok. Agama yang pada mulanya diterima dalam batas sosio-kultural tadi ternyata dalam implikasi pengalaman-pengalaman itu, kadang kala berubah menjadi faktor yang berkelindan dengan fanatisme sosio kultural lainnya seperti sosio-politik, sosio-ekonomi. Rumitnya pada waktu wilayah kepentingan pribadi dan kelompok dimasuki oleh provokator untuk kepentingan sesaat seperti politik-kekuasaan dan kemauan untuk menghegemoni kelompok lain, resiko konflik menjadi lebih besar. Maka agama menjadi rawan bukan saja menjadi potensi integrasi tetapi dapat menjadi potensi konflik terbuka. Disinilah agama sebagai unsur pluralitas masyarakat dianggap dapat menjadi faktor ancaman bagi kehidupan bermasyarakat yang beradab dan bermartabat.
Akan tetapi apakah kondisi itu murni hanya karena kecemburuan sosiologis? Pertanyaan ini hendak dijawab oleh para peneliti dengan mengkaji kemungkinan adanya pontensi konflik lain yang lebih signifikan. Misalnya adakah potensi konflik itu berdasarkan konsep teologis atau cara masyarakat beragama dalam menerapkan akidah- tauhidnya? Pertanyaan ini menjadi relevan dikaitkan dengan tiga sikap dalam teologi agama-agama sebagai watak pluralitas yang disebut dengan ekslusifisme, inklusfisme dan paralelisme (Budhy Munawar-Rachman, 2001: 44-52).
Pertama, sikap ekslusif. Sikap yang menganggap tidak ada kebenaran dan jalan keselamatan selain agamanya sendiri. Atau dengan ungkapan lain tidak ada agama yang benar selain agamanya sendiri. Sikap seperti ini ternyata ada di dalam pemeluk berbagai agama. Di kalangan penganut Nashrani, Yesus adalah satu-satunya jalan keselamatan . “ Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yohanes, 14:6). Ayat ini dalam persepktif orang yang bersikap ekslusif sering dibaca secara literal. Ungkapan lain, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain Dia”, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain. Maka terkenallah istilah No other name yang menyelamatkan manusia (Kisah Para Rasul 4, 12). Dengan istilah itu disimbolkan tidak adanya keselamtan di luar Yesus Kristus. Sejalan dengan itu ada pula pandangan ekslusif lain sejak abad pertama oleh Gereja yang dirumuskan sebagai extra ecclesiam nullau salus (tidak ada keselamatan di luar Gereja) dan extra ecclesiam nullus propheta (tidak ada nabi di luar Gereja). Pandangan ini pernah dikukuhkan dalam Konsili Florence 1442. Paradigma ekslusif itu, sampai sekarang selalu menjadi pegangan oleh para penganut garis keras para penginjil . Di antara penginjil Protestan yang menganut paradigma ini adalah Karl Bath dan Hendrick Kraemer. Nama yang kedua ini bahkan menulis buku The Christian Message in Non-Christian World mengatakan “Tuhan telah mewahyukan jalan, kehidupan dan kebenaran dalam Yesus Kristus dan menghendaki ini diketahui di seluruh dunia” (Ibid, 45).
Sikap ekslusifisme dianggap para pengkaji pluralisme agama juga ada dari kalangan Islam. Beberapa ayat al-Qur’an oleh para pengkaji itu dapat pula dianggap sebagai rujukan kaum muslimin yang membawa kepada sikap eksklusif . Di antaranya adalah QS.5/Al-Maidah:3; 3/Ali-Imran: 85 ; dan 3/Ali Imran :19. “Hari ini orang kafir sudah putus asa untuk mengalahkan agamamu. Janganlah kamu takut kepada mereka; takutlah kepada-Ku. Hari ini Ku-sempurnakan agamamu bagimu dan Ku-cukupkan karunia-Ku untukmu dan Ku-pilihkan Islam menjadi agamamu”; … Barang siapa menerima agama selain Islam maka tidaklah akan diterima dan pada hari akhirat ia termasuk golongan yang rugi”. …” Sungguh, agama pada sisi Allah adalah Islam”.

Kedua, sikap Inklusif. Sikap ini bersumber kepada dokumen Konsili Vatikan II 1965 yang mempengaruhi komunitas Katolik. Produk Konsili itu yang berkaitan dengan agama lain ada pada “Deklarasi Hubungan Gereja dan Agama-agama Non Kristiani (Nostra Aetate) . Teolog penganut pandangan ini adalah Karl Rahner ( Ibid, 46). Ia mengatakan bahwa orang-orang Non-Kristiani juga akan selamat sejauh mereka didup dalam ketulusan hati terhadap Tuhan, karena kaarya Tuhan pun ada pada mereka, walaupun mereka belum pernah mendengar Kabar Baik (Kristen). Rahner menyebutkan sebagai sikap inklusif berdasarkan the Anonymous Christian (Kristen anonim). Sikap ini disebutkan oleh para kritikus pluralis sebagai membaca agama lain dengan kacamata agama sendiri.
Dalam hal seperti ini, sikap inklusif dalam Islam tampaknya dapat merujuk kepada Filisof Muslim abad XIV Ibn Taymiah yang membedakan antara orang-orang dan agama Islam umum (yang Non-Muslim par excellance) , dan orang-orang dan agama Islam khusus (Muslim par excellance). (Ibid) . Kata Islam sendiri di sini diartikan seabagai “sikap pasrah kepada Tuhan”. Sebagaimana dikutip Budhy menawar Rachman yang mengutip Nurcholish Madjid:
“Pangkal al-Islam ialah persaksian bahwa “ Tidak ada suatu Tuhan apapun selain Allah, Tuhan yang sebenarnya, “ dan persaksian itu mengandung makna penyembahan hanya kepada Allah semata meninggalkan penyembahan kepada selain Dia. Inilah al-Islam al-‘am (Islam umum, universal) yang Allah tidak menerima ajaran ketundukan selain daripadanya”.

“ Maka semua Nabi itu dan para pengikut mereka, seluruhnya disebut oleh Allah Ta’ala bahwa mereka adalah orang-orang muslim. Hal ini menjelaskan bahwa firman Allah Ta’ala, “Barangsiapa menganut suatu din selain al-Islam maka tidak akan diterima daripadanya al-din dan di akhirat dia termasuk yang merugi (QS, 3:85) dan firman Allah, “ Sesungguhnya al-din di sisi Allah ialah al-Islam (QS, 3:19”, yang menurut pemahaman Nurchalish berdasarkan Ibn Taymiyah itu –tidak khusus tentang orang-orang (masyarakat) yang kepada mereka Nabi Muhammad s.a.w. diutus, melainkan hal itu merupakan suatu hukum umum (hukm ‘amm ketentuan universal) tentang manusia masa lalu dan manusia kemudian hari (Ibid, 46-47).

Dalam tafsiran mereka seperti diteruskan Budhy Munawar-Rachman, yang menganut paham yang disebut “Islam Inklusif” ini, mereka menegaskan sekalipun para nabi mengajarkan pandangan hidup yang disebut al-Islam dengan pemahaman ketundukan dan sikap pasrah, itu tidaklah berarti bahwa mereka dan kaumnya menyebut secara harfiah agama mereka al-Islam dan mereka sendiri sebagai orang-orang muslim. Itu semua hanyalah peristilahan Arab. Para Nabi dan Rasul, dalam da’wah mereka pada dasarnya menggunakan bahasa kaumnya masing-masing. Seperti QS, Ibrahim/14:4 “ Kami tidak mengutus seorang Rasul dengan kecuali dengan bahasa kaumnya”. Selanjutnya Nurcholish Madjid mengatakan lagi :

Manusia berselisih tentang orang terdahulu dari kalangan umat Nabi Musa dan Nabi Isa, apakah mereka itu orang-orang muslim? Ini adalah perselisihan kebahasaan. Sebab “Islam khusus” (al-Islam khashsh) yang dengan ajaran itu Allah mengutus Nabi Muhammad saw. Yang mencakup syari’at al-Qur’an tidak ada yang termasuk ke dalamnya selain umat Muhammad saw. Dan al-Islam sekarang secara keseluruhan bersangkutan dengan hal ini. Adapun “ Islam umum” (al-islam al’amm) yang bersangkutan dengan syari’at itu Allah membangkitkan seorang nabi maka bersangkutan dengan islam-nya setiap umat yang mengikuti seorang Nabi dari para nabi itu.

Menurut Budhy Munawar-Rachman, dari wacana di atas tadi dapat disimpulkannya bahwa kalangan Islam inklusif menganut suatu pandangan bahwa agama semua nabi adalah satu. “Para nabi adalah saudara satu ayah; ibu mereka banyak, namun agama mereka satu”. Rasulullah bersabda, “Aku adalah orang yang paling berhak atas Isa putera Maryam di dunia dan akhirat. Para Nabi adalah saudara satu bapak, ibu mereka berbeda-beda namun agama mereka satu (HR. Bukhari). Mereka yang bersikap inklusif ini selanjutnya mengutip QS, 3: 64, sebagai rujukan bahwa ada titik temu agama-agama, di mana masing-masing umat telah ditetapkan sebuah syir’ah (jalan menuju kebenaran) dan minhaj (cara atau metode perjalanan menuju kebenaran). Menurut kalangan Islam inklusif ini, Allah memang tidak menghendaki adanya kesamaan manusia dalam segala hal (monolitisme) . Adanya perbedaan menjadi motivasi berlomba menuju berbagai kebaikan; dan Allah akan menilai dan menjelaskan berbagai perbedaan yang ada itu. (QS, al-Maidah/5:48). Menurut Budhy Munawar-Rachman, di Indonesia pandangan ini secara kuat dianut oleh Nurcholish Madjid (Ibid, 48).

Ketiga, sikap Paralelisme . Gugusan pemikiran (paradigma) ini berpandangan bahwa setiap agama (agama-agama lain di luar Kristen) mempunyai jalan keselamatannya sendiri, dan karena itu klaim bahwa Kristianitas adalah satu-satunya jalan (sikap ekslusif), atau melengkapi atau mengisi jalan yang lain (sikap inklusif), haruslah ditolak, demi alasan teologis dan fenomenologis. Sikap pluralis teologis dan fenomenalogis ini dengan sangat kuat dianut oleh para penganut pluralis yang asli, di antaranya adalah John Harwood Hicks dalam God and the Universe of Faith (1973). Pendapatnya dianggap suatu revolusi dalam pemikiran teologi agama-agama. Menurut Budhy Munawar-Rachman, Hicks menggunakan analogi astronomi sebagai berikut :

“ Menurut Ptolemeus, bumi adalah pusat dari seluruh alam semesta. Pergerakan planet-planet lain oleh postulating epicycle. Pertumbuhan jumlah epicycle menjadikan gambaran Ptolemeus makin tidak masuk akal. Karena itulah akhirnya muncul gambaran Kopernikus, yang menggantikan gambaran Petolemeus, dengan menganggap mataharilah yang sebenarnya merupakan pusat alam semesta, bukan bumi. Dengan analogi ini Hicks hendak mengatakan bahwa teologi Ptolemeus kuno (maksudnya tentu saja orang seperti Barth, Kraemer dan lainnya) dan pertumbuhan epicycle-nya (pada Rahner, dan lainnya) yang menanggap bahwa Yesus Kristus adalah pusatnya, makin tidak mungkin menerangkan perkembangan agama-agama lain. Karena itu ia melakukan revolusi Kopernikan dalam bidang pemikiran teologi diperlukan, dengan mengganti Kekristenan (Yesus Kristus) kepada Tuhan sebagai pusat dari alam semesta iman manusia. Semua agama termasuk Kristen, melayani dan mengelili-Nya. (Ibid).

Di kalangan pemikir Islam pluralis, tafsir pluralis merupakan pengembangan secara lebih liberal dari Islam inklusif. Contohnya perbedaan antara Islam dan Kristen (dan antara agama secara umum) diterima sebagai perbedaan dalam meletakkan prioritas antara “perumusan iman” dan “pengalaman iman”. Penganut Islam pluralis seperti Frithjof Schuon dan Seyyed Hossein Nasr, seperti dikutip Budhy Munawar-Rachman mengatakan bahwa setiap agama dasarnya distruktur oleh dua hal tersebut: perumusan iman dan pengalaman iman. Hanya saja setiap agama selalu menanggap yang satu mendahului yang kedua . Katanya, Islam mendahulukan “perumusan iman” dalam hal ini Tawhid. Dan pengalaman iman mengikuti perumusan iman tersebut. Sebaliknya agama Kristen mendahulukan pengalaman iman (dalam hal ini pengalaman akan Tuhan yang menjadi manusia pada diri Yesus Kristus, yang kemudian disimbolkan dalam sakramen misa dan ekaristi, dan perumusan iman ini mengikuti pengalaman ini, sehingga terciptalah rumusan dogmatis mengenai trinitas. Menurut mereka yang pluralis ini, perbedaan struktur perumusan dan pengalaman iman ini hanyalah ekspresi kedua agama ini dalam merumuskan dan mengalami Tuhan yang sama. (Ibid, 49). Tentu saja paradigma pluralis demikian ditolak oleh para pemeluk agama yang bersikap ekslusif dan inklusif.

V. Resolusi Kepincangan Pemahaman Publik dan Pemikiran Akademik
Untuk mengeliminir disharmoni intelektual, paling tidak harus dicarikan tawaran beberapa alternatif yang perlu dipertimbangkan dalam menjembatani kepincangan pemahaman publik dan pemikiran akademik tentang pluralisme. Pertama, bahwa harus dilihat pemahaman awal tentang makna semantik antara pluralisme dan pluralitas. Pluralisme dipahami sebagai paham menghormati kemajemukan filsafat kehidupan bersama adalah sesuatu yang afirmatif. Tetapi untuk pluralisme demikian tidak perlu dikaitkan dengan aqidah agama dan ibadah dalam beragama. Di luar itu, kata pluralitas lebih memadai untuk menggambarkan watak atau karakter sosiologis menjaga harmoni dan semangat kebersamaan sosial dalam kehidupan bersama yang memang terlahir dalam majemuk.
Kedua, wacana tentang pluralisme dan pluralitas sebaiknya tidak terlalu menonjol dalam menggesa fanatisme golongan tetapi untuk diarahkan untuk memotivasi kohesif dan interaksi sosial yang beragregasi dengan kepentingan bangsa ke depan dalam menghadapi tantangan budaya kosmopolitan dan globalisme.
VI. Penutup

Kenyataan pluralitas sosiosilogis tidak selalu secara otomatis membawa kepada keberkahan dan makna yang positif kalau tidak disejalankan dengan upaya yang terus menerus untuk diarahkan kepada kehidupan bermasyarakat yang berkeadaban dan bermartabat. Upaya itu menjadi amat strategis dengan mengoptimalkan peranan perguruan tinggi sebagai realisasi tanggungjawab sosialnya terhadap masyarakat dan bangsa. Harmonisasi sosial merupakan infra struktur masyarakat untuk menjadikan pluralitas itu lebih bermakna untuk kepentingan masa kini dan masa depan. Ada hal-hal yang rawan dalam relasi pluralitas masyarakat selain masalah sosio-kultural, ekonomi dan politik. Di antaranya adalah relasi masyarakat dan agama-agama dalam konteks berteologi .
Pluralisme agama dalam wacana teologis yang dapat membawa kepada pengertian agama itu sama saja, akan membahayakan akidah suatu agama. Maka dapat dipahami, kalau MUI melarang paham pluralisme-teologis itu di Indonesia karena akan meringankan makna eksistensi akidah suatu agama bagi para pemeluknya. Akan tetapi wacana pluralis-teologis cukup signifikan untuk perkembangan ilmu pengetahuan seperti kajian terhadap berbagai filsafat temasuk dari yang paling masuk akal sampai kepada yang utopis. Bahkan mempelajari komunisme dan atheisme untuk ilmu pengetahuan adalah diperlukan untuk mengetahui jalan pemikiran dan alasan-alasan mereka.
Dengan begitu akan ada kesabaran intelektual dan hati untuk meletakkan mereka yang berbeda pendapat sebagai manusia yang bebas berfikir dan tidak membawa kepada kepanikan apalagi gesekan fisik. Oleh karena itu sebaiknya wacana pluralis untuk kalangan awam tidak dikaitkan dengan cara bertawhid atau pemikiran iman atau filosofis-teologis. Wacana peluralis lebih relevan untuk mengatur kemajemukan masyarakat atau tataran sosiologis, kultural, ekonomi dan politik. Sehingga tercipta kehidupan bermasyarakat yang beradab dan bermartabat. Allah a’lam bi al-shawab. E-mail : shofwankarim@plasa.com, shofwan.karim@gmail.com7

Daftar Kepustaakaan

Asykuri Ibnu Chamim, dkk . 2002. Pendidikan Kewarganegaraan: Menuju Kehidupan yang Demokratis dan Berkeadaban. Yogyakarta: Diktilitbang PP Muhammadiyah-The Asia Foundation.

Mohammad Hatta. 1976. Tanggungjawab Kaum Intelegensia. Jakarta: Bulan Bintang.

Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

T. Jacob dalam Mandiri Sianipar. 1984. “Perguruan Tinggi sebagai sumber Kader Bangsa”. Pendidikan Pilitik Bangsa. Jakarta: Sinar Harapan.

M. Habid Mustopo, Ed. 1983. Ilmu Budaya Dasar: Kumpulan Essay Manusia dan Budaya. Surabaya: Usaha Nasional.

Koentjaraningrat. 1979. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan.

Parsudi Suparlan,Ed. 1984. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya: Bacaan untuk MKDU, Khususnya ISD. Jakarta: Konsorsium Antar Bidang Depdikbud dan Rajawali.

Deliar Noer. 1990. Mohammad Hatta; Biografi Politik. Jakarta: LP3ES

Sahar L. Hasan, Ed. 1998. Memilih Partai Islam: Visi, Misi dan Persepsi. Jakarta: Gema Insani Press.
Sutopo Yuwono dalam Alfian, Ed. 1985. “Persepsi Ketahanan Nasional terhadap Kebudayaan”. Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta : Gramedia.

Tobroni-Syamsul Arifin. 1994. Islam, Pluralisme Budaya dan Politik. Yogyakarta: SI Press.

Budhy Munawar-Rachman.2001. Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta: Paramadina.

1 Seminar Antar Bangsa, Agama dan Pembangunan III: University Kebangsaan Malaysia-IAIN Imam Bonjol Padang-IAIN Sunan Ampel Surabaya-Universitas 17 Agustus Surabaya di Selangor, Daarul Ehsan, Malaysia, 6-7 Agustus 2007.
2 Shofwan Karim adalah Lektor Kepala pada jurusan Aqidah-Filsafat Fak. Ushuluddin IAIN Imam Bonjol Padang .
3 Ke-5 fatwa lainnya itu adalah perlindungan hak kekayaan intelektual; perdukunan (kahana) dan peramalan (‘irafah); kriteria maslahat; pencabutan hak milik pribadi untuk kepentingan umum; hukuman mati dalam tindak pidana tertentu.
4

13- Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
5

22- Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.

6
48- Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,

7 Drs. H. Shofwan Karim, MA., adalah Dosen Fakultas Ushuludin IAIN Imam Bonjol Padang; Dosen Kolej Islam Muhammadiyah (KIM) Singapore; Dosen Pascasarjana UMSB. Ketua Pimpinan Wilayah Muhamamdiyah Sumbar 2000-2005 dan Rektor Universitas Muhammadiyah Sumbar (UMSB) 2006-2010. Pendidikan Sarjana muda (BA) dan Sarjana Lengkap (Drs) Fakultas Tarbiyah IAIN IB padang 1976 dan 1982. Magister Artium/MA, Pascasarna (S2) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1991; dan sekarang sedang menyelesaikan Pascasarjana, Program Doktor/S3 pada UIN Jakarta. Pengalaman yang relevan dengan relasi pluralitas: Menjadi peserta International Visitor Programme on Grass Root Democracy di San Fransisco, CA; Washington, D.C.; Portland, MN; Hunstville dan Birmingham, AL; Abarbeque, NM dan Seattle, WA, Amerika Serikat, Mei-Juni 2005; Seminar Mambangkik Batang Tarandam: Peranan Ulama Minangkabau, KMM, Kairo, dan kunjungan perpustakaan internasional, Alexandria, Mesir, Juli 2004 . Peserta Three Face Forum Dialogue di London dan Introduction to Oxford Centre for Islamic Studies, di Oxford, Inggris, Agustus 2004; Peserta Seminar Islam serantau Asean, Kualalumpur, Agustus 2004; Penceramah, Islam di Indonesia: Perkembangan Islam dan Politik Kontemporer, Islamic Centre, Mesjid Indonesia, Long Island, New York City, Agustus 1998; peserta World Constitution and Parliament Association Assembly IV , Andorra dan Barcelona, Spanyol, September 1996; Silaturrahim Muslim Indonesia dan Cina, Mesjid Nun Jie, Beijing, September 1995;Peserta Assembly VI World Conference on Religion and Peace, Oktober-November 1994 di Roma dan Riva del Garda, Italia; Meninjau pusat Islam Singapura, Bangkok, Hongkong , Juni 1992; Utusan KNPI pada Youth Agenda on United Nation General Assembly, New York City, September-Oktober 1988; Utusan KNPI untuk Seminar MBNS, Sremban dan Kualalumpur, Juni 1987; Participant, Group Leader dan Country Co-ordinator , Pemuda Indonesia dan Canada World Youth di Alberta, Saskachewan dan Ontario dengan Maluku, Sulawesi Tenggara dan Nusa Tenggara Timur , 1980-1985.

Pemikiran H. Agus Salim

Geneologis Intelektual dan Pemikiran Gender Agus Salim


Oleh Shofwan Karim
Abstract:

Agus Salim was told by Soekarno as a grand old man of Indonesian leaders. He has involved actively in mainstream of movement to gain Indonesian nationalism and independence. He entered and came to the top leaders of Syarikat Islam and lately Penyadar Party. After independence of Indonesia for the first era he has been sited as Indonesian foreign minister and in 1950s he was actively becomes Muslim scholar who has concerned on Islamic thought and joined some Islamic discourses in home and overseas countries such as in US. This paper explored his brief intellectual genetic, his struggle and his thought on gender in Islam.

I. Pendahuluan
Agus Salim (1884–1954) adalah salah seorang tokoh nasionalis Islami Indonesia yang amat penting. Ia memainkan peranannya secara ulet, cerdik dan lincah melalui perjuangan kebangsaan, merebut dan mempertahanlkan kemerdekaan, serta pembangaunan masa awal Republik Indonesia . Di samping amat aktif membina kegiatan politik kesadaran kebangsaan, tak kalah pentingnya pembentukan jiwa dan pemikiran baru keislaman dan ideologis angkatan muda pada dekade ke tiga dan keempat awal abad ini. Agus Salim menjadi inspirator kadang-kadang menjadi katalisator bagi angkatan muda Islam diantaranya di dalam Islam Studi Klub dan Jong Islamieten Bond (Himpunan Pemuda Islam) 1924-1930 .
Selanjutnya ia berkolaborasi dengan kekuatan Islam lainnya di dalam upaya membebaskan bangsa ini dari penjajahan dan merebut kemerdekaan serta di masa awal kemerdekaan sebagai pelaku praktis diplomasi luar negeri . Di dalam masa-masa aktif kontributifnya itu, sejak dari muda sampai masa akhir hayatnya selalu ia isi dengan eksplorasi pemikiran keislaman sejalan dengan aktivitasnya di dalam dunia intelektual lisan dan tulisan , di dalam maupun luar negeri.
Begitu pentingnya sosok dan peranan Agus Salim, telah menimbulkan inspirasi penulis untuk melakukan analisis rekonstruktif terhadap latarbelakang geneologis intelektual tokoh yang satu ini. Berdasarkan kajian teks yang pernah ditulisnya serta karya lain tentang pemikiran tokoh ini, paling tidak menurut penulis ada dua pemikiran keislaman yang amat menarik untuk dikaji. Pada masa awalnya tentang sosio-teologi gender[1] dan pada masa akhir tentang filsafat dan teologi akidah tauhid[2]. Oleh karena beberapa keterbatasan belum memungkinkan keseluruhan pemikiran Salim tersebut dikemukakan di sini, maka pada tulisan ini difokuskan kepada kajian sosio-teologi gender, dengan terlebih dulu menyajikan latar belakang geneologis intelektualnya.

II Geneologis Intelektual

Melalui permenungan yang mendalam setelah membaca sebuah kitab, Sutan Mohammad Salim memberikan nama bayinya Mas’udul Haq (pembela kebenaran). Nama bayi yang sesuai dengan judul kitab yang dibacanya itu ternyata belakangan berubah. Secara selintas perubahan itu hanya persoalan sepele. Namun kalau di renungkan, bisa dianggap serius. Ternyata, sengaja atau tidak, panggilan “den bagus” disingkat “gus” (ingat Gus Dur, panggilan mantan Presiden Abdurrahman Wahid), oleh pengasuh Mas’udul Haq kecil yang berasal dari Jawa, belakangan melekat abadi.
Secara serius dalam tafsir pluralisme[3], keadaan itu adalah pencerminan watak apresiatif dan adaftif keluarga Sutan Mohammad Salim terhadap kultur lain, dalam hal ini Jawa. Watak itu nampaknya melekat sepanjang hidup keluarga Salim. Bahkan Mohammad Rum, seorang tokoh nasionalis-islami Jawa, merasa Salim adalah guru dan sahabatnya di dalam masa kehidupan mereka di belakang hari.
Kembali ke soal nama, tentu saja keluarga ini tidak memanggil “den bagus” menurut cara pembantunya tadi , tetapi menjadi Agus yang disetalikan dengan initial ayahnya hingga menjadi Agus Salim (1884-1954). Orang Belanda memanggilnya “August” (Panitia Peringatan, 1984: 36).
Atas gigihnya berjuang untuk ummat Islam dan bangsa Indonesia, Salim dijuluki oleh Soekarno sebagai the grand old man (tokoh agung ). Gelar itu terus dipakai sebagai penghargaan oleh kalangan penulis, cendekiawan dalam dan luar negeri terhadap tokoh yang satu ini. Semua orang tahu, Agus Salim menguasai dengan baik paling tidak 7 bahasa asing : Arab, Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Sepanyol dan Jepang. Penguasaan bahasa-bahasa asing yang nyaris amat sempurna ini, mungkin termasuk dalam anatomi kekaguman Soekarno terhadap Inyiak Salim yang dibicarakan ini.
Kemampuan Bahasa merupakan kunci utama pembuka gerbang gudang ilmu pengetahuan. Dengan kunci itu sebagai tool dan piranti canggih, Salim membuka cakarawala dunia dan menjadi pemimpin, pejuang sekaligus pemikir. Oleh karena itu, dalam ukuran kemanusiaan normal, maka Salim memang prima sebagai sosok yang relatif lengkap. Dengan demikian, bukanlah sebuah permainan kata, kalau beliau dijuluki sebagai pejuang pergerakan nasional, kemerdekaan, pemimpin bangsa, ulama intelek, pembentuk tradisi cendekiawan, bapak kaum intelektual dan spiritual muslim Indonesia, ilmuwan agung, pembaharu pemikiran Islam sekaligus seorang filosof .
Lebih dari itu secara geneologis intelektual, Agus Salim boleh dikatakan protipe orisinal Minangkabau. Melalui pihak ayah, Agus Salim bertalian darah dengan orang-orang yang amat terdidik dari strata sosial atas . Kakeknya dari pihak ayah Abdur Rahman Dt. Rangkayo Basa adalah jaksa tinggi di Padang dan ayahnya sendiri belakangan menjadi jaksa tinggi di Riau. Dari sisi geneologis religius, ayah dari kakeknya, Tuanku Imam Syekh Abdullah bin Azis seorang ulama panutan di Koto Gadang.
Dari pihak ayahnya itu pula Salim juga bertalian darah dekat dengan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawy. Tokoh yang juga lahir di Koto Gadang ini adalah Imam dan guru besar Mazhab Syafii di Masjid al-Haram di Mekkah yang sudah bermukim di kota suci ini sejak 1876. Tentu saja selain pertalian darah, tokoh ini sekaligus merupakan inspirator utama pembaruan pemikiran Islam Nusantara. Abdul Latief gelar Khatib Nagari, ayah Ahmad Khatib merupakan saudara seayah dengan ayah Salim, Sutan Mohammad Salim. (Hamka, 1982:271). Dari pihak ibu, keadaannya sama. Karena ibu dan ayah Salim sebetulnya sebagaimana layaknya orang-orang Minang dewasa itu kawin mengawini masih dalam keluarga yang tidak begitu jauh. Tentu di luar garis keturunan materlinial line (ibu), perkawinan antara putra atau putri anak mamak dengan kemenakannya atau putra atau putri dari saudaranya yang perempuan merupakan hal yang biasa di ranah ini pada masa klasik hingga ujung abad lalu. [4]
Belakangan tokoh terakhir ini, Syekh Ahmad Khatib bukan saja terkait secara geneologis dengan Salim, bahkan bagi Salim menjadi tranformator ide dan sumber ilmu agama selama menjadi staf Konsulat Belanda di Jeddah (1906-1911). Tentu saja setelah itu, tokoh jenius yang satu ini menimba dan mengeksplorasi kapasitas dan kualitas intelektualnya tanpa henti. Geneologis intelektual tadi tidak bisa menjadi satu-satunya modal, kalau Salim tidak mendapat dukungan lingkungan sosial yang kondusif serta faktor pribadinya sendiri yang mau dan mampu untuk mengembangkan diri untuk maju.
Tentu saja, seperti kajian Elizabeth Grave (1981:77-129), perkembangan lingkungan dan zaman telah membantu Salim. Ia berangkat menapak formatif intelektual dan pemikiran di era terjadinya booming pendidikan. Lebih khusus lagi, menurut Kustiniyati Mochtar (1984) meskipun mendapat peluang yang sama dari kolonial Belanda dengan beberapa nagari lain di Minangkabau untuk membuka sekolah sekuler, tetapi di Koto Gadang hasilnya melebihi nagari lainnya tadi.
Pertanyaan yang muncul adalah , mengapa?. Maka jawabannya terletak pada sifat, jiwa dan watak orang Koto Gadang itu sendiri. Mereka menggesa anak-anak mereka bersekolah melebihi dorongan untuk hal-hal yang lain. Sehingga masyarakat kala itu mengenal bahwa Koto Gadang adalah tempat berhimpunnya orang pandai. Sampai tahun 1915, sebanyak 165 orang Koto Gadang berstatus pegawai pemerintah sipil, 79 orang di antaranya bekerja di luar Minangkabau.
Dari 165 orang tadi, 72 orang fasih berbahasa Belanda. Fasih berbahasa Belanda dapat menjadi indikator bahwa mereka keluaran pendidikan yang amat memadai. Pada kitaran 1940-an sebelum kemerdekaan, Koto Gadang merupakan gudang dokter, insinyur, sarjana hukum, jaksa dan pejabat administrasi pemerintah. Di tahun 1942, 40 orang putra Koto Gadang lulus sekolah tinggi kedokteran Stovia Batavia (Grave, 1981:131). Tentu saja semua orang ingat bahwa Rohana Kudus, pejuang dan tokoh wanita, pendiri Surat Kabar Soenting Melajoe dan sekolah Kerajinan Amai Setia, berasal dari nagari ini pula.
Kembali menurut Elizabetth Grave (1981:117), berkah out-put kecendrungan prima dan apresiatif tinggi terhadap dunia pendidikan bukan hanya milik Koto Gadang, tetapi merambat hampir merata di seluruh Minangkabau. Sebagai produk lokal inisiatif 1840-an yang disambut reorganisasi pendidikan Pemerintah Kolonial Belanda 1870-an, berdirilah sekolah di mana-mana. Dengan demikian Minangkabau mendahului suku lain di Indonesia banyak melahirkan kalangan terdidik baru. Salim tentu saja merupakan salah satu produk dari suasana tersebut.
Sekolah-sekolah nagari produk orisinal lokal inisiatif tadi , di ujung abad ke-19 telah dimerger menjadi sekolah-sekolah dasar pemerintah. Hal itu terjadi karena adanya perubahan kebijakan Belanda yang sedikit agak serius memberi bantuan pembangunan pendidikan ini. Buahnya seperti dikatakan Grave, sampai tahun 1945, kaum politisi, intelektual, dan elit profesional di Indonesia mayoritas berasal dari etnis Minangkabau yang hanya merupakan 3 persen dari jumlah total penduduk Indonesia (Ibid, vii). Salim tentu saja menghirup suasana itu dan mendapat pengaruh yang kuat mendorongnya untuk maju.
Dilihat dari era formatif intelektualitasnya, Salim sebenarnya dapat pula dikaji dari latar belakang pendidikan formal dan informalnya. Selepas sekolah di kampung yang belakangan ia sebut sebagai tempatnya belajar agama sebagai orang Islam dan Melayu, selanjutnya ia mengecap pendidikan formal yang bergensi di kala itu. Karena ayahnya Mohamad Salim menjadi jaksa tinggi pada Pengadilan Negeri Riau, Salim remaja dapat diterima di Sekolah Belanda Eruropeese Lageree School (ELS). Masuknya Salim dan kakaknya ke sekolah ini tidak terlepas dari status ayahnya tadi yang dianggap menduduki posisi tinggi untuk kaum pribumi (inlanders).
Selepas belajar di ELS itu Salim hengkang ke Batavia dan sekali lagi karena kedudukan ayahnya, ia dapat masuk ke sekolah menengah bergengsi Hogere Burger School (HBS). Baik di ELS maupun di HBS Salim adalah anak yang cerdas dan pintar. Seperti diakuinya, kepintaran itu bukan karena orisinal genius, tetapi lebih kepada kemampuannya belajar dengan sungguh-sungguh dan disiplin. Oleh karena itu guru-gurunya orang Belanda bukan hanya memuji dan memberikan dorongan, di antaranya memperlakukan Salim sebagai anak didik khusus.
Sebagai siswa yang unggul dalam pelajaran bahasa, ilmu sosial dan ilmu pasti, Salim berhasil lulus terbaik untuk seluruh HBS Hindia-Belanda yang ada di Batavia, Bandung dan Surabaya pada tahun 1903.

III. Kehidupan dan Perjuangan
Petualangan sosial dan intelektual Salim hendak dimulainya di kampungnya sendiri Koto Gadang. Pasca Jeddah, lebih kurang 3 tahun, Salim mengabdi di Kampungnya Koto Gadang dengan membuka sekolah HIS swasta. Agaknya karena tidak betah di kampung sendiri atau mungkin pula merasa kurang puas atas perkembangan keadaan, sosial dan intelektual, maka Salim hengkang dari kampungnya. Kepergiannya boleh jadi sebagai koreksi total terhadap pepatah Melayu” setinggi-tinggi terbang bangau kembalinya ke kubangan juga. Dalam makna konsep Minang kubangan itu adalah negeri sendiri, dan ini dibalik Salim, bahwa kubangan itu adalah rantau itu sendiri. Apakah insfirasi ini memberikan penafsiran ulang pula terhadap kasus lain yang dilakukan beberapa orang Minang belakangan. Misalnya penafsiran terhadap legenda Malin Kundang dengan membalikkan logika bahwa bukan Malin Kundang yang durhaka, tetapi ibunyalah yang durhaka mendo’akan anaknya hingga celaka dan menjadi batu.
Salim hengkang ke Jawa, meneruskan petualanganya sebagai migran sukarela istilah Mochtar Naim di ujung tahun 1970-an. Sebagai layaknya mayoritas intelektual secara umum, bahkan sampai sekarang, Salim sebenarnya menjadi sempurna sebagai cermin intelektual yang gelisah. Pada bulan-bulan awal oleh komisaris besar polisi yang ia kenal, Salim diutus untuk memata-matai gerakan Sarekat Islam yang dituduh menampung senjata gelap dari Jerman untuk melawan Belanda. Tugas itu ia terima untuk jembatan baginya untuk dapat mendekati HOS Tjokroaminoto yang sudah dia kagumi melalui opini yang berkembang ketika itu. Toh pada akhirnya karena kecurigaan terhadap orang-oarang SI itu tidak berdasar dan tidak ada fakta-fakta yang mendukung ia bukannya melapor ke Polisi Hindia Belanda, malah menyeberang dan bertungkus-lumus ke dalam Sarekat Islam itu sendiri.
Ia berhasil tembus menjadi salah seorang Pengurus Besar Syarikat Islam. Begitu kental dan lengketnya Salim dalam menggerakkan SI, ia bahkan sering diidentikkan dengan Oemar Said Tjokroaminoto sebagai dwi-tunggal pemimpin pergerakan nasional Syarikat Islam, Partai Syarikat Islam, kemudian Partai Syarikat Islam Indonesia itu. Agus Salim memulai debutnya di dalam Syarikat Islam (SI) tahun 1915 dan meroket menjadi tokoh puncak SI melalui Kongres PSII Malang 1935 setelah Tjokroaminoto wafat 1934.
Selain memilih Salim di dalam kongres itu, ada keputusan lain yaitu meneliti kembali politik hijrah (non-kooperatif). Belakangan penelitian itu tidak dilaksanakan lantaran ketua Lajnah Partai, Abikoesno Tjokrosujoso ingin meneruskan politik hijrah tersebut. Akibatnya, para pengusul peninjauan kembali politik hijrah meneruskan usahanya untuk menyadarkan barisan PSII di daerah tentang perlunya peninjauan itu.
Solusi yang diharapkan adalah bukannya Partai berkooperasi dengan pemerintah Hindia-Belanda, tetapi di Parlemen, Partai dapat bekerjasama dengan siapa saja yang sehaluan dengan Partai. Oleh pihak Abikoesno dinyatakan bahwa pembicaraan tentang hal ini sudah ditutup, maka terjadilah kebingungan di daerah. Untuk mengeeleminir kebingunan itu berdirilah barisan penyadar yang diketuai Mohammad Roem akhir November 1936 yang akan meneruskan usaha menyadarkan barisan PSII mengenai masalah peninjauan kembali politik hijrah. Langkah itu ditolak dan pihak Abikoesno memecat tokoh-tokoh Barisan Penyadar termasuk Agus Salim pada bulan Januari 1937 (Panitia, 1984: 163-4) . Selanjutnya Barisan Penyadar menjadi Pergerakan Penyadar yang mandiri diluar PSII, belakangan menjelma menjadi Partai Penyadar.
Terhadap Partai Penyadar, Agus Salim memberikan landasan perjuangan Islami dalam corak yang membebaskan, substantif dan bukan harfiah, fundamental bukan isntrumental-ornamental, filosofikal, bukan artifisial-simbolik. Oleh karena itu gerakan yang belakangan disebut partai itu bukan ditempel kata Islam, tetapi kata Penyadar. Tentulah Islam yang memberdayakan dan menyadarkan. Boleh jadi, kira-kira samalah dengan Islam liberal yang tengah mewabah pada sebagian intelektual muslim Indonesia dewasa ini. Menurut Salim, setiap warga Penyadar hendaklah lebih mementingkan misi bukan organisasi. Oleh karena itu, dalam keadaan seorang diri pun, warga Penyadar harus setia memegang dan mengembangkan misi itu.
Organisasi, kata Salim dapat lahir dalam aneka ragam bentuk. Tetapi itu semua adalah alat guna memperbesar hasil usaha perjuangan seseorang atau kelompok orang menuju cita-citanya, organisasi bukan tujuan. Adapun tujuan Penyadar, kata Salim adalah menyadarkan umat manusia berittiba’ mengikuti contoh teladan yang diberikan Nabi Muhammad saw. dalam beliau mengamalkan isi al-Alqur’an al-Karim.Tegasnya dalam rangka menyerahkan diri total dalam Islam kepada kehendak Allah swt.
Oleh karena itu hendaklah diketahui oleh anggota Penyadar bahwa umat manusia berkeadaan berkelompok-kelompok menuruti kehendak lingkungan, kehendak zaman, kehendak kebudayaan dan ilmu pengetahuan . Manusia bersuku, berkaum, berbangsa, bernegara, kecil dan besar, berpartai politik, berperkumpulan yang berdasarkan prinsip ekonomi atau prinsip koperasi/gotong royong. Di antaranya ada yang suka bermusuhan, atau saling menutup pintu bagi anggota kelompok yang lain. Yang demikian itu karena ulah iblis, terhadap mana manusia –dengan fitrahnya—sebagai makhluk lemah dan suka lupa akan petunjuk Allah swt tidak jarang lembek hati, dan lalu menjadi pengikut iblis menyebar-nyebarkan mungkar dan fitnah. Itulah kalimat Salim yang khas bertutur dalam gaya bahasa pada masa itu. Konstatasi Salim ini agaknya merujuk kepada Qur’an (Lihat, QS, 49: 12-13).
Selanjutnya menurut Salim, hendaklah para anggota “Penyadar” berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Muhammad saw. dan menginsyafi, bahwa Nabi Muhammad Rasul Allah telah mewariskan kepada kita ummat dan pengikutnya, yang anggota-anggotanya terdapat di dalam kelompok-kelompok yang beraneka ragam dan macam tadi, termasuk para anggota Penyadar sendiri sepanjang masa. Maka janganlah hendaknya para anggota Penyadar mengadakan sesuatu, kecuali usaha yang menyehatkan dan menyegarkan kelompok-kelompok tadi lewat pemimpin mereka sendiri, sehingga dengan demikian bukan “Penyadar” yang menonjol, melainkan misi itulah “yang ditonjolkan” oleh kaum “Penyadar”.
Itulah kira-kira garis umum khittah perjuangan penyadar yang mendasari idelisme menurut konsepsi Salim. Dapatlah difahami bahwa meskipun tidak menyebutkan secara eksplisit, Salim boleh jadi merujuk kepada hadist Rasullullah yang mengatakan bahwa “Aku tinggalkan kepada kamu sekalian dua pusaka. Apabila kamu berpegang teguh kepada kepada keduanya niscaya kamu tidak kan tersesat selama-lamanya. Pusaka itu adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.” Selanjutnya, Salim agaknya juga merujuk kepada QS, 3 : 103 yang menggesa umat untuk berpegang teguh kepada agama Allah.
Agus Salim berikutnya mengingatkan bahwa para anggota Penyadar hendaklah mengetahui tentang adanya “waktu pasang” dan “waktu surut” bagi usaha dan perjuangannya; namun yang penentuannya hendaknya dimusyawaratkan tanpa suatu keputusan yang mengikat, kecuali bagi yang sukarela menerima dan melaksanakannya, dengan arti (bahwa) yang mayoritas jangan memaksakan pelaksanaan keputusan kepada yang minoritas, dan sebaliknya yang minoritas jangan menghalang-halangi si mayoritas melaksanakan keputusannya.
Sehubungan dengan soal itu, kata Salim, hendaknya para anggota Penyadar menyadarkan dirinya dan khalayak ramai bahwa “kebenaran mutlak” hanya ada pada al-Khalik (Allah swt) sedangkan kita hanya makhluk yang diperintahkan untuk saling hormat menghormati antara sesama; dan bahwa pihak yang tadinya bermayoritas, pada suatu ketika bisa menjadi minoritas. Demikian Salim (Ibid : 161-2).
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Agus Salim ikut di dalam Masyumi yang berdiri pada tahun 1945. Kemudian karena PSII keluar dari Masyumi 1947 dan orang PSII ingin menariknya, namun Salim tidak mau, beliau menjadi tokoh netral saja, tidak di PSII dan tidak pula di Masyumi. Walaupun begitu tidak mengurangi peranannya dalam menjalankan misi kemerdekaan dan beliau aktif di pemerintahaan sebagai lokomotif diplomat dan menjadi Menteri Luar Negeri pada pemerintahan awal RI itu. Berbarengan dengan itu, Salim aktif pula menjadi nara sumber dalam pemikiran Islam di dalam maupun di luar negeri.
Antara lain, Agus Salim menjadi Guru Besar tamu (visiting professor) dalam mata kuliah Agama Islam di Cornell University 1953 selama empat bulan. Pada tahun yang sama ayah 10 anak dari Zaitun Nahar Almatsier, isterinya yang masih ada hubungan darah dari pihak ayahnya dari Koto Gadang ini menjadi pembicara pula tentang Kebudayaan Islam dalam Colloqium on Islamic Culture di Princeton, Amerika Serikat, mewakili kaum muslimin Indonesia.
Wacana berikut merupakan salah satu contoh lintasan pemikiran Agus Salim pada periode awal yang berhubungan dengan posisi, status dan peranan wanita dalam kehidupan apa yang sejak 25 tahun terakhir disebut sebagai wacana gender.
IV. Wacana Kesetaraan Gender
Konsep gender seperempat terakhir abad ke-20 merupakan wacana tentang wanita dan peranannya serta pola hubungan antara wanita dan pria (Sri Rahayu P, 1996:3). Konsep gender yang sekarang semakin terinci, tentu saja belum dikenal di awal abad lalu. Akan tetapi mendahului zamannya, dalam makna hakiki yang tak jauh berbeda dengan wacana kesetaraan gender pada masa itu ada yang disebut emansipasi wanita. Wacana ini masuk ke dunia Islam melalui sarjana Islam pendidikan Barat. Di dunia Islam Timur Tengah dengan poros utama Mesir, wacana emansipasi wanita dipelopori oleh Qasim Amin (1868-1908). Di dalam kitabnya (1899) Tahrir al-Mar’ah (pembebasan wanita) dan (1901) al-Mar’ah al-Jadidah (wanita moderen), Qasim Amin memecah kesunyian dan ketakberdayaan kaum wanita di dunia timur terutama negeri-negeri Islam [5].
Secara sengaja atau tidak, boleh jadi ketika berada di Jeddah, Arab Saudi Agus Salim mengikuti wacana Qasim Amin di Mesir seperti disinggung terdahulu. Seperti pengakuannya sendiri, keberadaannya selama lebih kurang 6 tahun (1905-1911) di pusat Islam ini merupakan era pendalaman dan pengasahan intelektualita keislamannya yang amat intensif. Belakangan, di Minangkabau meski tidak secara eksplesit dan tanpa gembar gembor dengan sebutan pejuang emansipaasi wanita, tentu saja peranan Rohana Kudus, Rasuna Said dan Etek Rahmah El-Yunusiah amatlah meyakinkan.
Kembali kepada Qasim Amin, di dalam kitabnya yang pertama tadi, dia mengemukakan wacana tentang ide emansipasi wanita dan ini sesuatu yang amat baru di kalangan pemikir Islam waktu itu. Kemudian pada kitab kedua sebagai menjawab protes atas pemikirannya dalam kitab pertama tadi, sekaligus memperkuat argumennya tentang amat pentingnya emansipasi wanita di kalangan umat Islam.
Tentu saja pada sisi tertentu Qasim Amin mendapat inspirasi dari emansipasi wanita di Barat ketika dia belajar di Paris, Prancis. Akan tetapi Qasim Amin tidak sepenuhnya setuju dengan emansipasi wanita versi Barat tersebut. Apabila di Barat kesetaraan wanita-pria berlaku secara total, maka dalam masyakarat Islam harus didudukkan secara proporsional.
Pada dasarnya Qasim Amin melihat bahwa Mesir yang komposisi statistik penduduknya hampir sama kala itu antara pria dan wanita, tidak akan maju kalau wanitanya tidak digesa untuk melepaskan kungkungan tradisi lama. Masyarakat terutama tokoh agama harus menciptakan suasana yang kondusif meningkatkan martabat wanita. Wanita harus bebas berkereasi secara profesional dan kemasyarakatan.
Isyu pokok yang dilontarkan Qasim Amin adalah pertama tentang amat pentingnya dunia pendidikan bagi wanita. Kedua, perlu atau tidaknya mempertahankan tradisi hijab (penutup wajah) serta apakah hijab merupakan assesoris atau merupakan bagian pokok busana wanita muslimah. Lebih jauh dari itu, hijab secara langsung atau tidak seakan telah menjadi alat isolasi wanita dari dunia luar. Ketiga, status dan fungsi lembaga perkawinan (Eliana S, 2001).
Pendidikan bagi wanita adalah mutlak. Wanita mesti memperoleh kesempatan dan bebas memilih pendidikan apa yang akan ditekuni. Pendidikan merupakan ikon utama bagi wanita sebagai sokoguru di rumah tangga dan tangan yang mengasuh dan membimbing anggota keluarga, terutama putra-putri yang dilahirkannuya. Di samping itu, pendidikan yang baik bagi wanita akan menciptakan peluang dan sumber inspirasi membantu perekonomian keluarga. Dengan itu maka wanita punya hak untuk mengembangkan profesionalitasnya dan dapat terjun ke tengah masyarakat untuk kemajuan bangsa.
Tentang hijab, bagi Qasim Amin ternyata bukan saja telah menyandara wanita Islam (Arab) dengan pakaiannya yang harus menutupi seluruh tubuh, bahkan wanita juga tidak boleh keluar rumah dan bergaul dengan orang lain. Wanita tertutup dari kehidupan sosial dan tidak dapat menikmati hidup sebagai manusia merdeka melihat keindahan alam ciptaan Tuhan. Oleh karena itu hijab menurut Amin bukan hanya berarti pakaian menurut makna harfiah, tetapi juga telah menjadi pembatas hak-hak asasi wanita.
Tentang pakaian itu sendiri, Amin tidak pula membebaskan wanita Islam mengikuti cara Barat moderen yang buka-bukaan. Bagi Amin, cukuplah wanita Islam menyesuaikan dengan perintah Al-Qur’an yaitu menutup yang pantas ditutup, bukan menutup seluruh tubuh. Kesulitan akan tumbuh kalau wanita juga harus menutup wajah dan tangannya dalam tugas domistik, dalam bekerja dan tugas sosial out door (di luar rumah). Oleh karena itu, membuka muka dan tangan atau berpakaian yang sepantasnya bukanlah menyalahi syariat.
Sementara itu dalam soal perkawinan pada abad 19 dan awal 20 itu di kalangan umat Islam terjadi ketimpangan yang amat sangat. Wanita dianggap sebagai warga kelas dua dalam rumah tangga. Suamilah pusat segala-galanya. Pendapat seperti itu menurut Qasim Amin bukan saja pada kalangan awam, tetapi juga ulama fikih yang tidak membicarakan kedudukan wanita yang pantas dalam perkawinan dan rumah tangga..
Pemahaman terhadap Qur’an, al-Rum 21 tidak sedikitpun memberi pembenaran kepada sikap sementara masyarakat Islam yang menganggap wanita hanya sebagai objek kesenangan biologis sang suami. Hubungan perkawinan haruslah dilandasi dari kerelaan saling memberi dan menerima. Sikap itu harus diawali dengan proses perkawinan itu sendiri. Tidak perlu ada paksaan dalam perkawinan. Oleh karena itu pembinaan rumah tangga harus dimulai dengan kecocokan pisik dan psikologis pasangan.
Oleh karena itu sebelum mahligai rumah tangga dibina, haruslah dimulai dengan saling kenal antara pasangan itu ter lebih dahulu. Tentu saja pendapat Qasim Amin ini tidak seutuhnya baru. Di dalam fikih, sejak zaman kelasik Islam para imam Mazhab telah mengedepankan konsep apa yang disebut sekufu (setara) antara calon pasangan penganten . Jadi khusus yang satu ini, pendapat Qasim Amin lebih kepada menolak praktek yang terjadi di tengah masyarakat Islam yang belum merujuk kepada konsep dasar terdahulu itu.

Beralih kembali kepada Agus Salim, boleh jadi konstruk pemikiran the grand old man ini, tidak terkait langsung dengan wacana Qasim Amin di atas. Akan tetapi, sebagai staf konsulat Belanda beberapa tahun bermukim di Jeddah–seperti telah disinggung pada bagian terdahulu, tentunya Salim ikut bergulat dengan pemikiran progresif waktu itu di Timur Tengah. Antara lain tentang penghormatan terhadap martabat wanita tadi.
Salim, sebagai yang sudah sering ditulis dalam biografinya, dijodohkan oleh keluarga kepada wanita yang masih dekat hubungan famili melalui ayah dan ibunya . Dara yang bernama Zaitun Nahar binti al-Matsir itu tidak dikenal pemuda Salim yang waktu itu berusia 27 tahun. Salim baru saja pulang dari Saudi Arabia. Respon terhadap kenyataan yang satu ini, boleh jadi dapat dikategorikan awal pembaruan Agus Salim tidak menolak dikawinkan dengan gadis pilihan keluarganya. Tetapi ia tidak mau begitu saja menerima kebiasaan yang berlaku saat itu. Pada dekade awal abad lalu itu, perkawinan di kalangan masyakarakat Minangkabau (baca: umat Islam) senantiasa diibaratkan sebagai “membeli kucing dalam karung”. Tidak tahu sosok dan rupa pasangannya. Semua diterima apa adanya. Logikanya adalah bahwa cinta datang belakangan.
Dalam rangka mengubah keadaan itu, dia memulai dari dirinya. Maka Agus Salim meminta supaya gadis itu dapat diperlihatkan kepadanya. Keinginan itu tentulah relevan dengan konteks pemikiran fikih munakahat dalam Islam yang niscaya menjadi rujukan Agus Salim dalam tatacara peminangan di mana pasangan pria dapat melihat calon penganten wanitanya sebatas yang pantas yaitu wajah dan kedua tangannya. Boleh jadi pula Salim seakan sependapat dengan Qasim Amin dalam memperlakukan calon isteri yaitu harus kenal mengenal terlebih dulu.
Nampaknya alasan fikih lebih utama bagi Salim. Ia mengutip pendapat fikih di kalangan Mazhab Syafii bahwa kesempatan bagi seorang pria untuk memandang wajah bakal istrinya bukan hanya halal hukumnya, melainkan “sunnah”. Walaupun Salim tidak menunjuk rincian pendapat Mazhab Syafii itu, akan tetapi boleh jadi hal itu sebagai repleksi pemahamannya terhadap perintah Rasulullah kepada salah seorang sahabat yang akan meminang wanita Kaum Anshar di Madinah untuk melihat wanita itu terlebih dulu. Pemikiran ini tentu saja berdasarkan kajian intensif Salim yang waktu di Mekah sempat belajar pula kepada pamannya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawy yang lebih dulu datang dan belajar serta bermukim di Tanah Suci ini seperti yang sudah disebutkan terdahulu.
Kebiasaan lain yang diubah Salim adalah memberikan mahar langsung kepada calon pengantin perempuan. Salim sendiri ikut berembuk dalam rapat keluarga untuk menentukan kunjungan-kunjungan sesudah pesta perkawinan. Begitu pula sifat kritisnya terhadap pososi pasangan yang baru menikah supaya tinggal di rumah sendiri bukan di rumah mertua. Salim langsung memberi tahu pihak keluarga bahwa isteri adalah mandiri hidup di dalam satu keluarga dengan pimpinan suami. Dan pihak asal keluarga isteri sudah selesai tanggungjawabnya, dan tidak boleh ikut campur lagi dalam urusan keluarga yang baru itu. Inilah antara lain pembaruan pemkiran budaya keluarga dengan kaitan agama yang dilakukan Salim yang bersuku Koto ketika menikah dengan isterinya Zaitun Nahar al-Matsire dari suku Chaniago itu. Tentu saja gagasan-gagasan Salim tadi sebagian besar banyak yang asing dan aneh bagi kehidupan masyarakat Mingkabau, termasuk di Koto Gadang yang sudah banyak orang-orang terdidiknya tetapi belum berani mengubah seperti apa yang dilakukan Salim.
Pemikiran Salim tentang perempuan ternyata tidak berhenti dalam kaitan dirinya dan keluarganya. Pada masa berikut Salim ikut bergelut dalam soal fikih perempuan ini, tentu dalam nuansa emansipatif dan liberatif. Salim menuangkan pemikirannya di dalam tulisan Perempuan dalam Islam (Hindia Baroe, 17-18 April 1925) serta Cadar dan Harem (Het Licht, Tahun II, 1926).Yang pertama, Salim menolak hujatan beberapa penulis terhadap beberapa wacana RA Kartini yang seolah-olah sudah salah memahami Islam tentang rumah-tangga dan perkawinan dalam Islam. Respon Salim ini adalah dalam rangka klarifikasi terhadap suatu wacana yang berkembang terhadap RA Kartini.
Di dalam Hindia Baroe, 16 April 1925, ada karangan “Ummat Islam” di dalam Bendera Islam mengenai sikap Raden Ajeng Kartini almarhumah terhadap agama Islam. Menurut Salim, karangan itu sudah mendeskreditkan Kartini yang bukan kesalahannya. Untuk menolak tudingan penulis tadi supaya jangan terdorong dengan mudah menuduh Kartini secara tidak proporsional, Salim mengutip al-Qur’an ayat 116 surat al-Nahl:

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.

Salim bukan membela isi pendapat Kartini, tetapi ia mengajak pembaca untuk melihat status dan posisi Kartini. Dengan memakai “kacamata”nya sendiri, Kartini menyalahkan kebiasaan lelaki, terutama kalangan priayi amat ringan mempraktikkan kawin-cerai, poligami (poligini) dan perseliran. Resikonya perempuan di sia-siakan. Menurut Salim pendapat Kartini yang demikian didasarkan kepada pemahaman dan pengamatan sosiologis Kartini terhadap fenomena rumah tangga dan institusi perkawinan di kala itu. Keadaan itu jelas bukan berdasarkan doktrin dan kaedah yang sebenarnya di dalam Islam.
Soal Kartini mencela poligami (poligini) misalnya, oleh Salim dianggap sebagai kekeliruaan Kartini yang masih muda belia lebih banyak terpengaruh oleh sentimen perasaan dari pada pikiran rasional. Karena lingkungan Kartini sebagai anak Bupati dan melihat dunia sekeliling kaum priayi waktu itu yang kelihatan lebih banyak menyia-nyiakan perempuan yang dinikahi dengan mudah. Lalu, Penghulu juru nikah tidak menyelidiki lagi asal muasal pasangan yang akan dikawinkan.
Teristimewa kalau kalangan bangsawan Jawa yang akan menikah. Secara otomatis Penghulu tinggal melaksanakan hajatan itu. Setelah itu, bagaimana nasib perempuan, bukan lagi menjadi persoalan Penghulu . Oleh karena itu, Salim tidak dapat menyalahkan Kartini, kalau Kartini menuliskan semuanya itu di dalam surat-suratnya. Dan yang lebih penting lagi surat-surat itu bukanlah dimaksudkan Kartini untuk konsumsi publik di masa tersebut, tetapi ditujukan kepada sahabat Belandanya Nyonya Abendanon tempat Kartini mencurahkan segala luapan hatinya.
Tentu saja pembelaaan Salim terhadap Kartini bukan merupakan balas jasa terhadap surat Kartini sebelumnya kepada Nyonya Abendanon, isteri Tuan Abendanon pejabat tinggi Belanda bagian pendidikan. Jarak waktu anatara kedua pristiwa itu , surat Kartini 1903 dan artikel yang dibicarakan 1925 tidak signifikan untuk dikaitkan sebagai balas jasa. Di dalam suratnya tahun 1903 tadi , Kartini memuji Salim sebagai pemuda cerdas yang tamat HBS dan ingin sekolah ke Belanda. Kartini dalam suratnya itu bahkan meminta diusahakan bea-siswa untuk Salim dan kalau memungkinkan besiswa untuk dirinya yang batal digunakannya dapat dihibah kepada Salim.
Pemikiran Salim yang kedua yang dikedepankan dalam Cadar dan Harem adalah di sekitar hubungan boleh tidaknya wanita tampil di tengah khalayak ramai dengan atau tanpa pembatas atau tabir serta model pakaian wanita. Salim memaparkan pendapatnya tentang tidak perlunya wanita diisolasi. Dalam kaitan ini Salim sebagai tokoh pendorong berdirinya Perhimpunan Pemuda Islam (Jong Islamieten Bond/JIB) 1925 memberikan pokok-pokok pikiran dalam Kongres perhimpunan ini pada tahun 1927. Hal itu dikedepankannya ketika kebiasaan memasang tabir antara pria dan wanita di dalam pertemuan dan rapat-rapat JIB sudah menjadi kebiasaan. Salim meminta tabir itu disingkirkan.
Menurut Salim, menutup wajah wanita dengan cadar serta kebiasaan mengisolasi wanita dalam suatu tempat yang disebut Harem, tidaklah berdasarkan budaya Islam. Kebiasaan itu hanyalah budaya dan tradisi suku bangsa Arab. Oleh karena itu tidak pantas dicontoh oleh umat Islam yang bukan pendukung tradisi Arab. Apalagi bagi JIB sebagai perhimpunan kaum terpelajar amatlah tidak pantas. Menurut Salim, pengucilan kaum wanita pada rapat-rapat JIB di samping tidak ada dasarnya dalam Islam adalah tidak menguntungkan untuk propaganda JIB itu sendiri.
Hal itu tidak pula wajar dan tidak sejalan dengan kebangkitan rasa kebangsaan suatu aliran yang hendak meniru adat Arab, kata Salim. Apa yang dikemukakan itu merupakan kesimpulan Salim terhadap beberapa nash atau teks firman Allah di dalam al-Qur’an. Menurut Salim pemahaman terhadap Surat Al-Nur ayat 30 tidaklah membawa suatu konsekuensi untuk membuat tabir antara pria dan wanita dalam satu majelis. Ayat ini merupakan bimbingan Allah terhadap kaum pria bagaimana semestinya mereka bertingkah laku terhadap lawan jenisnya.
Katakanlah kepada kaum pria Mukmin: Hendaknya mereka kendalikan pandangan mata dan memelihara rasa malunya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka perbuat.

Melihat teks ayat itu, boleh jadi Salim menekankan bahwa para prialah sebagai subyek yang bertanggungjawab penuh memelihara dan mengendalikan diri supaya wanita jangan menjadi obyek pandangan. Wanita adalah subyek yang dalam batas tertentu adalah bebas, termasuk dalam berpakaian sepanjang yang dibolehkan oleh ketentuan syar’i. Di dalam hal ini Salim menunjuk kepada al-Qur’an yang mengatur pula etika wanita sebagai subyek seperti firman Allah pada ayat berikutnya.

Katakanlah kepada wanita Mukminat: Hendaklah mereka kendalikan mata dan memelihara rasa malunya dan janganlah mereka peragakan perhiasannya (kecantikan tubuhnya), selain dari yang lazim tampak daripadanya. Dan hendaknya mengulurkan kerudung kepala menutup dada, dan jangan mereka menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, kepada ayah sendiri, kepada ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara mereka atau kepada putra-putra saudara pria mereka, atau kepada putra-putra saudara wanita mereka , atau kepada kaum wanitanya, atau kepada budak-budakyang mereka miliki, atau kepada pelayan-pelayan yang tidak menaruh hasrat akan wanita (pria uzur) atau anak-anak yang belum mengerti aurat wanita. Dan janganlah mereka hentakkan (gerakkan) tungkai kaki seakan-akan menonjolkan perhiasan yang tersembunyi. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang beriman, agar dapat kamu berkembang dengan sempurna.

Meskipun kedua wacana yang dikemukakan Salim di atas tadi tidak lagi mencengangkan kaum muslimin dewasa ini, namun untuk persepsi masyarakat kala itu, pemikiran Salim boleh dikatakan spetakuler. Apalagi kalau diingat bahwa JIB, tempat Salim langsung melakukan transmisi intelektualitas Islamnya terhadap kaum elit cendekiawan muslim, lahir karena pemuda Islam tidak mendapat kesempatan belajar Islam di dalam organisasi Jong Java (Pemuda Jawa) organisasi asal sebagian besar mereka sebelumnya.
Pada dekade-dekade awal abad ke-20 lalu, persoalan khilafiah tentang ibadah praktis menjadi marak. Sementara soal perkawinan, soal sosok wanita masih belum dipersoalkan dan dibiarkan begitu saja (taken for granted). Walaupun di kalangan tokoh-tokoh pergerakan nasional sekuler, kedudukan wanita sudah diperbincangkan, tetapi di kalangan tokoh Islam, mereka belum tertarik amat. Maka bila Salim yang dianggap telah terformat sebagai seorang tokoh Muslim yang prominent (amat cemerlang) mengisi wacana tentang wanita, maka persoalan menjadi kian penting.
Di sisi lain, Inyiak Rasul atau Dr. H. Abdul Karim Amarullah (1879-1945), tokoh pembaharu pemikiran Islam utama di Minangkabau, di dalam hal penampilan wanita di depan umum, tidak berkenan dan berpandangan kontradiktif dengan Salim. Maka tatkala di kalangan Muhammadiyah pada tahun 1927 mulai menggerakkan wanita Aisyiah di dalam persyarikatan, ikut rapat-rapat, ikut bepergian jauh menghadiri kongres di Yogyakarta, tampil menyampaikan tabligh dan berpidato di depan umum, dengan serta merta telah dikecam oleh ayah Hamka ini.
Untuk menolak budaya baru menampilkan wanita meskipun untuk ceramah agama di depan umum, Inyiak De Er menulis kitab Cermin Terus. Pada pokoknya isi kitab ini mencela kebiasaan baru itu dengan berbabagai dalil dari al-qur’an dan hadist menurut pemahaman pemikirannya (Hamka, 1982: 193). Pada hal Amarullah adalah pembawa Muhammadiyah ke Minangkabau di tahun 1925. Dengan demikian berarti isi kitab ini merupakan otokritik untuk kalangan Muhammadiyah kala itu.
Sementara adanya pembatasan wanita-pria dengan Tabir dalam satu majelis yang juga untuk kepentingan agama dikecam habis-habisan oleh Salim. Artinya dalam hal ini kedua tokoh pembaru Islam itu dalam hal yang satu ini boleh jadi berbeda secara diametris bahkan kontradiktif. Sayang belum ditemukan informasi tentang kemungkinan terjadinya komunikasi langsung pemikiran antara Salim dan Amarullah.***

Kepustakaan
Engineer, Asghar Ali. Hak-hak Perempuan dalam Islam. Terjemahan Farid Wajdi dan
Cici Farkha Assegaf. Yogayakarta: Yayasan Bentang Budaya. 1994.

Grave, Elizabeth . The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in The
Nineteenth Century. New York : Cornell University. 1981.
Hamka. Ayahku. Jakarta: Uminda. 1982
Karim, Shofwan. “Perspektif Islam tentang Gender” . Makalah disampaikan pada
fasilitasi, advokasi dan sosialisasi Pengarusutamaan Gender (PUG)
tokoh agama, adat dan masyarakat se Sumatera Barat Kantor Gubernur. Rabu,
11 Juni 2003.

———. “Perspektif Islam tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender”.

Makalah. Disampaikan pada Advokasi dan Sosialisasi Kesetaraan
dan Keadilan Gender (KKG) bagi Para Pimpinan Pondok Pesantren se
Sumatera Barat, Sabtu, 14 Juni 2003 di Padang, Kerjasama PW Aisyiah dan
Pimpinan Pusat Aisyiyah di Diklat Depsos, Padang : Aisyiah. 2003

Mernissi, Fatima dan Riffat Hassan. Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-laki dan
Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca Patriakhi. TerjemahanTeam LSPPA.
Yogyakarta: LSPPA-Yayasan Prakarsa, cet. I. 1995.

Muhsin, Aminah Wadud. Wanita di dalam Al-Qurán. Terjemahan Yaziar Radianti.
Bandung: Pustaka, cet. I,. 1994.

Munawar-Rachman, Budhy . Islam Pluralis. Jakarta: Paramadina. 2001.
Panitia . Peringatan 100 Tahun H. Agus Salaim. Jakarta: Sinar Harapan. 1984.
Rahayu, Sri. Editor., Menimbang Perspektif Gender: Hakikat Konseptual dan
Implementasinya. Jakarta: Yayasan Ibu Harapan. 1996.

Salim , Agus. Filsafat tentang Takdir dan Tawakkal. Jakarta: Bulan Bintang. 1976
S, Eliana. “Islam dan Sekilas Potret Perempuan Minangkabau dalam Wacana
Gender”. Padang : Makalah . 2001.

[1] Yang disebut konsepsi gender dewasa ini adalah keberadaan atau eksistensi perempuan yang setara dengan laki-laki dan peran perempuan di dalam kehidupam serta pola hubungan antara perempuan dan laki-laki (Lihat juga, Sri Rahayu, 1996:5-6 dalam Shofwan Karim, 2003a: 1) Maka yang disebut sosio-teologi gender di sini adalah kajian gender berlatar belakang kajian sosial yang terkait dengan nilai-nilai teologis dan syariat sebagai yang dipahami melalui pemikiran Agus Salim.
[2] Pemikiran teologis-akidah ini menjadi wacana lisan dan tulisan Salim dalam beberapa pertemuan nasional dan internasional dan kemudian dibukukan di dalam : Keterangan Filsafat tentang Tauhid, Taqdir dan Tawakkal yang mengalami cetak ulang sembilan kali dari 1948 sampai 1965. Kajian tentang pemikiran teologis-akidah ini sedang penulis persiapkan.
[3] Yang dimaksud dengan tafsir pluralisme di sini adalah pemahaman tentang kehidupan masyarakat majemuk secara etnis, sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama serta golongan-golongan namun memiliki ikatan batin, toleran dan lapang dada (tasamuh). Di dalam ungkapan lain menurut Munawar-Rachman pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinnekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (Munawar-Rachman, 2001 :31).
[4] Meskipun belum ada penelitian, namun berdasarkan pengamatan penulis, dewasa ini kebiasaan itu tidak begitu populer lagi. Bahkan generasi muda belakangan ini kelihatannya lebih senang kawin dengan pihak yang tidak bertalian keturunan dekat baik dari pihak ayah apa lagi dari pihak ibu. Hal itu terjadi karena mereka lebih mengutamakan pilihan emosi cinta dan alasan rasional lainnya, tanpa memandang latar belakang sosial dan sebagainya.
[5] Wacana gender dalam kajian kontemporer semakin aktual. Kini pemahaman itu coba ditafsir ulang oleh para feminis Muslim kontemporer seperti Asghar Ali Engineer, Laila Ahmed dan Amina Wadud Muhsin (Shofwan Karim, 2003 : 4) . Tentu saja dengan membongkar penafsiran lama yang mereka nilai bias gender. Mereka berpendapat bahwa QS, 4: 34 itu harus difahami secara sosio-teologis karena al-Qurán mencakup ajaran yang kontekstual dan normatif. Menurut Asghar keungulan laki-laki bukan jenis kelamin, tetapi fungsional sebagai pencari nafkah dan membelanjakan hartanya untuk perempuan. Fungsi sosial laki-laki dengan demikian seimbang dengan fungsi sosial perempuan sebagai pelaksana tugas-tugas domestik dalam rumah tangga. Mengapa al-Qurán mengatakan keunggulan laki-laki ada pada pemberian nafkah?. Hal itu kata Asghar karena pertama, kesadaran sosial kala itu sangat rendah dan pekerjaan domestik dianggap kewajiban perempuan. Kedua, laki-laki sendiri menganggap dirinya lebih unggul karena kekuasaan dan kemampuan mereka mencari nafkah dan membelanjakannya untuk perempuan (Asghar, 1994:62)

Islam di Minangkabau

Islam di Minangkabau dan Beberapa Isyu Aktual [1]

Oleh Shofwan Karim[2]

I. Introduksi
Wilayah kultural Minangkabau yang meliputi wilayah Administrasi Pemerintahan Sumatra Barat adalah Provinsi di sebelah Barat bagian tengah Sumatera. Provinsi ini berbatasan dengan sebelah Selatan dengan Provinsi Bengkulu, sebelah Barat dengan lautan Hindia, sebelah Utara dengan Provinsi Sumatra Utara dan sebelah Timur dengan Provinsi Riau dan Jambi. Penduduknya sekarang 4,5 juta orang.
Mata pencaharian pokok atau ekonomi berdasarkan perdagangan, small business, usaha kecil dan menengah, pertanian, perkebunan, dan pariwisata. Budaya Minangkabau yang berintikan Adat Minangkabau menganut sistem kekerabatan menurut garis keturunan ibu atau materlinial line. Kehidupan sosial dan keluarga diatur di dalam tatanan kesukuan yang berdasarkan dua kelarasan utama : Bodi Caniago dan Koto Piliang yang kemudian masing-masing kelarasan itu berkembang ke dalam berbagai suku.
Setelah Islam masuk beberapa abad lalu, agama yang dipegang teguh masyarakat Minangkabau adalah Islam di samping memegang teguh adat. Dengan begitu Islam dan adat menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Maka lahirlah adagium Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Perpaduan keduanya melahirkan harmoni sosial di bawah sistem kepemimpinan tigo tunggu sajarangan: Ninik–Mamak, Alim-Ulama dan Cerdik-Pandai serta tigo tali sapilin: Adat, Syara’ dan Undang.
Di dalam menjalankan tatanan kehidupan sosial budaya, politik, pemerintahan, ekonomi dan keagamaan, masyarakat Minangkabau senantiasa mendasarkan keputusan dan membuat kebijakan melalui musyawarah dan mufakat. Bulek aie ka pambuluah, bulek kato dek mufakaik. Kok bulek dapek digiliangkan kok picak dapek dilayangkan. Intinya adalah setiap gerak kehidupan bersama mestilah dimusyawarahkan untuk diperiakan dan dipertidakkan atau dipaiokan dan dipatidokan.

II. Refleksi
Minangkabau, sebagai bagian tak terpisahkan dengan Tanah Air Indonesia, mengalami pasang naik dan surut kehidupan berbangsa dan bernegara sejak zaman klasik, penjajahan Belanda, era pergerakan nasional, penjajahan Jepang, alam kemerdekaan awal, masa Orde Lama, masa Orde baru dan sekarang Orde Reformasi (1978-2004). Yang paling khas di dalam kehidupan pemerintahan, kenegaraan dan kebangsaan itu bagi Minangkabau adalah peristiwa PRRI (1957-1960). Peristiwa ini oleh sebagian besar kalangan masyarakat Minangkabau baik yang di kampung maupun di rantau membekas sebagai trauma. Trauma itu membuat masyarakat Minangkabau tertekan secara psikologis. Keadaan itu berjalan di sisa masa akhir Orde Lama. Pada masas ini kepemimpinan dan kebijakan publik dinomisasi oleh kaum komunis dan nasionalis serta kaum agama tradisionalis yang disebut Nasakom yang pada intinya semuanya terpusat kepada Soekarno.
Pasca rezim Soekarno, setelah pembunuhan Jenderal tahun 1965, lahirlah Orde Baru atau pemerintahan Soharto. Pada masa awal era ini masyarakat Minangkabau mulai merehabilitir diri. Pada waktu ini Sumatara Barat dipimpin seorang Gubernur Sipil Harun Zain yang memerintah dengan motto : Mambangkik Batang Tarandam. Pada dasarnya era ini situasi Minangkabau yang porak-poranda dilanda perang saudara dengan pemerintah pusat sebelumnya, hendak diperbaiki. Minangkabau mengembalikan harga diri dan martabat. [3]
Era klasik dan masa pergerakan nasional yang telah diisi oleh perjuangan tokoh-tokoh Islam dan nasionalis Minangkbau ingin dijadikan motivasi ulang untuk kejayaan. Tuanku Imam Bonjol, Siti Manggopoh, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syekh Jalaludin al-Falaki al-Azhari, Dr. Syekh Abdul Karim Amarullah (Inyiek Rasul) , Dr. Syekh Abdullah Ahmad, Syekh Moh. Jamil Jambek atau Inyiak Jambek, Inyiek Musa Parabek, Inyiek Sulaiman Al-Rasuli, Rahmah El-Yunusiah, Zainuddin Labai el-Yunisy, Agus Salim, Rasuna Said, Duski Samad, Hatta, Natsir, HAMKA, Sutan Syahrir, Moh. Yamin dan deratan tokoh besar bangsa yang sebelumnya telah mengharumkan nama Minangkabau di pelataran nasional, kembali ditoleh sebagai motivasi kemajuan.
III. Peranan Alumni Timur Tengah
Di akhir 60-an dan awal 70-an ada dua alumnus Univeristas Al-Azhar, Kairo dan Timur Tengah yang amat sentral peranannya di dalam kehidupan keagamaan dan sosial pendidikan di Minangkabau. Meraka adalah Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, H. Baharuddin Syarif, MA. Dan mantan Dubes RI di Irak. HMD Dt. Palimo Kayo.
Dua yang pertama berjasa mengembangkan pendidikan tinggi Islam IAIN Imam Bonjol yang kedua berjasa membangun harga diri keagaamaan Minangkabau sebagai Ketua MUI pertama di Sumatera Barat dan benteng umat Islam dalam menghadapi propaganda Kristen di Minangkabau.
Palimo Kayo bersama Moh. Natsir dari DDII Pusat amat berjasa di dalam mengembangkan dakwah Islam terutama menghadapi misi Kristen itu di Sumbar dengan mendirikan Rumah Sakit Islam Ibnu Sina dan Sekolah Tinggi Akademi Agama dan Bahasa Arab (AKABAH) di Bukittinggi pada 1970-an awal. Ibnu Sina kini ada pada beberapa kota dan daerah di Sumbar[4] sedangkan AKABAH akhir-akhir ini tidak ada yang mengurus.
Dewasa ini alumni Timur Tengah yang berasal dari beberapa universitas di Mesir, Marokko, Saudi Arabia, Libya dan Syiria ada sekita 30-an orang. Yang paling dominan adalah dari Kairo baik Universitas Azhar maupun yang lain. Secara fungsional banyak yang mengabdi di bidang pendidikan dan dakwah. Rektor IAIN Imam Bonjol Prof. Dr. Maidir Harun dan Ketua MUI Sumbar Prof. Dr. Nasrun Harun agaknya di antara mereka yang berada pada posisi puncak institusi formal dan sosial dewasa ini. Selain mereka banyak yang mengajar di beberapa perguruan tinggi, pesantren, madrasah dan aktivis muballig di Sumbar. Sebagian di antara mereka ada yang menjadi pegawai negeri dan sebagian lain tetap swasta. Beberapa di antara mereka ada yang menamatkan sampai S3 di Timur Tengah, tetapi kebanyakan hanya sampai S1 (Lc) dan S2 (MA). Mereka yang tersebut terakhir ini banyak pula yang meneruskan kuliah strata berikutnya di Indonesia sampai jenjang paling tinggi. Secara individual mereka sangat berperanan di dalam kehidupan sisoal kemasyarakatan, pendidikan, dakwah dan keumatan secara umum. Menurut Dr. Eka Putra Warman, MA, Ketua Yayasan HIMAKA dalam waktu dekat akan diadakan konsolidasi para alumni ini.

IV. Organisasi Islam dan Pendidikan

Bersama masuknya pengaruh kemajuan pada awal abad ke-20 ke Indonesia, Minangkabau telah menjadi pintu gerbang utama . Menurut Korver (1985) dan Noer (1980) paling tidak ada 3 jalur utama masuknya pembaharuan pemikiran Islam ke Indonesia dari Timur Tengah. Ketiganya adalah melalui masyarakat Indonesia keturunan Arab; tokoh-tokoh modernis Islam Minangkabau; dan organisasi Islam modern dan tradisional seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama dan Tarbiyah Islamiyah.
Khusus untuk Minangkabau organisasi Islam yang dominan di tengah masyarakat di perkotaan dan pedesaan adalah Muhammadiyah[5], Tarbiyah Islamiyah[6] dan Jama’ah Tariqat, baik Syatariyah maupun Naqsyabandiyah. Dua yang pertama di samping merupakan jam’iah, persyarikatan sosial kemasyarakatan juga mempunyai amal usaha di berbagai bidang.
Muhamamdiyah mempunyai 291 instalasi pendidikan dari Taman Kanak-kanak, SD, Ibtidaiyah, Pesantren, SMA, SMP, Tsanawiyah , Aliyah dan Universitas Muhammadiyah Sumbar dengan 6 Fakultas dengan program D3, S1 dan Pascasarjana serta Akademi perawat.[7] Pusat pendidikan Islam Muhammadiyah yang akhir tahun 70-an disebut Pesantren terbesar adalah di Kauman Padang Panjang, Al-Kautsar 50 Kota, Muallimin di Sawah Dangka Agam dan Mualimin di Lintau, Batu sangkar serta di Ujung Gading Pasaman Barat.
Sementara Tarbiyah Islamiyah, mempunyai puluhan madrasah dengan yang terkemuka antara lain di Ampek Angkek Canduang serta Batu Hampar Payukumbuh. Selanjutnya, madrasah-madarasah independen. Artinya tidak terkait langsung secara struktural dengan organisasi keagamaan seperti Muhmmadiyah dan Tarbiyah.
Antara lain seperti yang telah kita ketahui adalah Diniyah Putri dan Thawalib, Nurul Ikhlas, Serambi Mekkah di Padang Panjang. Sumatra Thawalib di Parabek dan Pesanten modern Terpadu Prof. Dr. HAMKA di Duku Pariaman.
Pesantren indpenden lain yang ada di berbagai nagari, diperkirakan ada sekitar 500 buah. Pesantren-pesantren ini tidak terlalu ketat atau dengan kata lain kurang terurus.
Sementara itu, Perguruan Tinggi di Sumbar dewasa ini ada sekitar 50 buah, baik negeri maupun swasta. Di antara yang negeri adalah Unand, UNP, IAIN, STAIN Mahmud Yunus di Batu Sangkar dan M. Jamil Jambek di Bukittingi. Yang swasta yang menonjol Univ. Bung Hatta, Eka Sakti dan Taman Siswa, di samping Universitas Muhammadiyah Sumbar yang telah di singgung terdahulu..
Pendidikan agama di bawah Pemerintah melalui Departemen agama beberapa di antaranya cukup menonjol dan baik. Madrasah Aliah Negeri di Koto Baru Padang Panjang misalnya, banyak lulusannya yang melanjutkan pelajarannya di Mesir dan Timur Tengah umumnya.
Akan halnya Tariqat Syatariyah dan Nasqsyabandiyah, merupakan kumpulan jam’ah yang ada pada beberapa nagari di Pariaman, Pasaman, Agam, 50 Kota, Pesisir Selatan, Sawahlunto Sijunjung dan sebagian Tanah Datar. Koto Tuo, sebuah nagari di Agam di pinggiran jalan arah ke Maninjau dari Bukittinggi ada surau utamanya yang merupakan basis Syataruyah untuk Sumbar, Riau dan Jambi.
Nagari Ulakan di Pariaman merupakan tempat ziarah utama kaum Syatariyah sebagai tempat makam Syekh Burhanuddin yang dianggap pembawa awal tariqat ini ke umbar dari Aceh pada awal abad ke-17. Jama’ah tariqat ini tidak menggarap lembaga pendidikan formal seperti Muhammadiyah dan Tarbiyah, tetapi memfokuskan diri kepada pembinaan jama’ah dan kelompok zikir, pengajian dan wirid-wirid serta bimbingan kerohanian.
Sebagian di antara mereka yang tadinya melakukan zikir dan kegiatan jama’ah secara tertutup atau semi tertutup khusus bagi jama’ah mereka sendiri, belakangan ada fenomena baru. Sebagian di antara mereka ada yang sudah menjadikan halaqah zikir itu sebagai kegiatan publik.
Ini tampaknya dapat dikatakan sebagai lanjutan perkembangan dari pola di Jawa seperti kelompok zikir Ustazd Ilham dan lain-lain. Seorang anak muda, keluaran Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung, Boy Lestari Dt Palindih, akhir-akhir ini melalui Yayasan Zikir al-Ikhlas, giat melakukan bimbingan zikir massal. Ia dibantu oleh dua orang anak muda Dr. Salmadanis, M.Ag dan Dr. Duski Smad, M.Ag. Ketiga mereka mengaku sebagai aktivis angkatan muda Tarbiyah Islamiyah.

IV. Isyu Aktual

Perda No. 11 Th 2001 tentang Anti Ma’shiat. Intinya adalah pelarangan pelacuran , perjudian dan minuman keras di wilayah daerah Provinsi Sumatra Barat.

Perda No. 9 Th. 2001 tentang Pemerintahan Nagari. Intinya adalah bahwa tingkat pemerintahan terendah di Sumbar yang pada tahun 1979 dari Desa menjadi kembali ke Nagari. Dasar kehidupan nagari adalah Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Di setiap nagari di samping ada pemerintahan nagari sebagai eksekutif ada lembaga Adat dan Syara’ Nagari, ada pula Badan Musyawarah Anak Nagari atau Badan Perwakilan Anak Nagari.

Peraturan Daerah di beberapa Kota dan Kabupaten yang mendukung pelaksanaan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah dilahirkan pula. Di amtaranya Perda tentang kewajiban anak-anak sekolah dan pegawai daerah setempat berpakaian busana muslimah. Begitu soal kewajiban baca tulisa aksara al-Qur’an yang wajib dikuasai oleh murid-murid yang akan tamat SD dan anak muda yang akan melangkah ke jenjang perkawinan atau mendirikan rumah tangga.

Pemurtadan atau Kristenisasi. Pada tahun 1970-an upaya pemurtadan melalui usaha sosial dan kesehtan di antaranya mendirikan rumah sakit Baptis Imanuel di Bukittingi. Hal itu dapat ditolak oleh masyarakat Minangkabau melalui perjuangan sengit dipimpin HMD Dt. Palimo Kayo dan Dr. Moh. Natsir. M. Natsir dan Palimo Kayo mendirikan RS Ibu Sina. RS Imanuel diambil alih oleh Pemerintah Daerah dengan mengubah nama dan status, sekarang menjadi RS Pusat Pengendalian Stroke.

Paling akhir isyu pemurtadan ini adalah melalui rayuan kepada generasi muda terutama wanita muda. Ada beberapa pasangan yang kawin antar agama. Pada mulanya yang laki-laki masuk Islam, kemudian kembali murtad. Lalu ia memurtadkan isterinya. Modus lain menculik seperti kasus Wawah yang heboh 3 tahun lalu. Belakangan ada kasus hipnotis dan memasukkan jin syetan sehingga beberapa mahasiswa di UNAND dan IAIN ditenggarai dirasuki oleh Jin dan syetan tersebut sampai kesurupan dengan menyebut Tuhan Yesus dan sebagainya. Pada 9 Juni lalu dihebohkan lagi oleh penemuan al-Qur’an yang kulit penjilidannya berlapis tulisan injil. Kasus itu sekarang sedang di dalam langkah-langkah penyelidikan dan upaya hukum.

Pada dasarnya modus operandi pemurtadan itu dalam beberapa dekade terkahir ini dapat dikategorikan kepada cara-cara sebagai berikut:
(1) Rayuan terhadap gadis Minang oleh laki-laki Salibi, dikawini dan dimurtadkan.
(2) Assimilasi melalui program transmigrasi.
(3) Pendirian Rumah Ibadah di komunitas muslim tanpa izin dan tanpa sepengatahuan masyrakat setempat. Lalu untuk kelihatan ramai pelaksanaan ibadah di tempat itu, mereka mengundang jemaat Kristen dari kota lain di Sumbar dan Provinsi Tetangga.
(4) Menjual daging babi yang sudah digoreng atau bentuk lain, daging sate babi. Kasus ini pernah mencuat di salah satu tempat. Akibatnya fatal sehingga komunitas Kristen di salah satu tempat di situ diusir dan salah satu bangunan di kompleknya mengalami kebakaran.
(5) Menyebarkan tulisan dalam Bahasa Minang dengan isi ajaran Kristiani.
(6) Penyebaran Injil berbahasa Minang.
(7) Operasi simpatik, seperti kegiatan LSM yang sangat gandrung mendiskusikan persoalan toleransi dan pluralitas yang pada pada dasarnya memberi peluang kepada penganut agama lain berkomunikasi secara intensif dengan generasi muda Islam.
(8) Memberi perhatian dan mengorganisasikan orang miskin dan anak jalanan serta pencandu narkotika untuk direhabilitasi, kemudian dimurtad kan. Hal yang terakhir ini masih bersifat rahasia dan pelaksanaanya dibawa keluar Sumbar.

Sikap dan tindakan yang diambil Ummat Islam di Sumbar terhadap isyu pemurtadan:
(1) Secara spontan beberapa aktivis Islam telah melakukan konsolidasi yang amat intensif untuk menghadapi masalah-masalah pemurtadan. Sejak tahun 1970-an peranan itu telah dilakukan oleh para ulama dan ormas Islam. Pada waktu belakanagn ini ada beberapa lembaga yang hadir. Misalnya Paga Nagari, Masyarakat Peduli Minangkabau; FAKTA (Forum Anti Kristenisasi dan Permurtadan) . Semua organisasi merupakan himpunan para aktivis dari perorangan dan ormas Islam yang sudah ada.
(2) Pemerintah Provinsi Sumbar telah melakukan pertemuan-pertemuan terhadap ormas Islam dan topkoh peorangan masyarakat membahas masalah tersebut. Tindak lanjutnya antara lain adalah mencari data dan fakta yang dapat nyta dalam kasus ini. Di samping perlu terus dilakukan komunikasi dan konsolidasi dan tokoh-tokoh masyarakat agama lain yang ditenggarai sebagai asal dari orang-orang yang menjadi sumber masalah.
(3) Meningakatan peranan lemabaga pendiudikan, ormas Islam dan rumah tangga serta tigo tungku sajarangan dalam membina ummat dankeluarga untuk membentengi diri dari terjemurumusnya warga kepada pemurtadan.
(4) Departemen Agama yang sudah memiliki kelembagaan yang disebut Forum Konsultasi Antar Umat Beragama yang melakukan kegiatan konsultasi sekali dalam setahun lebih ditingkatkan peranannya untuk dapat melakukan pembinaan yang positif dan tidak intervensi atas ummat lain .
(5) Ada satu atau dua LSM yang melakukan kegiatan dialog dan pertemuan-pertemuan antar pemeluk agama untuk membinan saling pengertian.
(6) Apabila ada data dan fakta yang konkret yang dapat berindikasi hukum dan melanggar peraturan dan perundang-undangan, segera diproses secaa hukum dan peradilan.
(7) Pembinaan ekonomi dan pengentasan kemiskinan, serta pembinaan kehidupan sosial keagamaan meruapakan salah satu kunci yang amat menentukan di dalam mengatasi isyu Kritenisasi dan Permutadan di wilayah ini.

V. Penutup
Dinamika ummat Islam di Minangkabau senantiasa terus menerus berjalan secara fluktuatif. Peranan tokoh masyarakat, ulama, pemerintah dan ormas Islam senantiasa harus diintegrasikan di dalam menghadapi persoalan sosial keagaman, pendidikan, peningkatan kualitas SDM , ekonomi dan sosial budaya di Minangkabau. Angkatan muda Minangbau menjadi ujung tombak yang harus terus menerus diasah di dalam menghadapi tantangan untuk kebangkitan ummat. Mereka yang ada di kampung dan di rantau, lebih-lebih yang sedang menuntut ilmu di berbagai belahan dunia diharapkan mengisi kemampuan kecerdasan intelektual, sosial, emosional dan spiritualnya untuk kembali ke Tanah Air di dalam membangun ummat dan bangsa ke arah yang lebih baik di masa kini dan akan datang.

Padang, 20 July 2004
[1] Wacana dipersiapkan untuk Silaturrahim keluarga Kesepakatan Mahasiswa Minangkabau (KMM) Republik Arab Mesir, Kairo, Juli 2004 .
[2] Drs. H. Shofwan Karim Elha, MA adalah Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumbar (2000-2005) dan Dosen IAIN Imam Bonjol Padang,, sedang menyelesaikan Program S3 Pascasarjana UIN Jakarta serta mantan Anggota DPRD Provinsi Sumbar (1992-1999).
[3] Berturut-turut Gubernur Sumbar setelah itu adalah Ir. H. Azwar Anas Dt. Rajo Sulaiman, Ltejen. Purnawirwan (1977-1987). Drs. H. Hasan Basri Durin Dt. Rky Mulie Nan Kuniang (1997-1997). H. Mukhlis Ibrahim, Brigjen Purnawirawan ( 1997-1999). Pejabat Gubernur H. Dunija, Brigjen Purnawirwan (1999-2000). Kini adalah H. Zaibal Bakar , SH (2000-2005).
[4] Bukittinggi, Padang, Simpang Ampek Pasaman Barat, Payakumbuh dan Padang Panjang.
[5] Muhammadiyah yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan dan kawan-kawan di Yogyakarta tahun 1912 masuk ke Minangkabau dibawa oleh Dr. Abdul Karim Amarullah pada th. 1925. Organisasi ini sejakan dengan organisasi yang ide dasarnya ada kemiripan dengan Sendi Aman Tiang Selamat di Maninjau. Setelah Muhammadiyah masuk, Sendi Aman seakn melebur ke persyarikatan ini.
[6] Tarbiyah Islamiyah lahir pada tahun 1928 yang diprakarsai oleh antara lain Inyiek Canduang Syekh Sulaiman Al-Rasuli.
[7] Selanjutnya lihat Profil Muhammadiyah Sumbar terlampir.

Islamic Sharia

Kata Pengantar Editor

Islamic Sharia
Liberal Muslim Perspective

Title: Syariat Islam, Pandangan Muslim Liberal (Islamic Sharia, Liberal Muslim Perspective) Author: Al Asymawi, Saiful Mujani, Azyumardi Azra, Taufik Adnan Amal, Ulil Abshar-Abdalla, et all. Editor: Burhanuddin Publisher: Jaringan Islam Liberal and the Asia Foundation, June 2003 Price: Rp. 22.000,-
The formulation of historical Islamic law called sharia (An-Na’im, 1994) is complicated regarding its relation with Islam as a belief. Whenever Islamic sharia is discussed within the historical and profane locus and context, Islamic sharia cannot expect any privilege due to consideration of its sacred function and source.
Most of Islamic sharia activists are not ready for rational public discussion. Statements like “sharia is final” or “sharia is superior to secular constitution” for instance, painted the annual session of People’s Consultative Council (MPR). The religious aspiration of some groups to give an Islamic vision to a constitution has led to the construction of a constitutional blue print in Muslim countries.
Lately, a new trend in many Muslim countries has been to implement Islamic sharia under the guise of freedom and democracy. The aspiration of Islamic sharia enforcement is equivalent to a democratic wave in Muslim countries. Some of them talk about democratic idioms and maximize the democratic institutions well as the ways to achieve their goal.
The Justice Party (PKS) in Indonesia, Islamic Salvation Front (FIS) in Algeria who won the first round election at 1999 which was afterward annulled by the military regime, is an example of Islamic parties fighting for Islamic sharia enforcement in governance. In several Muslim countries like Pakistan, Jordan, Egypt, Morocco, Iran, and Kuwait, the Islamist groups compete in the national political arena through the electoral procedure.
Nevertheless, most Islamic governments are established through a non-democratic procedure. For instance Arab Saudi, has consistently enforced Islamic sharia within the context of authoritarianism since Muhammad al-Saud and Muhammad bin Abd al-Wahhab agreed on a political contract delivering that oil rich kingdom to those dynasties.
The Taliban government in Afghanistan before it was toppled by the US was a good example of how authoritarianism becomes the toll road for the excessive enforcement of Islamic sharia. Likewise in Pakistan at 1980s when “Islamization” was proposed by the military regime under Zia ul-Haq led the Islamist –who never gained the people’s sympathy in the election such as Jamaat-i-Islami established by Abu A’la al-Mawdudi— to collaborate with military power.
This book wishes to provide several facts about Islamic countries’ experience in their dialectic with Islamic sharia and contemporary issues about democracy, human rights, civil society etc. The most asked question is this:” Why do the advocates of Islamic sharia never take any lessons from those Muslim countries who failed to enforce Islamic sharia?
Otherwise, they may deliberately accept the fact in those countries -where the economic growth is low, with a messy indicator of education, the short life span, and the lack of gender equality- as long as Islamic sharia enforced.
Despite of guaranteeing the preservation of political rights and civil liberties, the advocates of Islamic sharia did not seriously reform –as Saiful Mujani called it- the “index of public benefit”. Since the regime of Islamic sharia allows authoritarianism, hence it is difficult, or even impossible, to expect the birth of a healthy public benefit index.
This book is started by an “intellectual provocation” by Egyptian jurist, Muhammad Sa’id al-Asymawi. His preface under the title “Way toward God” is based on the translation of a sub-topic of his masterpiece, Al-Islam al-Siyasi (1992).
The first part contained of five lengthy articles, “Islamic Sharia, Constitutionalism, and Democracy,” “State and Sharia in the Legal Political Perspective of Indonesia, “Islamic Sharia in Aceh,” “Symbolization, Politization and Control upon Woman: Case Study in Aceh,” and “Save Indonesia with Sharia”. The first article by Saiful Mujani is to capture comparative illustration on countries enforcing Islamic sharia as compared to the basic of raison d’être behind the establishment of a country, that is in achieving the most benefit for its people.
The second article of Arskal Salim and Azyumardi Azra discusses about the relation between the state (Indonesia) and sharia from its legal-formal and historical perspective. Taufik Adnan Amal and Samsu Rizal Panggabean emphasize the case of Islamic sharia enforcement in Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) since Constitution No. 44/1999 issued. Both writers analyze the historical, sociological, and juridical aspect of Islamic sharia enforcement in NAD, while the aspect of gender equality is covered by Lili Zakiyah Munir. Ir. M. Ismail Yusanto’s article presents the perspective of a group who has been fighting for sharia enforcement in Indonesia.
The second portion of this book contains debates from the limited workshop held by Liberal Islamic Network (JIL) on 10th-11th January 2003 in Puncak, West Java. The topic of workshop was: Shari’a: Comparative Perspective attended by Prof. Dr. Abdullahi Ahmed An-Na’im and Liberal Islamic Network’s contributors. The workshop was divided into three sessions; First, Shari’a: Comparative Country Case Studies; second, Shari’a: The Indonesia Case; third, Toward Reformation of Islamic Law. The first session was presented by Prof. Dr. Abdullahi Ahmed An-Na’im and Prof. Dr. Azyumardi Azra, while Ir. M. Ismail Yusanto, Samsu Rizal Panggabean and Lily Z. Munir spoke in the second session. The third session was presented by Ulil Abshar-Abdalla and directed by Lies Marcoes-Natsir and Syafiq Hasyim..
The issue of Islamic sharia incites an attractive debate, just like a mystery which never been solved. In the context of our nation building, the dispute about Islamic sharia is as old as this republic. However, people who are involved in the debate do not depend on big narratives. There is no more binary opposition between Islamic circles vis-à-vis nationalists whether to accept or refuse Islamic sharia. It is interesting that the advocates as well as the opponent of Islamic sharia enforcement are from the Islamic “womb”, born and grown up in the Islamic tradition, and both use theological justification from the Islamic classical literatures to validate their arguments.
Therefore, people’s perception and opinion about Islamic sharia is not monolithic, especially when Islamic sharia is related to the concepts of politics, democracy and governance. The perception of Islamic sharia depends on space and time where political, sociological, economical, and anthropological factors play their roles to form various appreciations and perceptions. In Constitutional Sessions after the election 1955, Masyumi and NU were the main advocates of Islamic foundation of the state. Currently, NU and Muhammadiyah are “the first block” to be passed by new Islamic movements promoting Islamic sharia as the solution.
The multidimensional crisis in Indonesia provides some desperation in searching for the solution. Therefore, some technical issues requiring rational solution are getting symbolic responses such as the hypothesis that Islamic sharia enforcement is a sort of panacea that solves every national crisis. It is perceived as an elixir, a working formula to cure all illness. In the meantime, rational solutions expected from “secular” person or institutions are unavailable, moreover, they are assumed as the part or source of the problem to be solved.
Finally yet importantly, the public discussion about Islamic sharia in Indonesia involving the “battle” between Islamic “offspring” proves the truth of the axiom “colorful Islam”. Islamic sharia is an open text corpus to be interpreted by anyone. Nobody may claim to hold the authority on Islam since nobody has the right to claim that he is the one who has “patent rights” in the name of Islam.
This entry was posted on Saturday, January 5th, 2008 at 1:49 am and is filed under Buku. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

%d blogger menyukai ini: