Profesor Universitas Brunei Apresiasi Dua Buku Shofwan Karim
Oktober 23, 2020
Shofwan Karim
Terindah dalam Hidup (1): Abak dan Emak
Abak dan Emak tecinta. Pada Wisuda UIN Jakarta, Pascasarjana (S.3- DR) Tahun 2008, Abak dan Emak sudah almarhum (2003 dan 1995). Akan tetapi sebelumnya, wisuda Sarajana S2 untuk gelar akademik M.A., tahun 1992 pada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ada kenangan terindah. Ini kali kedua Emak dan Abak oleh saya dan Imnati, diminta dengan penuh cinta ke Jakarta.
Kedua pendidik kami yang agung dan amat dicintai ini untuk pertama kali ke Jakarta tahun 1990. Ini terjadi setahun setelah (1989) saya mengkuti kuliah Pascasarjana di Kampus Ciputat. Waktu itu, ikut adik kami bungsu, Shoufis boyong bersama semua anak-anak. Kami bawa menjelajahi Jakarta.

Mulai dari Tanah Abang, Dufan Jaya Ancol, TMII, Monumen Lubang Buaya, Masjid Negara Istiqlal, Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru yang terkenal dengan dulu Buya Hamka sebagai Imam Besarnya. Dan beberapa tempat di Jakarta serta ke Pondok Pesantren Darun Najah Cipining, tempat Iqbal menjadi santri untuk Tsnawiyah dan Aliyah.
Shoufis lahir Januari 1976. Iqbal lahir 18 Oktober 1978. Shofwim, 29 Feb 1980 dan Putri Bulqish (Uqish) 11 Desember 1983. Shoufis lahir 7 tahun setelah kakaknya Yeniwarti 1969, Suharti 1966, Yarhani 1964 dan Maizar 1962. Di atas mereka Mizian, Mukhlis, Anshari dan Asy’ari antara saya 1952 dan Maizar tadi. Ke-4 mereka yang terakhir tadi wafat waktu kanak-kanak, kecuali Mizian yang kelas 4 SD.
Semua kami bersaudara 10 orang dengan saya sebagai yang tertua. Mengapa 4 adik di dbawah saya semua wafat? Itu kehendak ajal ditentukan Allah swt. Akan tetapi di tahun 1950-an dan awal 60-an ada supertisi atau takhayul. Kata orang, saya mempunyai “sagal” di kening. Tanda yang tidak kasat mata. Karena itu orang yang terlalu banyak melihat wajah saya akan mendapat musibah. Artinya, adik-adik saya yang 4 itu kalah oleh sesuatu di kening saya.
Abak tidak percaya dengan takhayul itu. Tetapi saya dengar ada juga dipatuhinya bebereapa nasihat dukun di kampung itu. Beliau berusaha mengobati “sagal” atau mengangkatnya. Hal itu saya tidak paham benar. Akan tetapi cerita dari Nenek Jamilah, ibu dari Emak Rahana, begitu saya dengar. Lebih dari itu ada lagi takhayul lain. Kata orang, wajah saya dan perawakan mirip dengan Abak. Maka kalau tidak dilakukan satu upaya, salah seorang akan mendahului ajalnya. Katanya, saya dapat cerita ayah saya harus menggendong saya memanjat batang Kelapa .
Dan konon, itu dilakukannya. Saya tanya belakangan setelah Abak berguru dengan Pak Muchtar Hamidi, seorang ustadz yang datang dari Lintau menjadi guru di Madrasah kami Al-Hidayatul Ilsmiyah, tahun 1960-an awal itu. Abak tidak menjawab, hanya tersenyum penuh arti.
Guru Muchtar berpaham keagamaan seperti Muhammadiyah. Tetapi beliau tidak sekalipun menyebut dirinya Muhammadiyah. Mungkin khawatir muncul hal yang kurang sedap. Oleh orang lain di kampung, guru ini disebut kaum “mudo” (muda). Semua yang berbau takhayul dan syirik serta bid’ah dihapusnya. Dengan dalil ayat, hadits dan logika. Bukan saja untuk dirinya, tetapi Abak menjadi ujung tombaknya.
(Bersambung)
Terindah dalam Hidup (2) Abak yang Auto Didak

Terindah dalam Hidup (2): Abak yang Auto Didak
Shofwan Karim
Abak yang auto didak. Beliau menjadi da’i dan muballigh di seantero bilangan dusun di Marga Jujuhan waktu itu. Sejak dari Tanjung Belit sampai ke Pulau Batu. Sejak itulah di kaAbakkumpung kami ada 2 macam shalat tarawih. Cara Muhammadiyah (kaum mudo) yang 11 rakaat dengan witir dan cara lama di kampung itu, 23 rakaat dengan witir. Cara baru ini pusatnya di Masjid kampung mudik, daerah kami. Cara lama tetap di surau kampung hilir.
Abak diajar memahami Quran kata perkata-kata oleh guru Muchtar dan memahami tambahan fikih, tauhid dan ilmu dan hukum syariah lainnya. Bersama Abak ada Nenek Khalifah. Khalifah adalah isteri mamak kandung Abak bernama H. Muhammad Khatib. Di antara putra putri H Bana Raden Endek dan Hj Toni, Nenek Khatib (begitu kami panggil) seorang alim dan menteri sunat untuk anak laki.Bukan hanya di kampung kami, beliau mengembara dari dusun, kampung, marga, kecamatan dan kewedanaan (waktu itu) dan seluruh wilayah di provinsi ini. Jambi menjadi provinsi sendiri tahun 1958. Pemahaman agama Nenek Khatib sebenarnya seperti kaum lama atau kaum tuo. Akan tetapi beliau tidak keberatan dengan kaji kaum mudo ini. Sehingga Khalifah, isterinya dan putrinya Zet Aisyen, serta beberapa yang lain yang ikut halaqah guru Muchtar dibiarkan saja.
Kembali ke Abak. Oleh guru Muchtar diminta berpidato dalam berbagai acara yang kerkaitan dengan Madrasah yang diasuhnya. Lam-lama Abak yang sebelumnya menjadi khatib dengan membaca kitab yang tersedia di Mihrab, melupakan kitab itu dan lepas tuntas sebagai khatib seperti muballigh yang lancar tanpa pegang kitab.
Hampir tidak lepas dari tugas itu kalau beliau shalat Jum’at di Masjid kampung kami Sirih Sekapur. Abak seperti mendapat recharging dan enerji ilmu dan semangat oleh kelompok kecil pengajian mereka malam hari dengan guru Muchtar. Pengajian itu terus berlangsung bertahun-tahun berikutnya.
Keterampilan berpidato dan tabligh itu juga diajarkan kepada kami murid (kalau sekarang santri) Madrasah oleh guru Muchtar. Dan khsusus saya ditambah oleh Abak di rumah. Pada mulanya pakai teks dan dihafal. Lama-lama tanpa teks dan saya mulai menjadi orator cilik di kampung itu. Di Madrasah al-Hidayatul Islamiyah, Sirihsekapur, kami murid-murid SD pagi hari di Rantau Ikil (2 km dri Sirihsekapur) semuanya menjadi santrinya di sore hari.
Abak kelihatannya mencintai talenta dan hobi baru beliau ini. Ditambah lagi saya dan beberapa anak lain putra dan putri giat belajar pidato. Kami punya asrama putra dan berjarak bebera ratus meter dengan asrama putri. Semua seakan mulai ikuti gayanya. Kalau dulu beliau hanya bilal, atau muazin dan ditambah pendendang kasidah irama padang pasir, belakangan bertambah menjadi ustadz dan kemudian dianggil Buya H Abdul Karim di Kecamatan itu. Beliau menjadi khatib, imam dan muballigh serta apa saja yang behubungan dengan pangajian dan acara komunitas kampung. Bahkan di awal Orde Baru beliau menjadi muballigh kementerian agama yang ada sedikit honorarium tiap bulan.
Dan Abak di samping menguasai dasar-dasar hukum syara’ juga paham adat. Kalau ada silang sengketa masyarakat beliau menjadi juru damai atau ikut bersama tokoh lain menjatuhkan hukum syara’ dan adat di kampung kami. Waktu itu tidak urusan polisi. Dalam segala hal hanya hukum syara’ dan adat. Konon talenta dan ilmu itu didapatnya dari ayah beliau saya sebut tadi, Datuk H. El-Hussein Bin Thaat dari pihak ayah. Dari pihak ibu, Abak mengalirti talenta dari adik ibunya Hj. Hafsah binti H. Toni, atau mamak dari Hj Hafsah yang bernama Datuk H. Syawal.
Kembali ke bagian atas, ke Jakarta. Soal kuliah dan wisuda. Pada kali ke-2 ini Shoufis tidak ikut. Hanya Emak dan Abak saja dan anak kami yang lain juga tidak ikut kecuali, Iqbal yang sudah menjadi santri di Pondok Pesantren Darun Najah, Cipining, Jasinga, Bogor. Pada wisuda sebelumnya untuk Baccalaureate, Bachelor of Art (B.A.) 1976. Beliau keduanya tidak hadir. Pada tingkat Sarjana Muda itu saya menulis skripsi wajib berbahasa Arab, ” Al-Imaan Asasu li mashlahati al-Ummah” (Iman sebagai Asas Kemaslahatan Umat). Waktu munaqasyah atau ujian mempertahankan skripsi itu , beliau berdua tidak ikut.
Pada wisuda Sarjana Lengkap (SL-Waktu itu) (Drs.) 1982, hanya Emak yang ikut. Akan tetapi waktu ujian skripsi doktoral, “Al-Masjidu wa Makanatuhu fi Binaa-i wa Tanmiyati Jiili al-Syabaab” (Masjid dan Fungsinya di dalam Pembinaan Generasi Muda), keduanya plus Shoufis ikut mendampingi. (Bersambung)
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.