Paling tidak ada tiga hal politik Muhammadiyah menghadapi Pemilu-Pilpres-Pileg 2024 mendatang. Ketum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir mewanti-wanti warga Muhammadiyah. Meski Muhammadiyah bukan Partai Politik, tetapi bukan berarti membelakangi urusan politik, apalagi buta politik. Amar ma’ruf nahi munkar tak bisa tegak tanpa kekuasaan (Sayid Qutub, Fi Zhilalil Quran).
Nasehat Prof Haedar Nashir
Walaupun pada tahun-tahun akhir masa hayat Buya Prof Ahmad Syafii Maarif (1935-2022) menyebut Muhammadiyah yatim piatu politik, konteksnya berbeda. Ketua PP Muhammadiyah 1998-2005 itu berbicara dalam konteks lemahnya negosiasi politik. Sedangkan Prof Haedar Nashir berbicara partisipasi politik pada mekanisme demokrasi lima tahunan nasional Indonesia dalam jangka waktu sangat dekat ini.
Beliau adalah Prof Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah 2015-2022 dan 2022-2027 baru-baru ini pada acara Silarurrahim Syawal 1444 H di Surabaya Ahad, (30/4/2023) seperti digulirkan media massa menyampaikan pedoman umum warga Muhammadiyah menghadapi pesta demokrasi 2024 ini.
Bahasanya mungkin tidak persis, yang tertangkap Haedar bilang, “Muhammadiyah tidak melarang bahkan mendorong kader maupun Warga Muhammadiyah yang potensial untuk menyukseskan Pemilu 2024. Akan tetapi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir mengingatkan jangan menggunakan simbol atau atribut organisasi, serta ingat akan Khittah Muhammadiyah.” (Panjimas.com, 2/4/2023)
Hermeneutika Interpretasi Paul Ricoeur
Secara teoretis, konstatasi Prof Haedar dapat dirujuk kepada hermeneutika interpretasi Jean Paul Gustave Ricoeur (1913-2005), yaitu “Merevolusi metode fenomenologi hermeneutik, memperluas studi interpretasi tekstual untuk memasukkan domain mitologi yang luas namun konkret, psikoanalisis, teori metafora, dan teori naratif.” (en.wikipedia.org)
Oleh karena itu, testimoni Prof Haedar atau pedoman ala Haedar Nashir itu dapat diinterpretasi setidaknya kepada tiga hal. Pertama, tidak ada larangan bahkan mendorong warga Muhammadiyah mencalonkan diri, menjadi tim sukses dan memajangkan namanya untuk merebut kursi politik termasuk ke dalam ranah politik Pilpres 2024.
Selama ini Muhammadiyah terkesan “malu-malu kucing” dalam berpolitik. Di depan publik mengatakan tidak berpolitik, tetapi di belakang layar, mereka tetap bermain.
Di Muhammadiyah ada yang namanya Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP). Sebelum Muktamar-18 di Solo, budaya malu-malu kucing itu masih kental. Tetapi pasca muktamar, pada beberapa wilayah produk Muswil, filter tokoh politik masuk struktur Muhammadiyah sudah diperluas-masuk ke berbagai Majelis, Lembaga, Biro dan Badan di Muhammadiyah.
***
Di PP Muhammadiyah, ada sekitar 1320 orang tokoh yang masuk ke 31 Majelis, Lembaga, Biro dan Badan Muhammadiyah. Di PWM juga begitu. Untuk PWM Sumatera Barat (yang penulis ketahui) diperkirakan yang dulunya ketat sekarang mungkin sudah banyak, di antaranya ada dedengkot Parpol jajaran lokal.
Maka istilah yang dulu disebut, Muhain (Muhammadiyah Marhain), Mukes (Muhammadiyah PKS), Muka (Muhammadiyah Ka’bah), Mukar (Muhammadiyah Golkar), Mupan (Muhammadiyah PAN), Mundra (Muhammadiyah Grindra) dan lain-lain, sekarang semakin menggelumbung dan bersinar. Walaupun ada syarat harus mempunyai Nomor Baku Muhammadiyah (NBM), tetapi dengan canggihnya digital sekarang, tak butuh waktu banyak Nomor Baku Muhammadiyah itu sudah tersedia.
Dengan selimut ucapan selamat, maka petinggi partai bebas memajangkan balihonya bersanding dengan Ketua Muhammadiyah setempat. Atau pada fenomena lain, para petinggi partai dengan judul silaturrahim bebas keluar masuk Amal Usaha Muhammadiyah sambil membawa bantuan besar atau alakadarnya.
Boleh jadi belum banyak partai yang memanfaatkan itu atau sebaliknya jajaran persyarikatan level tertentu mengambil peluang, namun cepat atau lambat keadaan itu nampaknya akan berkembang terus.
Jangan Bawa Simbol dan Ideal Pasif
Kedua, jangan bawa simbol, atribut, ruangan kantor, masjid dan semua tempat milik Muhammadiyah (dikenal sebagai Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) serta tim sukses ke organisasi persyarikatan ini.
Interpretasinya sudah dibuktikan. Hampir tidak ada yang secara terbuka menggunakan simbol, atribut dan semacamnya tadi. Sebab, para pengelola politik sudah paham dan sebaliknya jajaran persyarikatan juga sangat paham.
Maka secara kasat mata, kemungkinan penyalah-gunaan ruang dan simbol ini sangat kecil. Akan tetapi simbol dan bench-mark Muhammadiyah yang tak resmi akan bebas mendedahkan “kampanye” itu. Di antaranya pada Grup-grup WA, FB, IG, blog, web-page dan seterusnya tak ada yang membendung dan agaknya juga tak perlu dibendung.
Ketiga, harus selalu mengingat dan memahami Khittah Perjuangan Muhammadiyah selama ini yang antara lain 11 pedoman ber-Muhammadiyah yang sering disampaikan sebagian besar tokoh Muhammadiyah masa lalu, sekarang dan juga masa depan. Di antaranya;
1. Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (1946); 2. Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (1969); 3. Tafsir Duabelas Langkah Muhammadiyah (1938); 4. Al-Masa’il al-Khamsah (1954/1955); 5. Kepribadian Muhammadiyah (1962); 6. Khittah Perjuangan Muhammadiyah (1971); 7. Khittah Berbangsa dan Bernegara (2002); 8. Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (2000); 9. Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad (2005): 10. Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua (2010). 11. Risalah Islam Berkemajuan (Muktamar-48, 2022)
***
Di dalam konteks Pemilu 2024, ke-11 pedoman di atas tidak satupun yang memberikan pedoman langsung, kecuali arahan filosofis dan ideal. Padahal Pemilu bagi kalangan warga Muhammadiyah tentu adalah hal yang praktikal sekali dalam lima tahun.
Walaupun tetap ada yang bilang begini: jangan ada yang terpengaruh dengan nilai kertas sekian, tetapi kita hanyut dibawa buntung lima tahun atau sepuluh tahun ke depan.
Meski begitu, panorama 11 pedoman tadi bagi sebagian kalangan pemikir Muhammadiyah memberikan nilai positif, sementara kalangan lainnya menganggap kerugian. Terutama secara ideo-politik dan setiap Pemilu selalu ada program pembinaan kepada tokoh dan kader Muhammadiyah sebagai pagar panduan Muhammadiyah tidak ditarik ke-10 penjuru angin politik: utara, selatan, barat , timur, atas, bawah, kiri, kanan, luar dan dalam. Katakanlah ini sebagai lintas pandang ideal-pasif.
Akan tetapi jangan lupa ada pula lintas pandang ideal-aktif. Bagi sudut pandang itu, ke-10 penjuru angin tadi harus dimasuki dan hendaklah menjadi nakhoda di situ. Jangan takut diterjang ombak kalau berumah di pinggir pantai. Hadang dan kendalikan. Republik ini kita miliki bersama. Jangan menjadi penonton. Apalagi “ngeles”.
Pada sudut pandang kedua ini, ormas di sebelah Muhammadiyah, kelihatannya memegang supremasi. Mereka banyak mempunyai basis Parpol, bahkan hampir semua Parpol ada nakhoda dari kalangan mereka yang produktif, progresif bahkan militan.
Mungkin merekalah yang dimaksud Buya Prof Ahmad Syafii Maarif pada bagian awal tulisan ini. Mereka tetangga di sebelah “rumah” Muhammadiyah itu, kini bukan hanya lengkap memiliki ayah dan ibu, alias bukan yatim piatu politik, bahkan mereka pada lanskap tertentu menjadi nakhoda politik negeri ini. Allahu a’lam bi al-shawab.
Radikalisme menjadi trending topic sejak dua dekade belakangan. Suku kata ini didahului oleh trending terrorism yang dinisbatkan dulunya kepada al-Qaedah[3]. Terma Barat “war on terror” (WOT) perang melawan teror, juga dikenal sebagai perang global teroris (GWOT-Global War on Terrorism),[4] . Hal itu mengacu kepada kampanye militer internasional yang dimulai setelah serangan 11 September 2001 teroris di Amerika Serikat pasca hancurnya Gedung WTC di New York.[5]
Bersama wafatnya Osama Ben Laden, trending beralih ke radikalisme. Ketika ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) yang dianggap pecahan dari gerakan al-Qaedah menyimpang dari khittahnya, berdiri sendiri sebagai garis perjuangan mereka yang baru.
Sekarang ISIS[6] menjadi momok bukan saja di Timur Tengah tetapi ke seluruh dunia. Momok itu berkelindan dengan mata rantai berikutnya dengan dideklarasikannya ISIL menjadi Islamic State (IS) kekhalifahan Islam global. Mereka berambisi mengembangkannya ke seluruh penjuru bumi. Dan Indonesia, sebagai mayoritas warga berpenduduk Muslim dengan segala kekuatan dan kerentanannya diminta oleh berbagai kalangan untuk waspada. Lebih dari itu, kini ada yang mengatakan perlu diberikan serum penangkal, terutama di kalangan generasi muda.
Wacana berikut merupakan deskripsi dan analisis terbatas. Pemahaman semantik kata radikal dalam filsafat pemikiran dan radikal dalam makna aktual gerakan. Apa kaitan radikalisme, khilafah Islamiyah dan beberapa konseptualisasi salafi-wahabi merupakaan deskripsi dan analisis berikutnya. Kemudian apa hubungannya dengan platform atau prinsip dasar dan program yang ditawarkan Parpol Islam dalam hal ini PPP dan PKS serta bagaimana peranannya di dalam menghindari radikalisme dalam aura bingkai ukhuwah dan kebangsaan, merupakan bagian akhir dari diskursus ini.
II. Radikal Pemikiran dan Gerakan. Secara semantik,[7] kata adjective radic(akar) atau radikal dapat diartikan berfikir secara mendasar sampai ke akar-akarnya. Berfikir sampai kepada hal yang menjadi prinsip utama urat tunggang dari pohon persoalan. Sikap itu diformulasikan kepada perubahan yang drastik dan revolusioner. Sikap yang amat keras menuntut perubahan. Terutama undang-undang dan pemerintahan. Radikalisme juga berarti maju tanpa peduli alam sekitar dalam berpikir dan bertindak.
Di dalam wacana umum, menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), radikal artinya secara mendasar, sampai kepada hal-hal yang prinsip. Perubahan yang radikal bermakna membongkar sesuatu yang mapan sampai ke urat tunggang dan akar-akarnya lalu menanam hal-hal yang baru, yang bahkan bertentangan dengan yang lama. Bila telah menyangkut aksi atau tindakan maka makna sinonimnya adalah ekstrem, militant, melampaui batas atau melewati garis kesabaran dan toleransi, revolusioner, lebih dari itu juga disebut subversive .
Ada kebiasaan para analis memasangkan, sebelum kata radikalisme itu dengan fundamentalisme. Sehingga sering ditarik dalam satu nafas sebagai fundamentalisme-radikalisme.[8] Fundamentalisme adalah gerakan dalam agama Protestan Amerika yang menekankan kebenaran Bible bukan hanya dalam masalah kepercayaan dan moral, tetapi juga sebagai catatan sejarah tertulis dan kenabian; misalnya tentang kejadian, kelahiran Kristus dari ibu yang perawan dan sebagainya (Rifyal Ka’bah, 1984).[9]
Dalam kalimat lain, fundamentalisme adalah memelihara interpretasi literal tradisi kepercayaan dalam agama Kristen yang berlawanan dengan ajaran yang lebih moderen (AS Hornby, 1987). [10] Akan tetapi, hal yang terjadi pada Protestan itu terjadi juga pada Katholik, juga Yahudi, Hindu, Budha dan bahkan terdapat hal yang sama pada penganut ideologi ultra-kiri, ultra-kanan, ultra nasionalis seperti Nazisme baru yang marak pada beberapa negara di Eropa. Fenomena itu terjadi sejak 1970-an bahkan sampai sekarang di hampir seantero dunia, lintas kepercayaan dan agama. Kasus Rohingya, Boko Haram dan Charlie Hebdo[11], sebagai yang paling akhir.
Oleh karena media dan diskursus dunia dikuasai Barat, maka wacana fundamentalisme yang menekankan hal-hal mendasar serta berkaitan dengan akar masalah sangat dalam, maka fundamentalisme-radikalisme, sudah salah kaprah dilekatkan oleh mereka kepada pemikiran dan gerakan yang berlabel Islam seperti saat ini.
Tentu saja kalau hanya bersifat ucapan dan paham atau bahkan tulisan maka hal itu dapat disebut sebagai fundamentalisme-radikalisme pemikiran. Pemikiran yang bertolak dari segala sesuatu yang paling mendasar dan original (murni), asasi atau asli. Untuk yang terakhir ini, dapat disebut sebagai pemurnian atau purifikasi pemikiran. Dari sinilah kaitannya, orang senang mengatakan radikalisme juga kadang-kadang dikaitkan konsepsi salafi. Oleh karena kaum salafi, menekankan hal-hal yang berhubungan dengan urat tunggang dalam kehidupan agama dan sosial yang mendasarkan kehidupan atas kemurnian dan kesucian akidah.
Maka kaum salafi merupakan golongan yang sangat menjaga hal-hal yang prinsipil dan paling dalam terhunjam di dalam rekayasa bangunan kehidupan keagamaan, social-kemasyarakatan, paham kenegaraan dan pemerintahan . Dengan begitu kaum salafi menjunjung tinggi hal-hal prinsip itu, bahkan menjadi ideologi yang kokoh.
Apabila hal itu mengkristal menghunjam ke dalam aliran darah dan urat nadi kehidupan, perjuangan dan gerakan, maka menjadilah ia sebagai paham salaf yang disebut salafisme. Salafisme mengambil namanya dari salaf. Istilah yang berarti “pendahulu”, “nenek moyang” atau suatu identifikasi kepada generasi awal Islam. Kaum salaf menjadi “role model” sebagai lambang praktik Islam yang super jenuin.
Sebuah hadits Nabi Muhamad Rasulullah saw, mengatakan “orang-orang dari generasi saya sendiri adalah yang terbaik, begitu pula para sahabat dan berikutnya orang-orang yang datang setelah mereka, dan kemudian orang-orang dari generasi berikutnya, “.
Adalah sebuah seruan yang amat mulia bagi umat Islam untuk mengikuti contoh mereka tiga generasi pertama, yang dikenal secara kolektif sebagai salaf atau “pendahulu yang saleh” (al-salaf al-Saleh). Mereka yang dimaksud dimulai dari Nabi Muhammad Rasulullah saw sendiri, para sahabat (shahabat), yang pengikut (tabi’in) dan pengikut dari pengikut (tabi ‘al-tabi’in).
Prinsip salafi itu, dihormati oleh kalangan ortodok [12] Islam dan oleh para teolog Sunni sejak generasi Muslim kelima atau sebelumnya yang telah menggunakan apa yang mereka lakukan pada masa awal Islam tadi menjadi contoh bagi mereka untuk memahami teks-teks dan ajaran Islam. Kadang-kadang juga untuk membedakan keyakinan kaum muslimin pertama dari variasi berikutnya di dalam keyakinan dan penggunaan metodologi untuk menentang bid’ah (mengada-ada tanpa dasar) agama dan sebaliknya, untuk mempertahankan pandangan dan praktek tertentu.
Kaum Salafi percaya bahwa Al-Qur’an, Hadits dan konsensus (ijma) atau kesepakatan yang disetujui para ulama bersama dengan pemahaman salaf merupakan pandu utama jalan kehidupan. Tidak perlu yang lain, dan cukup itu saja bagi setiap warga dan masyarakat Muslim.
Di dalam konsepsi dakwah, Salafi adalah metodologi dan bukan mazhab fikih (yurisprudensi). Kadang-kadang hal itu dapat bercampur-baur dan mungkin pula terjadi salah paham. Dengan demikian secara metodologis, Salafi dapat berasal dari pengikut Mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali dan Hanafi. Semuanya digolongkan kepada pemikiran Fikih Sunni.
Untuk memahami dengan baik tentang Al-Qur’an atau Hadits, mereka mendukung keterlibatan ulama untuk berijtihad. Tentu saja syarat berijtihad yang terpenuhi. Ini merupakan cara untuk menghindari kebekuan (jumud) dan taklid buta. Khusus untuk akidah, keyakinan dan pandangan teologis, pengikut salafi semata-mata mengikuti apa yang dipahami sunnah shahihahtanpa terbawa kepada dialektika ilmu kalam dan semua bentuk filsafat yang dianggap sepekulatif.
Ajaran salafi menganggap “tawassul” sebagai syirik, termasuk bertawassul dengan tokoh agama dan para ulama. Begitu pula memuja kuburan termasuk memuja kuburan Nabi dan orang-orang yang dianggap suci. Mengunakan azimat (jimat) apalagi batu akik yang punya kekuatan magis adalah syirik. Mempertahankan praktik-praktik itu semua dianggap bid’ah (mengada-ada atau inovasi sesat). Semua itu termasuk politeisme atau syirik. Tidak satupun dari praktik itu yang dibolehkan di kalangan salafi.
Dari sinilah kalangan lain menganggap apa yang menjadi ajaran kaum al-Muwahhidun (kalangan penganut tauhid) yang dipelopori Muhammad Ibnu Abdul Wahab (1703-1787), kini ada anggapan sebagai salafi modern, hidup kembali. Padahal, sebagai penganut akidah murni Islam, apa yang menjadi doktrin al-Muwahhidun itu merupakan pendapat jumhur ulama. Harun Nasution (1921-1997) mensitir Muhammad Ibnu Abdul Wahab memusatkan perhatiannya kepada hal akidah murni itu. [13]
Lebih dari itu yang menjadi ideologi mereka bahwa mereka percaya bahwa gradasi dan kualifikasi Islam menjadi turun, setelah generasi awal karena inovasi-sesat agama golongan tertentu dan meninggalkan apa yang mereka anggap sebagai ajaran Islam yang murni. Mereka percaya bahwa kebangkitan Islam hanya akan dapat sukses kalau kembali kepada cara-cara dan peradaban generasi awal umat Islam dan membersihkan semuanya dari pengaruh asing. Lebih dari itu kaum salafi menolak yang disebut konsep teologi dan ilmu kalam apalagi pemikiran filsafat spekulatif.
III. Salafi Modern dan Kontemporer. Kaum Salafi menganggap Muhammad ibn Abd al-Wahhab sebagai sosok pertama di era modern yang mendorong untuk kembali ke praktik keagamaan dari salaf al-shalih. Ia memulai gerakan revivalis (menghidupkan kembali) Islam yang murni di daerah pedalaman Jazirah Arabia pada abad ke-18 yang jarang penduduknya di wilayah Najd (Nejed).
Belakangan bersama-sama dengan Ibnu Saud memurnikan pemahaman Islam dan melakukan gerakan kembali kepada doktrin salafi itu. Dari sejarah yang panjang sekarang menjadi Kerajaan Saudi Arabia. Kolaborasi antara Muhammad Ibnu Abdul Wahab dengan Ibnu Saud itu, oleh beberapa analis disebut sebagai salafi-plus (salafi-politik)
Karya-karya Muhammad Ibnu Abdul Wahab, terutama kitab at-Tauhid, masih banyak dibaca oleh kaum Salafi di seluruh dunia. Bahkan saat ini dan mayoritas ulama Salafi masih mengutipnya. Tidak jarang oleh kalangan lain ajaran asli kaum yang menamakan diri al-Muwahhidun tadi sebagai ajaran Wahabi. Dinisbatkan kepada namanya. Dan ini boleh dianggap sebagai berfikir cara orientalisme (ahli ketimuran-ke-Islaman) kalangan Barat yang bersifat pejorative (merendahkan).
Masukkan deskripsi gambar atau foto
Di antara pengamat, berdasarkan gerakan dan pemikiran mutakhir melihat beberapa aliran salafisme menjadi tiga tren: puritan (murni); orientasi politik dan para penggerak militant yang ekstrim-radikalis.
Untuk tren terakhir, mereka menyebut kaum jihadis. [14] Padahal kata jihad di sini dipahami mereka bertentangan dengan makna semantik yang dipahami umum oleh umat Islam sebagai berusaha dan bekerja keras di jalan Allah, menuntut ilmu dengan, atau dan sungguh-sungguh bekerja. Kata jihadis di sini dipahami mereka sebagai garis keras bahkan sering disamakan dengan terroris.
Tren pertama, puritan adalah gerakan pemikiran dan usaha yang berfokus pada pendidikan dan pekerjaan dakwah untuk rekonstruksi tauhid. Ini dianggap salafi puritan non-kekerasan dalam tabligh , dakwah serta penyiaran memperkuat Islam. Selalu melaksanakan pemurnian kepercayaan dan praktik keagamaan. Tampaknya mereka mengabaikan politik dan kekuasaan dalam menyampaikan misi dakwahnya.
Sementara tren kedua, politik memfokuskan kepada reformasi politik dan membangun kembali khilafah melalui sarana evolusi, tapi bukan kekerasan. Ini disebut kadang-kadang sebagai aktivisme-salafis. Selanjutnya tren ketiga,sebenarnya untuk tujuan politik yang sama seperti kelompok kedua, akan tetapi terlibat dalam tindakan kekerasan, revolusioner yang oleh pihak lain disebut para radikalis-fisik. Mereka ini yang disebut sebagai kaum jihadis tadi, sebagai satu istilah pejorative atau merendahkan. Padahal kata jihad adalah untuk berjuang keras demi kebaikan.
IV. Khilafah Islamiyah, ISIS sebagai Tren ke-3. Apa yang disebut sebagai “Jihadis salafi” adalah tren ke-3 sebagai wacana yang paling kontroversial, penuh ajang debat, pro-kontra. Sebagian mengkategorikannya sebagai aktualisasi dari ideologi agama (Assaf Moghdam, 2008).[15]
Di dalam media on-line serta situs-situs dunia-maya, akan kesulitan dan susah membagi mana kategori yang benar-benar dari kalangan “Jihadis Salafi” itu yang murni, mana pula yang menangguk di air keruh atau berpura-pura, sehingga membuat buncah jagat dunia global.
“Salafi para tokoh” adalah istilah yang diciptakan oleh Gilles Kepel[16] untuk menggambarkan kelompok-kelompok yang mengklaim dirinya sebagai salafi yang mulai mengembangkan minat dalam jihad selama pertengahan 1990-an. Praktik mereka sering disebut sebagai “jihadis Salafi” atau “salafi jihadis”. Wartawan Bruce Livesey memperkirakan jihadis Salafi jumlahnya kurang dari 0,5 persen dari 1,9 miliar warga Muslim di dunia (kurang dari 10 juta). [17]
Definisi lain dari jihad Salafi, yang ditawarkan oleh Mohammed M. Hafez, adalah “bentuk ekstrim Sunni Islamisme yang menolak pemerintahan demokrasi dan pemerintahan Syiah.” Hafez membedakan mereka dari apolitis dan konservatif ulama Salafi, seperti Muhammad Nasiruddin al-Albani, Muhammad ibn al Utsaimin, Abd al-Aziz ibn Abd Allah ibn Baaz dan Abdul Azeez ibn Abdullah-Aal ash-Shaikh. Selain itu ada juga dari gerakan Sahwa terkait dengan Salman al-Ouda atau Safar Al-Hawali. [18]
Pada tahun 2014 ada analisis oleh Darion Rhodes, dari Kaukasus Emirat mengetengahkan dua kategori. Kelompok ketaatan tauhid dan penolakan dari syirik, taqlid, ijtihad, dan bid’ah, sementara yang lain percaya jihad yang satu-satunya cara untuk memajukan kehendak Allah di bumi.
Dengan begitu tampaknya, meski ada beberapa kesamaan, tetapi banyak kelompok yang memproklamirkan diri di era kontemporer ini yang berbeda pemikiran Salafi mereka. Antara yang satu dengan yang lain sering sangat tidak setuju atas beberapa hal dan menyangkal karakter Islam pihak yang lain.
V. Saudi Arabia dan Indonesia: Salafi yang Beda. Lebih lanjut ada pandangan yang berbeda tentang Wahabisme dan Salafi. Di antaranya mengatakan bahwa setiap Wahabisme adalah Salafi tetapi belum tentu setiap Salafi adalah Wahabisme. Wahabisme dianggap salafi ideologis. Sementara ada salafi non-ideologis.
Yang non-idelogis, semata-mata mempromosikan ketauhidan, anti syirik, anti bid’ah dan mempromosikan Islam melalui pendidikan, memberikan biaya hidup bagi para dosen dalam negeri dan di luar Saudi Arabia. Mereka yang mendukung konsep ini, mempromosikan salafisme di seluruh dunia.
Orang kaya Saudi yang disebut juga petro-Islam, membiayai pembangunan kampus, madrasah, sekolah, masjid, pengadaan buku-buku, memberikan beasiswa bagi angkatan muda negara mayoritas muslim ke Timur–Tengah. Semua itu tidak bisa disebut sebagai salafi-jihadi seperti yang diteorikan oleh para akademisi dan penulis Barat tadi.
Oleh karena itu banyak sarjana dan kritikus membedakan antara bentuk lama Salafisme-Saudi yang disebut Wahhabisme dan Salafisme baru di Arab Saudi. Stphane Lacroix,[19] dan beberapa dosen di Sciences Po di Paris, juga menegaskan perbedaan antara keduanya: “Berbeda dengan Wahabisme, Salafisme mengacu untuk semua keteguhan kepada prinsip Islam awal tanpa mengiringinya dengan tindakan kekerasan.
Penyebaran paham Salafisme-Wahabi dan Salafi-Murni, di Indonesia pada beberapa waktu belakangan menjadi kajian yang menarik. Ahmad Bunyan Wahib di dalam “Being Pious Among Indonesian Salafis” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies –ISSN: 0126-012X (p); 2356-0912 (e) Vol. 55, no. 1 (2017), pp.1-26, doi: 10.14421/ajis.2017.551.1-26, mengatakan bahwa salafi itu pada awalnya adalah pengamalan Islam yang otentik atau murni. Islam yang hanya berdasarkan al-Quran dan Sunnah.
“Salafi is known as a group of Muslims who propagate Islamic Puritanism for them. The implementation of Islamic doctrines in their pristine form is a must to maintain the holiness of Islam. Under the framework of puritanization, religious activities should be based on al- Qur’an and ensure the Sunnah as two Islamic main sources in order to purity Islamic doctrines deviations and invalid religious innovation (bid’a). The purification is aimed at separating Islam from all un-Islamic facets, and this is needed to become pious Muslims”.
Menurut Wahib, mengutip Hamka, di dalam Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera (Umminda, 1982), Islam puritan itu di Indonesia mulai awal abad ke-19 yang kita sebut sebagai pergolakan kaum ulama di Minangkabau atau Perang Paderi. Wahib mengatakan,
“The initial phase of the development of Islamic Puritanism in Indonesia can be traced back to the Dutch colonial period in nineteenth century when some Muslims from Minangkabau, West Sumatra, propagated ideas similar to that of Islamic Puritanism after returning from the pilgrimage to Mecca, well known as Padri Movement. This is considered as the early period of Islamic Puritanism in Indonesia. However, the Padri movement has been defeated by the Dutch Colonial.”
Kekalahan Paderi oleh Belanda membuat gerakan purifikasi Islam meredup sampai awal abad ke-20. Lahirnya Muhammadyah (1912), al-Irsyad al-Islamiyah (1914), Persatuan Islam (Persis, 1923) kembali menjadikan purifikasi Islam sebagai dasar gerakan yang dikombinasikan dengan modernisme Islam atau Islam bekemajuan. Kemudian lahirnya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia 1967 yang dianggap dekat dengan Saudi Arabia dan berdirinya LIPIA yang memang insitiatif dari pihak Arab Saudi.
Namun di era kontemporer ini gerakan salafi di Indonesia menjadi lebih kentara dalam tiga hal. Pertama, tetap memelihara purifikasi Islam dalam hal akidah dan ibadah tetapi, kedua, didalam tatanan budaya hidup sehari-hari ingin seperti kebiasan orang Arab. Ketiga, menolak budaya lokal dan menolak budaya dan pikiran barat. Oleh karena itu di dalam cara berpakaian baik pria maupun wanita, bergaul dan dalam cara bertegur sapa kaum salafi Indonesia mempunyai tagar, “murnikan akidah, sebarkan sunnah“.
Di antaranya berpakaian komprang kaki celana di atas tumit atau separoh betis, berjenggot, berbaju gamis dan peci putih bagi pria . Dengan jilbab amat lebar, memakai cadar atau niqab bagi wanita. Di dalam percakapan sehari-hari lebih senang mengatakan “antum” dan “ana” dari pada menyebut kamu atau saya. Begitu pula ucapan lainnya yang disenangi dalam istilah atau Bahasa Arab.
Setakat itu, tidak ada masalah yang memperoalkan salafi di Indonesia. Persoalan buncah ketika beberapa waktu lalu dikaitkan dengan gerakan dari manca Negara yang lebih dinamis. Antara lain dikaitkan dengan istilah Islam Trans-Nasional. Ada fenomena (gejala) semakin mengentalnya pemahaman ke-Islaman yang dekat ke gejala tersebut, di samping tentu saja ada yang semakin menjauh.
VI. Islam Transnasional. Terma Islam Transnasional, secara umum mengacu kepada gerakan beberapa harakah (gerakan) Islam lintas negara bahkan lintas benua. Beberapa organisasi besar Islam di dunia, boleh disebut sebagai gerakan Islam Trans-Nasional itu.
Sebutlah seperti gerakan dan Jamaah Ikhwanul Muslimin (IM), Hizbut Tahrir Internasioal/Indonesia (HTI)[20], Ahmadiyah, Syiah, Jamaah Tabligh, Jamaah Islamiyah, dan Majelis Mujahidin Islam (MMI). Tentu dengan segala variasi konsepsi teologis, ideologis dan konsep perjuangannya. Baik yang disebut hard-liner (garis keras) maupun soft-liner (garis lunak). Itu semua amat tergantung sejarah latar belakang lahir, perkembangan, tokoh, dan wilayah serta kompleksitas persoalan yang masing-masing mereka hadapi.
Selain Syiah[21] dan Ahmadiyah[22], kalau dilihat dari corak pemikiran teologi dan ibadah serta fikih mereka, dapat dikategorikan sebagai kaum ahlu sunnah wal jamaahatau sunni. Dalam kasus Indonesia, ibarat duri di dalam daging, antara kelompok dan golongan internal dan antar ummat tidak selalu harmonis. Bahkan hubungannya fluktuatif.
Secara internal sealiran, misalnya sesama sunni, alhamdulillah antara mainstream(arus utama Islam) di Indonesia cukup akur. Misalnya antara Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Tarbiyah, Alkhairiyah, Alwashliyah, Nahdhatul Wathan, al-Irsyad, Persis, PUI cukup kondusif dan dinamis[23]. Akan tetapi antara mainstream[24] yang moderat itu dengan kelompok Islam lain tadi, kelihatannya tidak terlalu sinkron-harmonis. Lebih-lebih dengan Ahmadiyah dan Syiah. Sementara kelompok main-stream dengan HTI, MMI, FPI tidak terlalu hangat.
Terhadap organisasi masyarakat madani ormas Islam tersebut, perlu ada dorongan yang kuat untuk meningkatkan hubungan yang mesra antara sesamanya. Akan tetapi ada faktor lain, yang kurang disadari bahwa peranan Partai Politik (Parpol) sebagai infra dan supra struktur politik nasional cukup menentukan untuk meningkatkan harkat dan martabat organisasi ummat tadi.
Apalagi Parpol, di dalam hal ini Parpol Islam secara langsung atau tidak, agaknya dapat memberikan pengaruh positisif yang signifikan terhadap kehidupan keumatan dan kebangsaan dalam bingkai ukhuwah untuk ke-Indonesiaan dan ke-Islaman yang rahmat lial-alamin.
Secara tersirat diskursus penyatuan payung Parpol menurut sejarah lahir dan berkembangnya sampai hari ini masih ada di dalam back-mind (pikiran-tersirat) dan hidup di kalangan tertentu. Terutama pada kalangan ideolog muslim senior. Di Amerika, dua partai utama Republik dan Demokrat, masih layak menjadi cermin. Betapa negara terbesar berpenduduk terbesar ketiga setelah Tiongkok dan India itu cukup dengan dua partai dominan itu.
Bayangkan dengan Indonesia dengan populasi ke-3 terbesar di dunia setelah Amerika, mempunyai 12 Partai mendapat kursi dan beberapa kekuatan mayoritas Parlemen. Jumlah Partai itu terasa kurang menguntungkan kepada laju pertumbuhan dan perkembangan kesejahteran rakyat dan kemajuan bangsa.
Rendahnya kinerja bebeberapa bahkan sementara pengamat mengatakan sebagian besar anggota Kabinet Jokowi-JK, langsung atau tidak karena terlalu banyaknya partai. Dalilnya, sebagian karena kepentingan Partai tidak dapat ditolak oleh Jokowi-JK, sehingga merit sistem dan cabinet kerja yang bertumpu semata-mata kompetensi, tidak banyak bisa diaplikasikan. Oleh karena tidak semua pakar partai yang layak masuk ke Kabinet. Atau bahasa vulgar-nya, orang Partai yang duduk di Kabinet tak “pas”.
Belajar dari Orde Baru yang banyak kegagalannya dan dianggap ademokratis, namun di dalam penataan Partai Politik, Pengkaderan Partai serta etika dan budaya politik, agaknya masih layak mendapat apresiasi. Terutama dengan penyederhanaan partai (fusi) dari 10 menjadi 3 kekuatan: Nasionalis-Sekuler (PDI); Agamis-Nasionalis (PPP); dan Kekaryaan-Fungsional (Golkar).
Zaman reformasi, pada struktur politik, secara gradual terjadi penurunan dari lebih 40 Parpol pada awalnya (1998-2004) kini tinggal 12 Parpol. Dan sebetulnya, tanpa disadari dengan tidak mempedomani Platform Partai secara murni, mereka sudah mengerucut di Parlemen menjadi 2 kekuatan: Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisasi Merah Putih (KMP).
Pengerucutan itu kelihatannya murni karena kekuasaan, suka dan tidak suka. Bercampurlah di situ antara partai yang platformnya Pancasila murni, Pancasila plus, antara sekuler dan agamis atau bahasa moderatnya antara partai nasionalis-agama dan agama-masionalis.
Beberapa waktu lalu bahkan secara di bawah sadar, sampai sekarang masih terasa ada perpecahan pada beberapa partai. Apakah itu karena perbedaan platform-partai? Secara kasat mata, jawabannya, tidak. Kelihatannya hanya soal kekuasaan semata. Di dalam memillih koalisasi juga tidak karena platform. Kalau platform Pancasila-plus agama, tentunya PPP harus satu kapal dengan PKB, PAN, PKS dan PBB. Atau sebaliknya Partai platform Pancasila-plus sekuler, mestinya PDIP, Golkar, Demokrat, Hanura, Nasdem , Grindra dan PKPI dalam satu kapal lainnya.
VII. Peranan Parpol Islam. Di tengah keadaan itu apa yang bisa diharapkan dari Parpol Islam untuk mendidik rakyat dalam berpolitik. Khusus untuk tidak terjebak ke dalam gerakan radikalisme dan Islam transnasional. Mari kita lihat Platform ideologis beberapa Parpol Islam, di antaranya PPP dan PKS. Yang satu dianggap sebagai Parpol Islam hasil fusi berbagai partai Islam yang dideklaraasikan 5 Januari 1973, [25]gabungan aspirasi modernis dan tradisional serta moderat dan yang kedua murni produk reformasi yang keras-ideologis.
Yang satu kumpulan sub-kultur Islam modern dan tradisional. Sementara yang kedua muncul dari gerakan usrah tarbiyah jamaah (pendidikan berkelompok), halaqah-liqa’, pengajian rohani (rohis) aktivis kampus, dan mereka yang datang dari anak-ank muda alumni pendidikan tinggi Timur Tengah dan dari Barat yang progrresif. Partai yang mulanya bernama Partai Keadilan (20 Juli 1998) kemudian menjadi Partai Keadilan Sejahtera[26] partai segar anak muda yang terinspirasi oleh gerakan transnasional seperti Ikhwanul Muslimin.[27] Beberapa keterangan belakangan dari Anis Mata, Ketua Umum atau Presiden PKS sekarang membantah bahwa PKS terkait Wahabi, Ikhwanul Muslimin dan Islam transnasional. [28]
Kembali ke PPP, partai ini boleh dikatakan Partai Islam garis tengah dan moderat. Sebagai yang termaktub di dalam Khittah Perjuangannya di dalam menjalankan ideologi politik, dilakukan secara moderat dengan prinsip ukhuwah, ta’awundan tasamuah:
“PPP menyadari bahwa kemajemukan dan keragaman umat Islam dalam pikiran dan paham keagamaan merupakan rahmat bagi umat yang harus diterima sebagai pelangi dinamika untuk mencapai kebenaran hakiki. Sebab sikap menghormati berbagai perbedaan pikiran dan pandangan merupakan wasilah bagi terbentuknya kehidupan kolektif yang dilandasi semangat persaudaraan (ukhuwah), tolong menolong (ta’awun), dan (tasamuh).”
Islam sebagai ideologi dimaksudkan bahwa seluruh pemikiran, sikap dan kebijakan Partai dan kader-kadernya harus bersumber dari ajaran Islam. Ideologi adalah sekumpulan nilai yang dihubungkan secara sistemik yang menjadi dasar sebuah tindakan. Ideologi adalah penuntun, pedoman dan arah untuk mencapai tujuan politik. Untuk itu perlu terus dilakukan penanaman dan internalisasi nilai-nilai ideologi kepada semua kader dan komponen partai yang hakikatnya merupakan aparat ideologi partai (ideological party aparatus) untuk mencapai tujuan dan cita-cita kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan visi dan misi PPP. “[29]
Bila kita sigi PKS, maka dalam bahasa yang lain ada tujuan dan maksud ideal yang dimiliki. Hal itu tersurat di dalam visi dan misinya. Visi Indonesia yang dicita-citakan PKS adalah terwujudnya masyarakat madani yang adil, sejahtera, dan bermartabat.
“Masyarakat Madani adalah masyarakat berperadaban tinggi dan maju yang berbasiskan pada: nilai-nilai, norma, hukum, moral yang ditopang oleh keimanan; menghormati pluralitas; bersikap terbuka dan demokratis; dan bergotong-royong menjaga kedaulatan Negara. Pengertian genuin dari masyarakat madani itu perlu dipadukan dengan konteks masyarakat Indonesia di masa kini yang merealisasikan Ukhuwwah Islamiyyah (ikatan keislaman), Ukhuwwah Wathaniyyah (ikatan kebangsaan) dan Ukhuwwah Basyariyyah (ikatan kemanusiaan), dalam bingkai NKRI.[30]
Tentu saja beberapa partai politik Islam seperti PKB dan PBB tidak akan jauh berberbeda dengan Platform PPP tadi. Namun di dalam kenyataannya, perjalanan partai ini tidak semulus apa yang dibayangkan, meski semua merujuk kepada nash yang sama, seperti yang sering dikutip Quran, al-Hujurat, 49:10.
” Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
Dari platform partai-partai Islam tadi, kelihatan bahwa paling tidak di dalam rangka dinamika politik nasional Islam dan kebangsaan dalam bingkai ukhuwah Islamiyah, harus dilakukan upaya strategis dan konkret secara internal sesama pendukung, anggota, kader dan pemimpin masing-masing. Lalu secara simultan terhadap umat Islam dan bangsa secara keseluruhan. Parpol diharapkan menjakankan agenda aksi yang lebih signifikan pula.
Secara internal, seyogyanya Parpol menjalankan program berpedoman sepenuhnya kepada platform. Terlebih dulu apa yang menjadi sejarah, visi dan misi, ideologi, pengkaderan dan pembinaan anggota serta artikulasi alokasi dan distribusi politik serta fungsi dan peranannya sebagai infra dan supra struktur politik nasional, mesti ditanamkan kepada warga partai masing-masing.
Upaya gesekan internal untuk menghindari dualisme kepemimpinan, apalagi organisasi partai yang terbelah seperti yang terjadi pada waktu yang lalu yang masih terasa akhir-akhir ini pada beberapa partai, kiranya diantisipasi jauh hari. Kalau tidak, maka sejarah partai ke depan akan lesu dan itu merugikan ummat dan bangsa secara keseluruhan.
Selanjutnya, Parpol Islam kiranya melakukan antisipasi terhadap kemungkinan berkembangnya radikalisme ideologis, apalagi gerakan ekstrim yang akan menimbukan gesekan dan titik api. Upaya menyusupnya kekuatan ekstrim yang dibawa oleh Islam transnasional ke dalam Parpol yang pada gilirannya merembes ke tengah masyarakat, umat dan bangsa harus diwaspadai dan harus kreatif melakukan upaya antsipatif .
Bersamaan dengan itu semua, bingkai ukhuwah dan silaturrahim sekaligus pendidikan politik umat dan bangsa, kiranya menjadi kepedulian yang prima bagi Parpol, terutama Parpol Islam. Wa Allah a’lam bi al-shawab. ***
__________________________________________
[1] Editing dari Orasi Ilmiah Diesnatalis UIN-IAIN IB Padang, 12 Desember 2017.
[3] Akses, 5.12.2017. Tokoh utama dan pendiri al-Qaedah adalah Usamah bin Muhammad bin Awwad bin Ladin . Sering dipanggil Usamah bin Ladin (atau Osama bin Laden dalam ejaan Inggris) alias Tim Osman, (lahir di Jeddah, Arab Saudi, 10 Maret 1957 — meninggal di Abbottbad, Pakistan, 2 Mei 2011 pada umur 54 tahun).
[4] Eric Schmitt; Thom Shanker (26 July 2005). “U.S. Officials Retool Slogan for Terror War”. New York Times. Retrieved 8 January 2015.
[5] “Bin Laden claims responsibility for 9/11. CBC News. 29 October 2004. Pemimpin Al-Qaeda Osama bin Laden muncul dalam pesan yang ditayangkan di stasiun televisi Arab selang beberapa saat setelah itu. Osama, pertama kalinya mengklaim tanggung jawab langsung atas serangan 2001 terhadap Amerika Serikat.
[6] Sebutan lain ISIL (Islamic State of Iraq and Levant) untuk menyebut wilayah di samping Syria juga kawasan sekitarnya.
[7] Semantik dari Bahasa Yunani, semantikos. Memberikan tanda sesuatu yang penting. Sema artinya tanda. Semantik merupakan sub-linguistik yang mempelajari makna atau yang terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis pemaparan lainnya. Lihat, Neurath, Otto; Carnap, Rudolf; Morris, Charles F. W. (Editors) (1955). International Encyclopedia of Unified Science. Chicago, IL: University of Chicago Press.
[8]https://www.referensimakalah.com/2012/01/pengertian-fundamentalisme-radikalisme_8767.html. Akses, 5 Mei 2015
[9] Rifyal Ka’bah, Islam dan Fundamentalisme, Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1984. Hal. 1-7.
[12] Kaum ortodox adalah kaum yang berpikir murni. Ortodoxi adalah sistem berfikir yang selalu memegang teguh prinsip murni doktrin agama, filsafat dan ideologi. https://dictionary.reference.com/browse/ORTHODOX
[13] Harun Nasution mengutip pendapat Muhammad Ibnu Abdul Wahab: (1) yang boleh disembah hanyalah Tuhan, dan orang yang menyembah selain Tuhan telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh; (2) kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut faham tauhid yang sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan lagi kepada Tuhan, tetapi dari syekh atau wali dan dari kekuatan gaib. Orang Islam yang demikian juga telah menjadi musyrik; (3) menyebut nama Nabi, syekh atau malaikat sebagai pengantara do’a juga merupakan syirik; (4) meminta syafaat selain dari kepada Tuhan adalah juga syirik; (5)bernazar kepada selain Tuhan juga syirik; (6) memperoleh pengetahuan selain dari al-Quran, hadist dan qias (analogi) merupakan kekufuran; (7) tidak percaya kepada kada dan kadar Tuhan juga merupakan kekufuran; (8) menafsirkan al-Quran dengan ta’wil (interpretasi bebas) adalah kufur. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta:Bulan Bintang, 1975, hal. 24-25.
[14] Haykel, Bernard (2009). “Chapter 1: On the Nature of Salafi Thought and Action”. In Meijer, Roel. Global Salafism: Islam’s New Religious Movement. Columbia University Press. p. 34. ISBN 978-0-231-15420-8.
[23] Meskipun ketika Gus Dur turun dari Kursi Peresiden pada 2003 terjadi malapetaka hebat antara massa jamaah 2 organisasi besar ini di Jawa Timur. Waktu itu Akbar Tanjung, Megawati dan Amin Rais, yang terakhir ini dianggap tokoh ikon Muhammadiyah dibalik turunnya Gus Dus, ikon Nahdhatul Ulama. Presiden Gus Dur dijatuhkan melalui Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001. Lihat, https://nasional.news.viva.co.id/news/read/117600kisah_kejatuhan_gus_dur_dari_kursi_presiden. Akses, 16.05.2015
[24] Azyumardi Azra, “Akar Radikalisme Keagamaan: Peran Aparat Negara, Pemimpin Agama dan Guru untuk Kerukunan Umat Beragama“, Workshop Memperkuat Toleransi melalui Institusi Sekolah Bogor, 14 — 15 Mei 2011.
[25] PPP merupakan hasil fusi politik Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
[26]https://www.pks.or.id/content/sejarah-ringkas. Akses, 17.05.2015. Menjadi PKS setelah PK tidak mencapai Electoral threshold untuk menghadapi Pemilu 2004, maka 2 Juli 2003 PKS menyelesaikan administrasinya, sehingga PK menjadi PKS dengan teransfer semua asset, kepengurusan dan keanggotaan sebelumnya.
[27] Abdulhttps://www.pks.or.id/content/sejarah-ringkas Rahman Wahid, Ed. Ilusi negara Islam : ekspansi gerakan Islam transnasional di Indonesia. Jakarta : The Wahid Institute, 2009. Hal. 248.
[28] Abdul Aziz, “PKS bantah beraliran Wahabi”. Antara, 4 Juni 2013
Atas undangan Berry, Guru Bahasa Indonesia di Narrogin Senior High School (NSHSS)-SMA Narrogin kami berdua sebagai orang tua Adam Putra Shofwan datang ke kotanya awal November 2016.
Ini merupakan jawaban atas undangannya setahun sebelumnya ketika Berry dan beberapa guru lainnya ada resepsi di MAN IV Bertaraf Intgenasional Pondok Pinang Jakarta Selatan tempat Adam menjadi siswa di situ.
Adam dan Dior @time square London, UK 2004
Adam dengan 4 orang temannya sesama siswa dengan 2 orang guru mengisi agenda school sister MAN IV Jaksel dengan NSHS pada Agustus 2014. Sdebagai orang tua Adam, kami sangat mendukung program tersebut. Dan Adam sebulan sebelum ke Australia tadi pada tahun yang sama mengikuti Folk Art Festival di Italia selama dua pekan bersama Grup Syofyani Dance, Music & Ensamble Padang, Pekanbaru, Palembang, Bandung dan Jakarta.
Sesudah kunjungan ke NSHS kami mengunjungi beberapa Universitas di Perth. Antaranya Curtin University dan Murdoch University. Begitu pula ke beberapa komunitas Muslim dan Masjid serta komunitas Indonesia dan Konjen RI di Perth.
Sempat pula kami mengunjungi seorang teman dari Tara Armitage yang sekaligus menjadi teman kami di Mandurah, kota wisata dengan pantai, teluk dan semenanjungnya yang indah. Berikutnya kami mengunjungi Penguin Island di Australi Barat. Naik Fery dari City of Rockingham hanya 15 menit ke lokasi penangkaran Penguin itu.
SEJUMLAH orang memprakarsai pendirian Maarif Institute pada 2002, dengan kegiatan utama menjelajahi pemikiran keislaman yang toleran, kultural, ilmiah dan berwawasan ke depan, sejalan dengan corak pemikiran Buya Syafii Maarif.
Di tahun itu, ia masih menjabat Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1998-2005), dan dari perbarengan inilah bermula “kekacauan” keuangan keduanya.
Beberapa orang menyumbang Institute, tetapi kebanyakan sumbangan itu ia alirkan ke organ-organ afiliasi Muhammadiyah. Alasannya sederhana: orang-orang itu menyumbang karena ia ketua Muhammadiyah, bukan karena ia ketua Yayasan Maarif. “Kalau saya cuma ketua Maarif Institute, apa urusan orang-orang itu memberi sumbangan?” katanya.
Setelah ia tak lagi ketua Muhammadiyah, urusan menjadi lebih simpel. Tidak lagi terjadi “conflict of interest”antara kedua lembaga. Tapi “konflik kepentingan” tetap terjadi, kali ini antara dirinya dan Institute.
Tak jarang orang menyatakan dengan sejelas-jelasnya bahwa mereka memberi sumbangan untuk Buya Syafii pribadi, bukan untuk Institute. Kontribusi itu tidak perlu dipertanggungjawabkan karena sifatnya personal.
Namun, ia tetap saja melaporkan penggunaan dana-dana itu kepada pemberi sumbangan, disertai laporan lengkap bukti pengiriman uang atau tanda terima dari orang-orang yang dibantunya untuk segala keperluan — penulisan disertasi, bantuan kepada orangtua buat biaya sekolah anak-anak mereka, perbaikan bangunan milik Muhammadiyah di sana-sini, dan sebagainya.
Jumlah penyaluran itu tepat sesuai sumbangan yang diterimanya. Rupanya, ia tak berminat memetik serupiah pun dari sana. Mungkin alasannya kali ini bergeser: orang-orang itu bersedekah karena ia ketua Maarif Institute, bukan karena ia bernama Ahmad Syafii Maarif.
Berulangkali ia diingatkan oleh si pemberi bahwa dana itu untuk keperluan pribadinya, dan ia tidak perlu melaporkan penggunaannya karena uang itu telah menjadi miliknya.
Buya Syafii tak pernah mau mendengarkan saran ini. Kuitansi, tanda terima, bukti-bukti transfer dana, tetap saja ia kirimkan kepada pemberi dana — lengkap dengan penjelasan ringkas tentang alasan ia memilih menyalurkan dana-dana itu kepada orang-orang tersebut (“anak ini pintar, jangan sampai dia gagal meraih gelar doktor”, dan semacam itu).
Saya kira itu pula yang terjadi dengan sumbangan Pak Taufiq Kiemas. Pada suatu makan siang, kami duduk bertiga, dan Buya Syafii berkata kepada saya sambil menunjuk Pak Taufiq: “Orang ini luar biasa. Sampai saat ini untuk Muallimin Jogja saja dia sudah memberi Rp 13 miliar!” Mengapa ia tahu jumlah persis sumbangan itu, yang pemberinya pun tak ingat?
Mungkin karena Pak Taufiq mengirimkannya kepada Buya Syafii pribadi, disertai “pesan terselubung” bahwa ia boleh mengatur penggunaannya sesuka hatinya, termasuk mengambil setidaknya sebagian dari jumlah itu. Pesan rahasia itu rupanya tak tertangkap, atau pura-pura tak dipahaminya, dan ia meneruskannya bulat-bulat kepada pengurus Muallimin, sekolah menengah guru yang tak pernah dilupakannya hingga akhir hayat.
Baru di masa pandemi kemarinlah ia seperti terpaksa mencomot sebagian pemberian seseorang yang dalam dua puluh tahun terakhir sering mengiriminya uang. Orang itu, di awal pandemi, memberinya dana cukup besar untuk keperluan pribadi Buya Syafii.
Seperti biasa, ia melaporkan penggunaannya secara terinci. Tetapi, jumlah penggunaan tidak sama dengan jumlah kiriman. Sebagian dana itu rupanya ia gunakan untuk kebutuhan pribadi — padahal seluruhnya memang dimaksudkan untuk itu.
“Mungkin karena sumber-sumber nafkahnya hampir tidak ada lagi,” kata si penyumbang kepada saya. “Pandemi membuatnya tidak bisa berceramah dan berseminar di mana-mana, padahal dari sanalah Buya mendapatkan penghasilan.”
Uang pensiunnya sebagai guru besar Universitas Negeri Yogyakarta, tampaknya hanya cukup untuk hidup normal kurang dari dua minggu.
Buya Syafii seolah penubuhan nyata bahwa kisah-kisah kuno sebagai sarana pengajaran moral adalah faktual, bukan sekadar cerita fiksi. Ia menerjemahkan harfiah apa yang disebut “amanah” — ditambah dengan penghayatan total terhadap doktrin Kiai Ahmad Dahlan: “hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah.”
Jika tak menyaksikannya sendiri, orang sulit percaya bahwa cerita-cerita di seputar puritanisme Buya Syafii dan Pak A.R bukanlah dongeng, atau sekadar cerita untuk mengajarkan akhlak luhur dan kejujuran kepada anak kecil.
Sedikit pun ia tak menunjukkan gejala balas dendam terhadap kemiskinan berat yang membelitnya sampai usia awal 30-an, yang antara lain membuat kelulusan sarjananya terlambat cukup jauh.
Setelah ia menjadi tokoh bangsa, dan begitu banyak pejabat negara atau orang kaya yang sudah dan ingin memberinya sumbangan dengan berbagai alasan dan “judul”, ia tak memanfaatkannya bahkan dengan cara wajar dan legal yang akan dimaklumi oleh siapa pun.
Beragam peluang kemakmuran hidup tak membuatnya berubah gaya menjadi orang kaya baru (OKB) dan kehilangan keseimbangan mental.
Ia mengingatkan orang pada sosok Ketua PP Muhammadiyah sebelumnya, Abdul Razak Fachruddin (1968-1990), alias “Pak A.R”.
Mendapatkan nafkah dari berjualan bensin eceran di depan rumahnya di Jalan Cik Di Tiro Jogja, Pak A.R mengupayakan income sampingan dengan menyewakan empat kamar kos di bagian belakang rumahnya — salah satunya pernah ditempati adik kelas saya, yang keterlambatan pembayaran rutinnya tak pernah ditegur oleh pemilik kamar.
Pak A.R, yang gemar bepergian keliling kota dengan sepeda tuanya, konon sering sekali ditawari bantuan dana oleh Presiden Soeharto, sampai pada titik ia tak mungkin lagi menolak. Ia akhirnya bersedia menerima pemberian sebuah sepeda motor — yang hampir tak pernah dikendarainya. Seseorang bercerita bahwa sepeda motor itu lebih sering dituntun daripada dinaikinya.
Jika tak menyaksikannya sendiri, orang sulit percaya bahwa cerita-cerita di seputar puritanisme Buya Syafii dan Pak A.R bukanlah dongeng, atau sekadar cerita untuk mengajarkan akhlak luhur dan kejujuran kepada anak kecil. Atau, hanya terjadi pada orang-orang jujur di zaman yang sangat lampau, seperti dikisahkan oleh buku-buku pelajaran dasar agama.
Sementara semua orang tahu bahwa mereka adalah pemimpin tertinggi salah satu organisasi terbesar di dunia, yang memiliki aset ribuan triliun di seluruh pelosok tanah air dan luar negeri, yang lahir jauh sebelum Indonesia merdeka, dan selalu ikut mengambil alih kewajiban negara untuk mendidik warganegara — dan karenanya pantas pula negara membalas budi dengan memberi aneka bentuk bantuan.
Tanpa Muhammadiyah, tak terbayangkan bagaimana negara sanggup mendirikan sekolah di lereng-lereng gunung dan tempat-tempat yang begitu terpencil, sekaligus menyediakan guru-gurunya. Anak-anak yang tinggal di daerah-daerah itu tentu akan hanya menyesali atau disesali bahwa mereka tidak pernah punya kesempatan menikmati pendidikan modern.
Buya Syafii adalah seorang anak yang diselamatkan oleh Muhammadiyah dari kemungkinan itu. Dalam ungkapannya sendiri: “untunglah Muhammadiyah tersesat sampai ke kampung saya”, sehingga ia bisa belajar baca-tulis-hitung di sekolahnya.
Dusunnya di Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, begitu terpencil. Keterpencilan bahkan masih terasa pada tahun 2004, ketika kami — Rizal Sukma, Jeffrie Geovanie, Buya Syafii dan saya — mengunjunginya.
Di sepanjang jalan dari Bukittinggi ke kampung itu, berserakan tiang-tiang listrik yang siap ditegakkan. Rupanya kampung Buya Syafii akan segera mendapat berkah besar di awal abad 21: memperoleh aliran listrik. PLN baru tergerak untuk membuat Sumpur Kudus tak lagi gelap gulita di malam hari, setelah diminta oleh ketua PP Muhammadiyah.
Dengan berbinar-binar, ia menyatakan kampung kelahirannya sebentar lagi akan terang — tak seperti pengalamannya hidup di sana sampai 60 tahun sebelumnya, saat ia tiap hari berjalan kaki berkilo-kilo meter untuk belajar di SD Muhammadiyah, melewati jalan-jalan setapak yang meliuk-liuk di puncak jurang yang sangat dalam.
(Mobil kami berkelok-kelok di jalur yang sama pada malam hari; kengerian baru kami rasakan ketika dua hari kemudian kami melewati jalan itu di siang hari — rupanya dua malam sebelumnya mobil kami merayap di tubir jurang yang dasarnya hampir tak terlihat).
Menginap dua malam di rumah kelahiran yang didiami kerabatnya, ia sempat mengajak kami berjalan kaki dua menit, ke rumah tetangganya. Ia menunjukkan sesuatu yang bersejarah, yang terhubung langsung dengan eksistensi Republik Indonesia.
Di sudut depan rumah itu, dikelilingi pagar bambu seadanya, terpancang monumen yang terlalu sederhana: tugu kecil peringatan bahwa di situlah para pemimpin bangsa seperti Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan Teuku Mohammad Hasan pernah menjalankan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI, 22 Desember 1948 – 13 Juli 1949), atau “Kabinet Darurat”, ketika Republik yang belum berusia empat tahun mau dirampas kembali oleh Belanda.
Kami tercenung di depan tugu pendek yang melawan prinsip-prinsip dasar estetika itu, yang sangat jelas tak pernah dipedulikan oleh instansi negara yang mana pun; suatu cara negara menyatakan bahwa ia tak merasa perlu untuk menggubris salah satu penggalan penting sejarah bangsa.
Tetapi, dari monumen itulah, dengan cat biru kusam dan di sana sini diselingi merah dan kuning, yang diakrabi Buya Syafii sejak ia remaja, kami rasanya bisa meraba dari mana ia mendapatkan sumber kecintaannya yang tak bertepi pada Indonesia dan keindonesiaan.[]
WACANA Islam dan negara telah berlangsung berabad-abad. Dengan berbagai argumentasinya, maka secara kategoristik, paling tidak terdapat tiga pendapat dan praktik tentang bagaimana konsep umum yang berhubungan dengan eksistensi keberadaan sebuah negara.
Pertama, Islam dan negara merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Negara Madinah, merupakan city-state (negara-kota) ideal. Nabi Muhammad adalah Rasulullah pembawa wahyu sekaligus pemimpin negara.
Rasulullah, di samping tugas pokok misi kerasulannya yang sakral, juga kepala negara dan pemerintahan sekaligus panglima militer. Lebih dari itu bahkan Rasulullah juga menjadi pengatur kehidupan sehari-hari, politik, eknomi, inspirator, mediator dan katalisator penyatu antar golongan, suku, dan pemeluk agama yang berbeda.
Semua pedoman normatif, strategi, konstitusi, dasar hukum, manajemen negara-bangsa dapat digali dari Al Quran. Bila isyarat Al Quran belum dapat dipahami lebih jelas maka tilik dalam sunnah shahihah atau sirah nabawiyah.
Begitu pula dapat dirujuk, praktik sejarah zaman sahabat al Rasyidun dan bahkan juga khalifah yang lebih berorientasi duniawi (sekuler) sesudahnya. Baik pemerintahan Umaiyah, Abbasiyah, sampai ke Daulat Bani Usmani sampai pertengahan dekade ke 3 abad lalu.
Kedua, adalah pemisahan yang bertolak belakang antara agama (Islam) dan negara. Agama hanya urusan keimanan individual, gambaran syurga dan neraka yang berhubungan dengan kehidupan setelah kiamat. Dan negara adalah urusan publik dan bersifat duniawi semata-mata. Inilah yang disebut teori pemikiran sekularisme yang memisahkan urusan negara dan agama.
Merespon terhadap dihapuskannya sistem kekhalifahan Turki Usmani oleh Mustafa Kemal At Taturk 1924 maka sebagian besar para ulama menolaknya. Sebaliknya, salah seorang ulama bukan hanya menerima bahkan memberikan pembenaran.
Pembenaran itu datang dari Ali Abd al-Raziq (1887-1966). Belakangan ada yang membela. Oleh Ali Abdul Raziq, dibuat kerangka teori bahwa Nabi Muhammad tidak mempunyai misi kenegaraan, politik, pemerintahan dan militer. Nabi Muhammad diutus hanyalah pembawa misi kerasulannya. Kalaupun Nabi dianggap sebagai pemimpin, itu hanyalah tugas dan misi kemanusiaannya sebagai manusia umumnya.
Kerangka teori itu dipublikasikan dalam kitab al-Islam wa Ushul al-Hukmi (1925). Ia mengemukakan ide-ide dan alasan persetujuannya terhadap pemisahan urusan negara dengan agama.
Menurut al-Raziq, Al-Quran dan Hadist tidak mengatur sistem kenegaraan. Lalu, agama Islam tidak mengenal lembaga semacam itu (khilafah), atau – paling minimal – tidak melarang dan tidak memerintahkannya. Semua itu diserahkan kepada manusia untuk mempertimbangkannya. Manusia bebas memilih landasan dan sistem apapun sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakatnya masing-masing.
Akibatnya, pemikiran ini memicu kontroversi yang bahkan berakibat buruk ke ulama masa-masa berikut bahkan sampai sekarang. Antara pro dan kontra sepertinya belum selesai.
Pemikiran Ali Abdul Raziq ini, bila ditelusuri, pada awalnya berasal dari sistem pemikiran Romawi yang tidak senang dengan intervensi gereja terhadap urusan negara dan pemerintahannya. Maka lahirlah slogan urusan negara dan pemerintahan berikan kepada kaisar atau raja dan urusan agama serahkan kepada gereja atau pastor dan pendeta.
Belakangan, pemikiran dan praktek inilah yang disebut konsepsi negara sekuler. Segala hal normatif, filsafat, konstitusi, pemerintahan, hukum, peraturan dan undang-undang, semuanya mesti merupakan produk dan otoritas pemikiran manusia semata-mata. Intervensi wahyu ditolak. Agama bebas dari urusan publik, negara, bangsa dan pemerintahan.
Ketiga, rangkuman dari dua pemikiran yang bertolak belakang tadi. Yang terbaik dari agama (Islam), wahyu, sumber normatif dan praktek-faktual dirajut secara seksama dengan nilai-nilai politik demokrasi dan praktik pemerintahan produk pemikiran manusia.
Dari mana pun datangnya yang tidak bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah shahihah, semua dapat dirakit dan disinkronisasikan untuk menjalankan urusan kenegaraan, kebangsaan dan pemerintahan.
Pemikiran yang ke-3 inilah, pada dasarnya yang mengilhami lahirnya negara-bangsa di dunia Islam abad modern. Setelah Perang Dunia I (1914-1918) , akibat Turki Usmani berpihak dengan Jerman yang kalah, maka bekas dinasti yg juga memang sudah tak terkontrol itu menjadi protektorat Inggris. Yang lain berdiri sebagai kesultanan dengan Amir-Amir dalam sistem kerajaan sendiri sendiri. Baru setelah Perang Dunia II (1942-1945), maka konkrititasi dunia Islam menjadi negara merdeka satu persatu terwujud. Sejak itu terjadi perdebatan panjang soal keberadaan negara-negara mayoritas berpenduduk muslim. Mereka merumuskan konstitusi, bentuk negara dan pemerintahan yang mereka merdekakan, mereka proklamirkan, direbut dengan peperangan fisik dan ada pula yang diberi tanpa keringat, darah dan nyawa.
Sejarah panjang 100 tahun terakhir ini telah mempertontonkan pasang naik dan surutnya dunia Islam. Satu hal yang tak dapat ditolak adalah pengaruh pemikiran Barat dalam praktik kenegaraan, kebangsaan dan pemerintahan.
Demokratisasi, hak asasi manusia, liberalisasi ekonomi dalam kehidupan negara, bangsa dan pemerintahan yang disemaikan Barat ke seluruh dunia, ibarat pisau bermata dua.
Di satu sisi, semaian-bibit Barat tadi mengangkat harkat dan derajat sehingga negara-negara muslim berhak duduk sejajar di Perserikatan Bangsa Bangsa dengan semua negara berdaulat lainnya di dunia. Di sisi lain mereka menjadi korban demokratisasi, HAM dan liberalisasi ekonomi itu.
Terutama di dunia Islam Timur Tengah dan Afrika. Di satu pihak dengan alasan membangun negara kesejahteraan memerlukan stabilitas, maka dipertahankan kekuasaan yang panjang.
Di pihak lain, kekuasaan tanpa kontrol, korup, tiranik dan diktator telah memicu pergolakan, reformasi dan bahkan revolusi.
Itulah yang pernah terjadi pada protes massal bahkan perang saudara yang sering disebut sebagai Arab Spring Jilid I (2010-2011) dan Jildi II (2018-2022) di Tunisia, Mesir, Aljazair, Libiya, Syiria, Bahrain, dan yang masih berlangsung seperti Yaman. Paling aktual dan versi lain tetapi sama tercabik-cabiknya adalah Sudan. Setelah pergolakan dan konflik berkepanjangan maka Sudan Selatan telah memisahkan diri dengan Sudan dan menyatakan sebagai negara merdeka sendiri.
Sementara konflik internal dalam variasi yang sedikit berbeda, umat Islam di Thailand Selatan, di Moro Filipina Selatan serta satu dua provinsi di China, sedang memeras nasib mereka. Jangan lupa pula keadaan yang masih traumatis pada beberapa bekas Sovyet dan sisa-sisa negara Balkan lainnya.
Akan halnya Malaysia dan Indonesia rasanya sudah melewati krisis dunia Islam di atas tadi. Telah melewati revolusi dan reformasi. Meskipun dalam dinamikanya sendiri, kedua negara bertetangga terakhir ini sedang bergulat sesama elitnya sendiri.
(Shofwan Karim; Dosen-Lektor Kepala Pascasrjana UM Sumbar)
Shofwan Karim Dosen-Lektor Kepala Pascasarjana UM Sumbar
PERTANYAAN yang sering muncul di kalangan public umum adalah, apakah dengan diksi Islam berkemajuan ada pula Islam berkemunduran? Pemikiran ini bagai teas dan antitesa serta bagaimana sintesanya.
Muhammad Darwis atau lebih dikenal KH Ahmad Dahlan (1888-1923) pada awal mendirikan Muhammadiyah (1912) sudah memulai diksi pendek, Islam berkemajuan. Sebenarnya, di Minangkabau wacana Islam berkemajuan secara intrinsik (makna hakiki dari dalam) sudah mendahuluinya.
Istilah kaum muda yang ada di Minangkabau kala itu menjadi mantra bagi kaum paham “modern” kala itu merespons perkembangan masyarakat. Oleh kaum tua kurang diperhatikan di awal abad lalu tersebut. Kira-kira kaum muda ini pemikiran mereka mirip dengan apa yang menjadi wacana dan ikhtiar Dahlan yang dimaksudnya berkemajuan.
Tokoh kaum muda merupakan hulu dinamika berkemajuan di Minang. Promotornya empat serangkai ulama. Mereka adalah Abdul Karim Amrullah (1879-1945) atau Inyiak Rasul-Inyiak DeEr. Abdullah Ahmad (1878-1933) keduanya tahun 1925 beroleh Doktor Kehormatan (Dr.HC) dari Universitas Al-Azhar, Mesir (bukankah ini berkemajuan?).
Syekh Djamil Jambek (1860-1947). Serta Ibrahim Musa Inyiak Parabek (1884-1963). Dengan begitu agaknya bisa disebut bahwa diksi Islam berkemajuan itu bagai air hujan yang datang dari langit nusantara menggenang di dua danau. Danau itu mengalirkan dua poros sungai kemajuan: Minang dan Jawa.
Bila ditilik dari pemahaman pemikiran dan logika masa awal tadi maka perdefinisi Islam berkemajuan lebih kepada makna memahami dan mengamalkan akidah tauhid murni. Ibadah yang murni tak bercampur dengan khurafat, takhayul dan bid’ah, bersih dari budaya nenek moyang serta kultur lokal.
Mereka agaknya derkelindan dengan kaum apa yang dinamakan di Arabia sebagai kaum al-muwahidun. Penganut tauhid mutlak. Secara teoritis, inilah yang sering disebut sebagai purifikasi atau pemurnian agama.
Sejalan dengan itu, tidak cukup dengan permurnian, Islam harus membumi untuk ikhtiar kehidupan yang baik di dunia. Doa “sapu jagat” memohon kebaikan di dunia dan akhirat harus diiringi dengan paralelisme kedua konten pokok tadi.
Maka untuk tujuan dunia, itulah makna kemajuan dan pembaruan atau modernisme. Bersamaan dengan itu untuk kebaikan akhirat inilah pada masa itu yang disebut pemurnian tadi.
Yang pertama dipahami sebagai tajdid dan yang kedua dipahami sebagai tashlih. Agaknya perdefinisi itulah yang dikonstruk ulang atau redefinisi oleh Dahlan, ketika kata berkemajuan menjadi membumi ketika Dahlan selama 8 bulan mengajarkan kepada santrinya mempraktekkan isi surat surat al-Ma’un.
Ikhtiar menyantuni anak yatim dan orang miskin berarti sekaligus memberdayakan mereka. Untuk maksud itu harus dinisbahkan ke banyak ayat dalam Al Quran dan Hadist serta sirah nabawiyah. Lalu disinkronkan aplikasinya dalam kenyataan hidup sehari-hari.
Di Minangkabau definisi itu mendahului Jawa. Gerakan Paderi (1803-1821) dan Perang Paderi (1821-1837) bersumbu kepada hal di atas. Sementara Perang Paderi sudah berkemajuan plus. Plus di sini dimaknai sebagai nilai perjuangan dari dalam (kebebasan) dan ekstrinksik (mengejar kebaikan). Kedua faksi kaum agam dan adat menyatu melawan Belanda.
Bukankah itu inspirasi pencuatan energi dari dalam. Dan boleh jadi KH Dahlan terinspirasi dari gurunya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkawi secara simultan juga dengan gerakan Paderi tadi. Diskursus dan aplikasi Islam berkemajuan mengalami pasang naik dan turun.
Naik ketika munculnya semangat baru ber-Islam. Mereka dulu dianggap ketinggalan dalam merespons kemajuan dunia, lalu meningkatkan sumber daya manusia umat dengan pendidikan ketaqwaan (iman dan ibadah), kognitif (ilmu), afektif (moral-akhlak) dan psikomorotik (skil-vokasional).
Pada awal dan sepanjang abad lalu, Muhammadiyah mendirikan dan menggebiarkan dunia pendidikan, kesehatan dan santunan sosial serta kemanusiaan. Kini terus melakukannya dan jamaah, jam’iyah serta kelompok lain pun sudah melakukan pula hal yang sama meski terasa getaran, aura dan capaian mereka berbeda-beda.
Di Minangkabau Inyiak DeEr bersama tokoh sezaman membangun Thawalib. Abdullah Ahmad mendirikan Sekolah Adabiyah. Inyiak Syekh Djambek berbasis surau Tangah Sawah dan Surau Kamang dengan mensyiarkan taklim Islam moda tabligh.
Sejalan dengan melek baca dan tulis percetakan buku, belakangan mengispirasi Tsamaratul Ikhwan dan Pustaka Sa’diyah, Bukittingi dan Padangpaanjang. Ibrahim Musa berbasis Surau Parabek mendirikan Madrasah Thawalib Parabek. Semuanya masih bekembang oleh pelanjutnya sampai sekarang.
Sejalan dengan itu dalam redefinisi Islam berkemajuan, dalam bidang pendidikan mesti dimasukkan Inyiak Canduang. Adalah Syekh Sulaiman ar-Rasuli (1871 19970). Ulama yang sedang diperjuangkan menjadi Pahlawan Nasional ini, mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Canduang.
Ia dianggap sebagai tokoh yang menyebarluaskan gagasan keterpaduan adat Minangkabau dan syariat lewat kredo Adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (ABS-SBK). Pada beberapa kajian, inyiak Candung dianggap merevitalisasi serta mereaktualisasi Sumpah Sati Bukik Marapalam satu abad sebelumnya yang dianggap proklamasi awal SBS-SBK tadi.
Dan sekarang bukan hanya Inyiak Canduang dan pengikutnya mengubah definisi lama. Sekarang semua sudah berorientasi kemajuan. Dan sebaliknya para penganut purifikasi ajaran dan peraktik ibadah mahdhah masih tetap sama. Namun mereka melakukan reorientasi (pendekatan ulang). Mereka lebih akomodatif di tingkat public dan konsisten dalam sikap dan amaliah perorangan.
Maka terjadilah reaktualisasi dalam aplikasi berkemajuan. Purifikasi mereka tetap dilakukan namun menghindari ketidaknyamanan pihak lain. Inilah titik awal dan ujung, QS, al-Anbiya’ 107: “Kami tidak mengutus engkau wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
Maka tesa dan anti tesa pada awal tulisan ini, seolah sudah menemukan sintesanya, Islam berkemajuan menjadi paradigma dan praktek kaum muda, kaum tua, tradisional, modern, pasca-modernisme, bahkan di kalangan milineal. Alla a’lam bi al-shawab. (Shofwan Karim Dosen-Lektor Kepala, Pascasarjana UM Sumbar)
Kesan dan Pesan Buya Shofwan Karim kepada Anggota PWM Sumbar 2022-2027
Ketua PW Muhammadiyah Sumbar, Buya Dr. Shofwan Karim di UM Sumbar, Ahad, (24/12)
MINANGKABAUNEWS.com, PADANG — Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sumbar 2015-2022 Buya Dr. Shofwan Karim memberikan pesan pada anggota PWM Sumbar 2022-2027, Rabu (4/1/2023).
Buya Shofwan menyampaikan kesannya terhadap anggota PWM Sumbar yang baru. Menurutnya, personil yang dipilih para peserta musywil adalah yang terbaik.
“Saya kan berharap senior dan junior jadi satu. Kolaborasi lintas generasi itu cara yang terbaik. Mudah-mudahan tetap kompak, insyaallah. melihat komposisi yang beragam latar belakang saya optimis,” ujarnya.
Masuknya banyak darah segar menurut Shofwan cukup variatif. Para personil yang baru seperti Apris, Sobhan Lubis, Abdul Salam, Zaim Rais, Marhadi Effendi, Zaitul Ikhlas Saad, Ki Jal Atri Tanjung, Ismail Novel, Yosmeri Yusuf dan Muhammad Najmi cukup variatif. “Tinggal nanti Dr. Bakhtiar membagi komposisi personilnya,” tuturnya.
Bekerja dengan Gembira dan Ikhlas
Harapan dari Buya Shofwan, mudah-mudahan semuanya bekerja dengan gembira, karena gembira itu landasan ikhlas. Orang yang mengeluh tidak bisa ikhlas. Kedua, orang bernilai kalau bergerak. Kalau tidak bergerak mati, semua berharga kalau bergerak. Kalau tidak bergerak tidak berharga.
“Air tidak bergerak akan menjadi penyakit. Pimpinan yang tidak bergerak akan menjadi penyakit. Ini kan orang-orang yang berpengalaman di organisasi, insyaallah. Tidak ada yang memulai dari nol. Saya kira ini yang terbaik,” kata Shofwan.
Dia juga mengharapkan agar PWM yang baru memiliki semangat memakai dan tidak menghabisi. “Tetap rajut ukhuwah dan kebersamaan seta kekompakan untuk Muhammadiyah berkemajuan,” harapnya .
Hasil Musywil Ke-42 di UM Sumbar juga menjadi kelegaan tersendiri bagi Buya Shofwan. “Saya lega karena tugas sudah berakhir dua periode di PWM, saya akan tetap terus aktif di persyarikatan,” tutupnya. (RI)
Kementerian Agama berulang tahun. Kemarin, 3 Januari diperingati. Tanggal itu telah ditabal sebagai hari lahir Kementerian ini. Kemenag didirikan lewat Penetapan Pemerintah No 1 tanggal 3 Januari 1946, pada Kabinet Sjahrir II.
Tokoh Minang, Muhammad Yamin menyuarakan adanya Kementrian Agama dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 11 Juli 1945. Sejak itu abadi sampai sekarang dan tidak pernah berubah atau digabungkan nomenklaturnya dengan yang lain.
Di negara-negara sekuler, komunis, dan liberal tak pernah ada agama sebagai nama atau nomenklatur dan berfungsi sebagai Kementerian.
Satu-satunya urusan Agama menjadi sepenuhnya urusan negara adalah Vatikan. Negara kota terkecil di dunia, seluas 44 hektar, berpenduduk diperkirakan 842 orang (2019). Vatikan berdiri sendiri dari Italia. DimulaI dari pernjanjian Lateran, 1929.
Perjanjian Lateran adalah salah satu bagian dari Pakta Lateran 1929. Perjanjian kesepakatan antara Kerajaan Italia di bawah pemerintahan Raja Vittorio Emanuele III dan Takhta Suci di bawah kepemimpinan Paus Pius XI untuk mengakhiri Permasalahan Roma yang telah ada sejak dulu.
Pemerintahannya disebut Takhta Suci. “Memiliki, kekuasaan penuh, kekuasaan eksklusif, dan yurisdiksi serta otoritas yang berdaulat” atas Negara Kota Vatikan.
Di luar Vatikan tidak ada satupun dari 188 negara anggota PBB yang bertatus demikian. Termasuk Indonesia.
Akan tetapi Indonesia memiliki kekhususan. Negara yang berdasarkan Pancasila ini, yang sila pertamanya, Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan negara beragama. Oleh karena itu wajar kalau ada orang yang tak beragama, tidak pantas pula disebut sebagai bangsa yang ber-Pancasila. Dengan begitu konsekuensinya tidak diakui sebagai bangsa Indonesia dalam ketatanegaraan baku.
Maka Kementerian Agama bukan hanya keniscayaan, tetapi wajib ada dalam urusan pemerintahan. Di dalam kerangka ini sudah ada Diroktorat Jenderal (Dirjen) berbagai urusan administari keagaamaan untuk bebagai agama resmi.
Persolannya adalah, apakah kementerian agama harus dipahami sebagai rezimisasi agama?
Haedar Nastir dan Din Syamsuddin menolak rezimisasi agama. Oleh Din dikatakana begini:
“UUD 1945 Pasal 29 menegaskan negara menjamin kebebasan beragama dan kebebasan menjalankan ibadat sesuai agama dan kepercayaannya. Maka pemaksaan suatu agama atau paham keagamaan tertentu kepada pihak lain adalah bentuk pelanggaran konstitusi.” (LLDIKTI, 8/9,2022).
Sebelumnya Haedar Nashir mengatakan,
“Satu diantaranya adalah tentang rezimentasi agama. Atau rezimentasi paham agama. Ini mungkin sesuatu yang baru ketika isunya tentang radikalisme agama, ekstrimisme agama, identitas politik agama dan lain sebagainya,”ungkapnya.
Rezimentasi agama, kata Haedar, “merupakan masalah di mana agama secara bias dan subyektif lalu ingin disenyawakan dengan negara dan menjadi kekuatan negara. Menurutnya, hal itu berlawanan dengan ide dan cita-cita Indonesia sebagai Negara Pancasila darul a’hdi wa sysyahadah.” (LLDIKTI, 8/9/22).
Melihat kepada bayangan diksi dan narasi kedua tokoh di atas, ada kekhawatiran bahwa rezimentasi agama bukan hanya bertentangan dengan konstitusi, di lihat dari pemahaman kebebasan memeluk dan menjalankan paham agama, tetapi akan menjadi deretan masalah bangsa pada masa kini dan depan.
Yang paling dikhawatiri, meski Kementerian Agama sudah mempunyai dirjen menurut agama resmi Indonesia, tetapi dimungkinkan karena syahwat rezimisasi, terasa dan akan terus ada upaya pemahaman agama dari kelompok tertentu ingin menunggangi kementerian ini. Wa Allahu ‘alam bi al-shawab.***
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. al-‘Ankabut [29]: 69)
Yang amat dihormati, Ketua Umum PP yang dihadiri Ketua PP Dr. H. Anwar Abbad, M.Ag., M.M; Ketua Umum PP Aisyiyah yang dihadiri Ketua Dr. Siiti Aisyah, M.Ag.
Ketua-ketua PPM dan PPA Anggota DPR dan DPD sekaligus MPR RI; Gubernur Sumbar; Ketua dan Anggota DPRD Sumbar; Forkompimprov; Bupati dan Wali Kota; Forkompim Kabupaten dan Kota Sumbar;
Tokoh Muhammadiyah dan Aisyiyah; MUI; LKAAM; Bundo Kandung; Pimpinan Orpol dan Ormas; Tokoh Masyakarat ; Wartawan Media Pers Cetak, TV dan Online; seluruh peserta, peninjau dan pengembira Muswil Terpadu Muhammadiyah dan Aisyiyah ke-42 Tahun 2022; serta para hadirin dan hadirat yang kami hormati. Baik yang hadir langsung Luring dan Daring yang dirahmati Allah swt.
Pertama marilah tak henti-hentinya bersyukur ke hadirat Allash swt dan bersalawat kepada Rasulullah saw. Atas ridha dan rahmat Allah swt kita dapat menyelenggaran pembukaan Muswil dan melanjutkan acara-acara Muswil setelah tadi malam kita melaksanakan Muspim.
Acara pokok Muswil adalah laporan keadaan persyarikatan dan apa yang menjadi dinamika persyarikatan, apa sedang dan telah dilaksanakan pada periode kerja kita 2015-2022. Isu-isu strategis yang akan menjadi pedoman untuk sekaligus menjadi rancangan program kerja PWM 2022-2027. Selanjutnya adalah pemilihan anggota dan ketua PWM yang baru untuk 5 tahun ke depan.
Untuk semua itu kita berterimakasih kepada PPM dan PPA yang telah merestui dan menghadiri dan meresmikan pembukaan Muswil sebentar lagi. Selain itu kita meminta Gubernu Sumbar memberikan sambutan.
Ucapan terimakasih dari PWM terhadap segenap komponen dan eksponen yang menyelenggarakan Muswil ini. Di antaranya Panitia Penyelenggara (OC); Panitia Pengarah (SC); Panitia Pemilihan Pimpinan (Panlih) dan Panitia Penerima Muswil UM Sumbar.
Berikutnya kita berterimakasih atas dukungan Gubernur terhadap Muswil ini serta pihak yang bersifat kelembagaan dan perorangan yang memberikan dukungan moril dan materil. Semuanya itu amat berharga dan Insya Allah menjadi tulang punggung untuk suksesnya Muswil terpadu Muhammadiyah dan Aisyiah kali ini.
Ketua Umum PPM, PPA, Peserta, Peninjau, Pengembira Muswil dan Undangan yang kami hormati.
Tema Muswil Muhammadiyah ke-42 ini adalah, “Memajukan Sumatera Barat dan Mencerahkan Umat”, merupakan repleksi lanjutan ke tingkat wilayah dari inspirasi Tema Muktamar Muhammadiyah ke-48, “Memajukan Indonesia Mencerahkan Semesta.”
Tema Muswil sekalgus merupakan lanjutan dari inspirasi produk PWM 2015-2022 yang berintikan “Memajukan Muhammadiyah, Memajukan Sumatera Barat”.
Dari jahitan inspirasi itu, Muhammadiyah Sumbar telah, sedang dan terus melaksanakan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar; ikhtiar dan amal Pendidikan dari TK/BA sampai ke PT; amal social santunan dan panti asuan; Kesehatan dan Penolong Kesejahteran Masyarakat; Ekonomi Produktif dan keringat kerja keras kemanusiaan dalam setiap musibah dan bencana alam serta bencana pandemic covid. Khusus musibah pandemic Covid-19 telah membuat periode PWM, PDM, PCM damn PRM yang seyogyanya selesai tahun 2000 lolu kini khusus untuk PWM berakhir ujung 2022 ini.
Rangkaian itu semua sudah menjahit peranan dengan memeras cucuran keringat serta singsingan lengan baju serta kubangan kaki bahkan air mata yang ditumpahkan oleh 22 Majelis, Lembaga, Badan, BTM, LazisMu, MDMC, MCCC pada 7 tahun terakhir ini. Mereka bahu membahu bersama 19 PDM Kab/Kota; 154 Cabang dan 787 Ranting serta seluruh aktifis KB Muhammadiyah bersama 7 Ortom: Aisyiah, PM, NA, IMM, IPM, HW dan Tapak Suci PM, bersama-sama dengan seluruh warga dan masyarakat Sumbar.
Dalam kaitan itu semua, pastilah kita bergumam dan bahkan meneriakkan kata, “ Kerja Belum Selesai dan Tidak akan Pernah Selesai”. Maka di situlah relevansinya dengan QS. Al-Insyirah ayat 7
فَإِذَا فَرَغۡتَ فَٱنصَبۡ (٧)
Maka apabila kamu telah selesai [dari sesuatu urusan], kerjakanlah dengan sungguh-sungguh [urusan] yang lain. (7)
Selain dari itu mari kita mengingat kembali. Muhammadiyah adalah salah satu organisasi Islam yang besar di Indonesia. Tujuan organisasi Muhammadiyah dijelaskan dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah Bab III pasal 6 (enam), sebagai berikut:
“Maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”
Penjelasan mengenai masyarakat Islam yang sebenar-benarnya oleh beberapa sumber dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah dimaknai sebagai masyarakat tauhid yang moderat, teladan, inklusif dan toleran, solid dan peduli antar sesama.
Selain itu juga mempunyai makna kesadaran mengemban amanah sebagai wakil Allah di bumi yang bertugas menciptakan kemakmuran, keamanan, kenyamanan dan keharmonisan serta cepat menyadari kesalahan dan kekhilafan untuk kemudian meminta maaf. Sehingga terhindar dari dosa dan durhaka yang berkepanjangan sebagai upaya mendapatkan kebahagiaan di akhirat.
Tujuan utama Muhammadiyah adalah juga mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.
Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata social kemanusiaan yang lebih berkemajuan dan mencerahkan alam manusia dan masyakatnya.
Itu semua kita tarik kepada lokalitas Sumbar dan wilayah adat dan budaya Minangkabau yang semua kita Muhmmadiyah dengan segenap jajaran tadi berenang dalam arus perubahan untuk selalu maju dan berkemajuan.
Sebagai Muslim, Minangkabau dan Muhammadiyah merupakan tiga tali sapilin dan tigo tunggu sajarangan yang terus menerus kita isi kepada semua yang berorientasi kepada kemajuan dan mencerahkan.
Khusus untuk pemilihan PWM yang baru marilah kita pedomani dinamika Muktamar ke 48 di Surakarta baru-baru ini 19-20 November 2022 yang sejuk, khidmat, tertib dan peroduktif.
Sejalan dengan itu berdasarkan pengalaman dan rujukan para pakar manajemen persyarikatan, paling tidak menjadi pimpinan dalam persyarikatan yang merupakan harakah atau gerakan berbasis kemandirian untu bertaawwun ini, seperti Muhammadiyah ini, paling tidak ada 5 hal yang perelu dipertimbangkan:
(1) tokoh yang cerdas, kokoh dan kuat paham keagamaannya; (2) kreatif, tidak menunggu dan ispiratif; (3) komunikatif menjalin hubungan internal dan eksternal; (3) berkarakter kokoh dan kesantunan yang tinggi; (4) mampu bekerja sama dan saling berkerja dalam aura koletif-kolegial; serta (5) mampu membangun kimesteri antara sesama untuk saling paham dan memahami kerja yang produktif.
Itulah aplikasi dari dari keperibadian kepemimpinan propetik yang sering dikutip: Siddiq, Fathanah, Amanah dan Tabligh dalam kontek memajukan dan mencerahkan ini.
Tentu saja di dalam pemilihan pemimpin di dalam Muhammadiyah tidak dikenal grasa-grusu apalagi blok-blokan dan jegal-jegalan. Semuanya berbasis keikhlasan. Oleh karena itu mari kita pedomani QS Al Maidah ayat 8
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan [kebenaran] karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (8)
Pada ujung Pidato Iftitah ini, Muhmmadiyah Sumbar dengan segenap jajaran lembaga dan warga Ombak nan Badabua ke Si pisau-pisau anyuik sampai ke Durian di takuak rajo, dari batas ke Sumut, Riau, Jambi dan Bengkulu, kita berterimakasih dari lubuk hati paling dalam kepada Gubenur, Bupati, Wali Kota, Camat, Wali Ngari, Wali Jorong dan Korong, Lurah dan OPD, Anggota Legislatif Nasional, Provinsi dan Daerah, serta Forkompimprov, Kab dan Kota, para filantropis, swasta, dunia usaha, tokoh dan perorangan yang telah membantu dan niscaya kami harap terus membantu Muhammadiyah Minangkau dan Sumbar dari Ranting, Canbang, Derah dan Wilayah.
Demikianlah Pidato Iftitah ini, semoga menjadi salah satu inspiras bagi Muswil kita ini. Bila ada kekurangan Muhammadiyah pada periode yang akan berkahir besok dan kesalahan dalam penyampaian Pidato Iftitah ini, tentualah tak ada gading yang tak retak, maka maaf dan rela kami minta. Kepada Allah kami minta ampun.
Nashrum minallah wa fathun karim wa basyyiril mu’minin,
Shofwan Karim Ketua Umum Yayasan Pusat Kebudayaan Minangkabau (YPKM) Ketua PWM dan Dosen Pascasarjana UM Sumbar
SUDAH lama wacana kebudayaan terpinggirkan. Keadaan itu semakin hari tergusur oleh riuh-rendah wancana politik dan sarut marut ekonomi global, regional, dan nasional.
Meskipun politik dan ekonomi menurut para antropolog termasuk di antara unsur-unsur universal kebudayaan, tetapi wacana kedua frasa itu tidak menyentuh kepada defnisi filosofis kebudayaan yang merupakan repleksi budi dan daya. Selama ini, definisi politik dan ekonomi lebih kepada definisi teknis-eksekusi-operasional.
Apakah politik dan ekonomi kita pada beberapa kurun waktu dan dekade-dekade terakhir ini berbasis kebudayaan? Pertanyaan yang agaknya aneh bagi para politisi dan pelaku ekonomi di negeri ini.
Bahkan sejak hampir dua bulan terakhir, wacana kebudayaan lenyap karena isu kasus pembunuhan Brigadir J dan subsidi pemerintah yang tinggi untuk rakyat. Di tengah keadaan itu, Yayasan Pusat Kebudayaan Minangkabau bekerja sama dengan Pemprov Sumbar dan DPD RI berhajat untuk melaksanakan Kongres Kebudayaan.
Sebagai agenda Pra-Kongres, pada 9 Agustus lalu sudah dilaksanakan acara Peluncuran Kongres dimaksud di sebuah hotel di Padang. Irman Gusman, Musliar Kasim, Nursyirwan Efendi, Insanul Kamil dan Gubernur Sumbar menyampaikan beberapa pemikiran tentang pentingnya Kongres Kebudayaan ini.
Selanjutnya, pada Senin 5 September ini dilaksanakan Seminar Hasil Survei Persepsi Masyarakat tentang Makna Kebudayaan di Indonesia di Padang. Agenda ini merupakan prelimeneri atau awal Pra-Kongres di samping dua agenda lain: Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumbar dan Revitalisasi, Rekonstruksi (?) Adat dan Budaya Minangkabau yang akan menjadi agenda Pra-Kongres berikutnya.
Kembali kepada survei, giat ini dilaksanakan pada 13 sampai 29 Maret 2022 lalu. Hanya karena hal-hal teknis, survei yang digagas tahun lalu itu sebelum nanti Kongres Kebudayaan ditayangseminarkan pekan ini.
Akan menjadi pembahas di antaranya Dr Yudi Latif, seorang penulis produktif mantan Kepala Badan Pembina Ideologi Pancasila yang “dinobatkan” sebagai pemikir kenegaraan dan kebudayaan. Pembahas kedua adalah Prof. Dr. Nursyirwan, Antropolog lulusan sebuah Universitas di Jerman, sekarang Direktur Pascasarjana Unand.
Survei dilaksanakan oleh Dr. Asrinaldi dan Tim dari Unand, merangkum beberapa legaran diskusi di YPKM. Terpantik gagasan Musliar Kasim dan Irman Gusman, anggota dan Ketua Pembina YPKM yang menginginkan bahwa Kongres Kebudayaan harus diawali dulu dengan survei tentang seberapa jauh persepsi masyarakat Indonesia tentang kebudayaan.
Hal ini terasa amat penting karena semua sudah merasakan goncangan kebudayaan setelah dunia di haru biru oleh revolusi 4.0 dan 5.0 tekonologi digital dan informasi yang tengah berlangsung sekarang ini.
Bagaimana persaingan, sekaligus partnership, kemitraan global, regional dan nasional antar bangsa-bangsa dan internal bangsa di dunia dewasa ini. Wa bil khusus bagi masyarakat Indonesia.
Oleh tim dirumuskan tujuan survei ini meliputi persepsi tentang beberapa hal. Pertama, nilai agama dan kebudayaan yang menjadi akar ideologi Pancasila yang meliputi nilai-nilai ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Kedua, peran dan kedudukan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia dalam kehidupan masyarakat Indonesia di era revolusi teknologi 4.0. Ketiga, semangat kemajemukan dan multikulturalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keempat, respons masyarakat terkait dengan revolusi teknologi 4.0 dan menuju 5.0 serta kesiapan mereka menghadapi perubahan tersebut. Kelima, mengidentifikasi harapan masyarakat terkait dengan peran dan tanggung jawab pemerintah, masyarakat itu sendiri, dan pemangku kepentingan bangsa dalam merespons perkembangan zaman yang terus berubah.
Tentu saja hasil survei bukan jawaban konkret atas lahirnya peta jalan kebudayaan Indonesia. Peta jalan itu akan dijawab nanti pada Kongres Kebudayaaan itu sendiri. Hebatnya, tim survei telah mendapatkan skema awal persepsi masyarakat Indonesia secara acak dari Sabang sampai Merauke dan dari Sangih sampai ke Pulau Rote.
Disimpulkan dalam 7 tabel persepsi. (1) Persepsi terhadap bebudayaan Indonesia dan lokal; (2) Persepsi terhadap Kebudayaan global; (3) Persepsi terhadap Pancasila sebagai ideologi Bangsa; (4) Persepsi terhadap revolusi 4.0; (5) Persepsi terhadap peran individu dalam pengembangan Kebudayaan; (6) Persepsi terhadap Indonesia emas Tahun 2045; (7) Persepsi terhadap pemahaman budaya generasi muda.
Dr. Asrinaldi dan Tim mengompilasi dari hasil data survei yang mereka lakukan, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: Secara umum Indeks Persepsi Masyarakat Indonesia tentang Kebudayaan berada pada level yang tinggi sebanyak 54,1%. Ini dapat dimaknai bahwa masyarakat masih menempatkan kebudayaan sebagai variabel yang penting dalam membangun bangsa Indonesia.
Komposisi persepsi masyarakat mengenai kebudayaan Indonesia dan lokal berada pada level sedang, yaitu 4,2 poin. Artinya, eksistensi kebudayaan Indonesia dan lokal masih menjadi perhatian masyarakat.
Akan tetapi ditemukan pula hal-hal yang mengkhawatirkan. Di antaranya ada persepsi bahwa nilai-nilai kebudayaan Indonesia mulai tergerus oleh kebudayaan asing (global) dengan indeks 3,86 poin.
Selanjutnya, Indeks Komposisi Persepsi Terhadap Kebudayaan Global cenderung rendah dengan angka 3,84. Meskipun ada pernyataan bahwa budaya global mudah diadopsi dan disesuaikan dengan budaya Indonesia untuk pemajuan kebudayaan Indonesia, namun indeksnya rendah yaitu sebesar 3,62 poin.
Sementara itu terkait dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa, indeksnya berada pada level sedang dengan angka 4,13 poin. Masalah yang mendapat perhatian dari masyarakat karena memiliki indeks rendah adalah perlunya tafsir ulang terhadap sila-sila yang ada di Pancasila. Fenomena ini ditegaskan dengan nilai indeks item sebesar 3,77 poin.
Pada aspek Indeks Komposisi Terkait Persepsi Terhadap Revolusi Teknologi 4.0 berada pada level rendah dengan nilai indeks sebesar 3,93 poin. Pemerintah perlu memberi perhatian khusus pada aspek ini.
Pada bagian lain, masyarakat memberi perhatian pada kondisi budaya lokal yang kurang berkembang. Hal itu dapat mempengaruhi perkembangan kebudayaan Indonesia. Indeks item pernyataan ini paling rendah di antara kelompok persepsi ini, yaitu 3,69 poin.
Begitu juga dengan indeks item pernyataan Indonesia menjadi bangsa yang maju dan setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia Tahun 2045 juga mendapat indeks yang rendah sebesar 3,87 poin. Artinya, dari aspek kebudayaan persepsi yang ditemukan tidak menggembirakan.
Sementara aspek lain yang juga menjadi perhatian publik adalah pemahaman generasi muda terhadap nilai-nilai budaya setempat yang juga perlu mendapat perhatian karena indeks pada pernyataan ini juga rendah dengan angka 3,93 poin.
Tentu saja survei ini akan memberikan kabar baik. Di antaranya bahwa kebudayaan amatlah penting untuk pemajuan kebudayaan. Dan sebagai infrastruktur sudah ada undang-undang tentang kebudayaan nasional.
Pada 27 April 2017, Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan disahkan pemerintah sebagai acuan legal formal pertama untuk mengelola kekayaan budaya di Indonesia.
Yang perlu diingat, kekayaan budaya, bukan hanya bersifat material seperti artifak budaya, seni dan budaya tetapi yang amat mendasar adalah kepribadian dan cara berfikir (world-view) serta cara hidup (the way of life) bangsa Indonesia.
Hedonistik, di antaranya yang membuat korupsi merajalela, meski sudah ada Undang-Undang Antikorupsi tetap saja harus dimulai dari kebudayaan. Dengan begitu, sinisme Proklamator Hatta pada 5 dan 6 dekade lalu (Marwata, 2022; Mahfud, MD, 2021) dan bahwa korupsi menjadi budaya, harus terus menerus kita ubah menjadi korupsi adalah potret orang yang tak berbudaya.
Koruptor harus dilawan dan itu yang paling mendasar adalah melalui kebudayaan. Wa Alla a’lam bi al-shawab.
Beberapa hari sebelum Ramadhan, ada Musrenbang RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah) Tahun 2023 . Sebagai Ketua Muhammadiyah Sumbar, penulis diundang dan hadir. Musrenbang kali ini terasa nuansa berbeda.
Selain pidato dan sambutan Gubernur, Ketua DPRD dan Bappenas, ada sesi rencana aksi penyandang disabilitas. Narasumber y
ang spesial untuk ini adalah Antoni Tsaputra, S.S, MA, Ph.D. Ia seorang Doktor dengan disabilitas fisik berat.
Alumni salah satu universitas terkenal di Australia dan kini menjadi Dosen di salah satu PTN di Padang ini memaparkan dengan amat mengena. Dari kursi roda, ia menyentuh nalar, rasio dan kalbu para hadirin.
Ingatan ini melayang ke Quran Surat Abasa, 1-10. Abdullah bin Ummi Maktum datang kepada Nabi. Ada kesan Nabi agak abai terhadap penyandang disabilitas tunanetra ini. Di tenggarai kurang hangat penerimaannya.
Menurut asbabun nuzul, ayat-ayat ini adalah bentuk halus teguran Allah kepada Nabi. Atas sikap Rasulullah terhadap salah satu warga umat. Kala itu, Nabi Muhammad sedang berdiskusi dengan pembesar Quraisy. Di antara mereka ada Abu Jahl, ‘Utbah bin Rabi’ah, ‘Abas bin Abd al-Muthollib, dan Walid bin Murighah. Diskusi tersebut dilakukan dengan harapan kaum Quraisy bisa tercerahkan dan masuk Islam.
Di tengah diskusi tersebut, datanglah Abdullah bin Ummi Maktum. Ia minta diajarkan mengenai Islam dan mengucapkannya sampai berkali-kali.
Rasulullah SAW dianggap terganggu karena percakapannya menjadi terputus. Akhirnya menunjukkan tatapan tidak senang dan memalingkan wajahnya dari Abdullah. Dalam ayat kedua dijelaskan bahwa Abdullah memiliki fisik yang tidak sempurna, ia terlahir dalam keadaan buta.
Bila Nabi yang maksum (nihil dosa) saja ditegur Allah, bagaimana pula kaum muslimin secara perorangan lebih-lebih pemerintah yang abai kepada hamba Allah yang disabilitas?
Kembali ke Dr. Antoni, ia memetakan keadaan para penyandang berkemampuan khusus di Indonesia. Berkemampuan khusus itu ternyata bukan hanya orang yang panca indra dan ada sebagian anggota jasad dan mungkin juga rohaninya tak berfungsi normal atau disablitas.
Termasuk kepada kotegori ini juga orang tua yang semakin uzur dan anak-anak yang memang belum dapat mandiri dalam menjalankan fungsi fisik dan psikhisnya.
Menurut Dr. Antoni yang juga periset pada Australia Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN) tadi, perhatian kepada disabilitas sangat minim. Oleh karena itu Antoni mengajukan kerangka pembangunan yang inklusi.
Dari beberapa literatur, pembangunan infra struktur berwawasan inklusi ini sudah banyak diteliti dan ditulis. Kerjasama Bappenas dengan Australia meneliti wawasan pembangunan inklusi di bawah payung “Gender Equalitiy and Social Inclusion (GESI)”.
Asian Development Bank (ADB) mendefinisikan inklusi sebagai upaya pada penghapusan halangan bagi kelompok-kelompok marjinal. Penguatan insentif untuk meningkatkan akses kesempatan-kesempatan berpartisipasi dalam proses pembangunan bagi individu-individu dan kelompok-kelompok yang beragam.
Karenanya inklusi sosial lebih pada setiap anggota masyarakat dapat menikmati hak dan manfaat yang sama pada semua bidang. Baik itu infrastruktur maupun suprastruktur. Pembangunan sarana fisik perhubungan, pasar, gedung perkantoran dan lainnya, mestilah dapat dengan enteng diakses para disabilitas. Begitu pula suprastruktur politik, ekonomi, maupun sosial dan budaya dapat menampung aktifasi para disabilitas.
Lalu Sumbar diminta Antoni untuk pembangunan infrastruktur masa sekarang dan ke depan mempertimbangkan dengan sungguh, wawasan pembangunan yang inklusi ini. Dan di Ramadhan yang hanya sekali setahun, sebulan penuh umat muslim berpuasa ini, kiranya melandasi aura lain dari bentuk pembangunan yang inklusi itu.
Secara intensif dalam setiap waktu ada pencerahan dan taushiyah tentang hikmah Ramadhan. Baik oleh para muballigh, ustazd, ulama, media sosial, YouTube dan internet of thing. Semuanya mendiskusikan bahwa puasa adalah ibadah universal.
Dalam sejarah umat manusia, semua Nabi dan Rasul dari Adam as sampai yang terakhir Muhammad SAW dengan kaifiat yang bervariasi termasuk umat agama lain yang samawi dan ardhi menjalankan ritual ibadah yang satu ini.
Semua menahan haus-dahaga, lapar, hubungan bologis meskipun di luar siang Ramadhan halal. Menahan diri dari semua yang membatalkan. Bahkan menurut Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i (1058-1111) yang biasa disebut Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, puasa lebih dari hanya sekedar aspek fisik.
Bagi Filosof, Teolog , Sufi Muslim Persia itu, ada kategori tertinggi puasa, yaitu puasa khawasil khawas. Menahan dari berkata kosong, kotor, “nyeleneh”, marah dan emosional. Menahan hati secara total dari arus ketidakbaikan. Menghindar dari cacat individual dan sosial. Berpuasa fokus kepada semata-mata mengarus-utamakan yang ihsan dan maslahat.
Dengan begitu inspirasi Ramadhan dan inklusi sosial puasa adalah ibadah bagian dari pembangunan infrastruktur sosial. Tanpa membeda-bedakan kedudukan dan posisi sosial, ekonomi dan strata kehidupan. Semua menahan diri dan senantiasa berprilaku baik. Wa Allah a’lam bi al-Shawab. *
Sangat penting dan sangat menarik kajian telisik al-Quran tetang teologi bencana ini.
Pertama, bencana banjir yang menimpa kaum Nabi Nuh (Q.S. al-Mukminun [23]: 27).
Kedua, bencana hujan batu seperti yang menimpa umat Nabi Luth. (Q.S. Al-A’râf [7]: 84).
Ketiga, Bencana gempa bumi atau (al-zalzalah) ini pernah terjadi pada umat Nabi Musa (Q.S. (Q.S. al-A’râf [7]:155).
Keempat, bencana angin topan yang menimpa orang kafir pada waktu perang Khandaq (Q.S. al- Ahzâb [33]:9).
Pendekatan tafsir maudhu’i atau tematik dalam penelitian AM membuat Saga Jantan (SgJ) kembali merekognisi kuliah doctoral-Drs, 45 dan Magister-M.A., Doktor-nya, 33, 30 tahun lalu.
Pada waktu itu kata teologi (Theology) ilmu Ke-Tuhanan tidak biasa di kalangan umum.
SgJ ingat, suatu kali, ada beberapa orang yang datang ke Fakultas Ushuludin Univertas di mana SgJ menjadi dosen sebelum pensiun sebagai ASN.
Mereka mempertanyakan apa itu teologi dan ilmu kalam yang ada dalam mata kuliah di fakultas itu. Bahkan sebenarnya mereka memprotes. Setelah disyarahkan dengan sabar dan rinci, mereka paham.
Oleh karena itu harus ditarik ke kata atau diksi awal. Terma yang sudah ada sejak kajian klasik, pertengahan dan era pra-modern pemikir Muslim menurut bidangnya.
PW Muhammadiyah membantu warga Andalas Padang terdampak musibah kebakaran rumah, 2026. (Foto Dok PWM)
Kajian ini secara kelasik disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, Ilmu Akidah atau Ilmu Ushuluddin.
Yakni ilmu yang berbicara tentang sistem keyakinan Islam.
Sayangnya, istilah teologi selama ini dipahami sangat teosentris.
Artinya hanya mengkaji dan mendiskusikan sejumlah konsep-konsep untuk “mengurusi” Tuhan. Misalnya apakah kalâmullâh itu qadîm atau hadîts?.
Bagaimana sifat-sifat Tuhan, bagaimana keadilan Tuhan, bagaimana menilai orang lain kafir atau mukmin dan sebagainya.
Sementara itu persoalan manusia dan lingkungan kurang dikaitkan. Bahkan kalau pun ada terasa agak kurang.
Padahal al-Quran banyak menayangkan hal-hal itu. SgJ menelisik hasil penelitian AM ini dengan lebih hati-hati.
Sambil membaca pula dengan cermat Laporan Posko Tanggap Darurat Muhammadiyah Disaster Menagement Center (MDMC) di Kajai dan Malampah, ujung jari SgJ terus membalik puluhan lainnya ayat al-Qur’an terkait.
Baik simbolik, konseptual, tekstual, kontektual, filosofis dan historis.
Akan tetapi Kakek 70 tahun ini belum akan membahas apa yang menari dalam benaknya sebagai yang sering pula disebut fikih bencana.
Yaitu cara spontan tangggap-darurat bencana. Begitu pula program lanjutan. Biasanya disebut sebagai trauma healing, rehabilitasi-rekonstruksi (Rehab-Rekon) menurut ajaran Islam dalam pendekatan fisik material- non-fisik immaterial, jasmani-rohani-spiritual.
“Harus satu-satu dulu”, katanya bergumam sendiri.
Kembali ke teologi bencana. AM mengikhtisarkan 4 paradigma atau gugus pikir.
Pertama,teologi bencana adalah suatu konsep tentang bencana dengan berbagai kompleksitasnya yang didasarkan pada pandangan al-Qur’an.
Menurut al-Qur’an terma bencana dapat terwakili dengan beberapa istilah, yaitu bala’ yang secara bahasa dapat berarti jelas, ujian, rusak.
Bencana yang diungkapkan dengan term bala’ mempunyai aksentuasi makna bahwa bencana itu merupakan bentuk ujian Tuhan yang sengaja diberikan Tuhan untuk menguji manusia, agar tampak jelas keimanan.
Sebagai sering dikutip muballigh potongan hadist, keimanan itu yazid wa yanqush (adakalanya bertambah-adakalanya berkurang).
Bencana yang disebut bala’ dapat berupa hal-hal yang menyenangkan , dapat pula hal-hal yang tidak menyenangkan.
Kedua, bencana dengan terma mushîbah lebih merupakan segala sesuatu yang menimpa manusia yang umumnya berupa hal-hal yang tidak menyenangkan.
Ketika terkait dangan hal-hal yang baik, maka al-Qur’an menisbatkannya kepada Allah, sementara ketika musibah itu terkait dengan hal-hal yang menyengsarakan, al- Qur’an menyatakannya, bahwa hal itu akibat hal-hal lain, dan boleh jadi karena kesalahan manusia itu sendiri.
Maka musibah itu sesungguhya bisa sebagai ujian, bisa pula sebagai teguran, bahkan juga bisa sebagai siksaan.
Ketiga, bencana juga disebut dengan fitnah, maka kecenderungan maknanya adalah untuk menguji manusia. Bencana yang diungkapkan dengan terma fitnah lebih merupakan ujian untuk mengetahui kualitas seseorang.
Maka menurut AM setelah meneliti ayat-ayat al-Quran yang relevan, secara ontologis (hakiki-wujudiah) al-Qur’an memandang bahwa bencana itu merupakan bagian dari sunnah kehidupan, yang memang telah menjadi “desain” Tuhan di al-Lauh Mahfudz.
Bencana tidak mungkin terjadi kecuali atas izin Tuhan dan atas sepengetahuan-Nya.
Akan tetapi hal ini tidak berarti lalu manusia hendak menyalahkan Tuhan, sebab terdapat berbagai penyebab terjadinya bencana alam antara lain,
sikap takdzîb (mendustakan) terhadap ayat-ayat Tuhan dan ajaran para rasul,
zhalim berbuat aniaya terhadap diri, tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya
israf (berlebihan-lebihan) dalam bermaksiat dan mengeksplotasi alam,
jahl (berlaku bodoh), yakni tahu kebenaran dan kebaikan tetapi dilanggar, dan
takabbur (sombong) dan kufur nikmat.
Untuk itu, diperlukan kearifan dan berfikir menyauk lebih dalam ke lubuk hikmah setiap menghadapi bencana.
Antara lain senantiasa, bersabar, optimis, tidak berputus asa dari rahmat Tuhan dan senantiasa bermuhasabah (introspeksi diri).
Berbagai bencana yang menimpa manusia mengandung pesan moral antara lain sebagai tanda peringatan Tuhan.
Tentu pula sebagai bahan evaluasi diri. Lebih dari itu tanda kekuasaan-Nya dan teguran Tuhan buat manusia supaya kembali ke jalan yang benar.
Selanjutnya, harus selalu waspada. Apalagi kalau menurut penelitian dan teori bahwa semua bencana sudah dapat diasumsi dan diprediksi. Meski mungkin oleh sebagian pihak diangggap bersifat spekulatif tetapi tetap bukan khayalan kosong.
Dan yang faktual akan diuji terus menerus sesuai gejala alam . Hal itu dalam tinjauan teologis, sebenarnya juga merupakan takdir dan mungkin sunnatullah.
Wa Allahu a’lam. ***
Shofwan Karim, Dosen PPs UM Sumbar, Ketua PWM dan Ketua Umum YPKM.
Seakan terdakwa, tertuduh, sekaligus ada pembelaan terhadap generasi muda Minangkabau (GMM). Hal itu dilakukan dalam FGD (Focus Group Discusion), Rabu, 23 Maret 2022 lalu.
Ditaja atas kerjasama UM Sumbar-FKP (Forum Komunikasi Palanta). Bertempat di Covention Hall Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag, Kampus III UM Sumbar di Bukittinggi.
Gubernur Mahyeldi personal sebagai pembicara kunci. Nara sumber Prof. Dr. Ir. H. Musliar Kasim, M.P.-Rektor Univ. Baiturrahmah-Wakil Menteri Dikbudnas (2011-2014). Kini Ketua MPW-ICMI Sumbar.
Rektor ISI Padangpanjang, Prof. Dr. Novesar Jamarun. Prof. H. Ganefri, Drs., M.Pd., Ph.D-Rektor UNP. Rektor UM Sumbar Dr. Riki Saputra, M.A,.
Ketua FKP Dr. Mawardi, M.Kes, Wako Padangpanjang-Ketua Gebu Minang Fadly Amran, BBA Dt. Paduko Malano. Ketua MUI Sumbar Dr. H. Gusrrizal Gazahar, Lc., M.A.
Tajuk FGD ini cukup menantang, “Berkurangnya Kualitas Generasi Muda Minangkabau ”
Saga Jantan (SJ) mengikuti secara Daring. Ia ingin mengubah kata “nya” menjadi “kah”. Untuk lebih netral. Mka judul menjadi, “Berkurangkah Kualitas Generasi Muda Minangkabau?”
SJ seakan membuat “proceeding” sendiri. Prosiding “icak-icak” dalam kepala SJ.Idenya terbersit dari pembicara kunci, nara sumber dan tanggapan peserta forum.
Pertama, generasi muda dan generasi tua Minangkabau. Keduanya menjadi “terdakwa atau tertuduh”.
Sebagai pra-anggapan, generasi muda sekarang hidup dalam dua wajah. Bergerak di budaya ideal normatif Minangkabau dan berenang di lautan-samudra perubahan.
Ada dakwaan, GMM tercerabut dari akar budayanya. Tidak tahu di “nan-ampek” dan seterusnya.
Kedua, seakan pembelaan. “Nyeleneh”nya GMM, tersebab kurangnya keteladanan. Di situ yang terdakwa adalah generasi tua (GT). Dan GT justru yang egois. Apa-apa harus mencontoh mereka. Padahal mereka hidup di zaman”katumba”.
Dr. Riki menayangkan cluster generasi. Dari silent generation, Baby Boomer, (lelahiran 90 -70-60 tahun lalu) ke generasi milenial x, y, z dan alpha (kelahiraran 50, 40, 30 ke 20-10 tahun lalu). Ia memaparkan bahwa tiap generasi itu beda tantangan dan peluangnya.
Prof. Novesar menyentil. Jangan di tarik ke belakang terus menerus. Atau frasa lain, “kalau nyopir mobil jangan hanya lihat kaca spion. Bisa ketabrak”.
Kita akui dan belajar ke sejarah. Founding Fathers republik ini mayoritas “urang awak”. Proklamator hanya dua, Soekarno-Hatta. Ini artinya 50 persen saham kita. Sebagai motivasi boleh saja ada yang terus ulang-sebut tokoh hebat kita.
Soekarno menjuluki Agus Salim “The Grand Oldman”. Ada Tan Malaka, Syahrir, Yamin, Natsir, Hamka dan seterusnya.
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi Imam Besar Masdjidll Haram, tokoh utama Mazhab Syafii di Mekah. Syekh Thaher Jalaludin al-Falaki, ulama dan ahli ilmu falak, jurnalis Islam dan pendidik utama di Malaya dan kemudian mukim di Singapura.
Tunku Abdul Rahman, Proklamartor dan PM Pertama, Malaysia. Peresiden pertama Singapura Yusof Bin Ishak. Semua mereka adalah pohon yang tumbuh dari bibit dan bebet Minangkabau.
Begitu puluhan lainnya tokoh primer dari 10 negara Asean banyak yang ditulis sebagai zurriyyat-keturunan Minangkabau .
Namun ada nara sumber dalam FGD ini, seakan mengatakan, “sudahlah, jangan mangapik daun kunyik”. Itu sudah selesai.
Bagaimana GMM sekarang dan ke depan? Apa capaian ilmu pengetahuan mereka. Bagamana merebut kepakaran . Bagaimana kemahiran dan keahlian yang harus wujud pada diri mereka?
Maka muncul nama yang juga ratusan kalau tidak ribuan keturunan Minang yang berhasil menjadi “the top” di bidangnya.
Cuma mereka lebih banyak hidup, berprofesi, menjadi tokoh di luar Sumbar. Politisi dan kritikus nasional yang vocal.
Eselon atas di kementerian, komisaris dan direksi BUMN, aktivis YouTuber, Podcast, Content Creator, Webmaster dan pegiat ekonomi digital, banyak “urang awak”. Diperkirakan ada 20 persen lebih mereka yang keturunan Minang.
Politisi Minang Senayan, sukses menjadi representasi dari 33 Provinsi Inonesia lain. Tragisnya, bahkan ada beberapa yang pernah mencalonkan diri di Sumbar tak beruntung. Mereka sukses di luar sana. Tentu kerisauan JK yang sering menyentil kini kurangnya muballgh kondang yang kurang dari Minang, perlu kita renungkan pula.
Oleh karena itu mempersempit generasi muda Minangkabau dengan yang hanya lahir, hidup, belajar dan berprofesi di Sumbar, mungkin kurang relevan.
Ketiga, masa depan generasi muda Minangkabau itu, bukan Sumbar . Lapangan mereka itu Indonesia dan dunia. Akan tetapi apakah Sumbar harus biasa-biasa saja?
Agaknya ini yang hendak dijawab FGD kemarin itu. Berapa banyak keberhasilan lulusan SMA dan Madrasah di Sumbar yang tembus masuk 10 rangking PTN/PTS terbaik pada satu dekade terakhir? Berapa banyak yang tembus kuliah di Universitas ternama di 5 Benua di dunia?
Lebih dari itu, dalam keberagamaan dan ilmu agama seberapa banyak generasi muda Sumbar yang sedang dan siap menjadi ulama hebat, pakar dan teladan umat? Tentu kerisauan JK Wapres 2004-2009; 2014-2019, sumando kita yang sering menyentil muballgh kondang yang kurang di Jakarta dari Minang, perlu kita renungkan pula.
Ada suara bahwa kualifikiasi merka tidak harus selalu dikaitkan dengan Buya, Inyiak dan Syekh zaman dulu. Bagaimana sosok mereka itu kini dan ke depan?
Nara sumber mengajukan beberapa alternatif. Sebagian besar tentang skill yang dibutuhkajn zaman ini. Di samping hard skill (piranti keras) lebih-lebih lagi soft skill (piranti lunak).
Banyak pakar menayangkan “21st Century Skill” memerlukan 17 kemampuan dan kompetensi. Itu yang klop untuk suksesnya seseorang masuk dunia kerja sekaligus menjadi umat dan warga bangsa yang baik.
Prof. Musliar menawarkan 9 kompetensi kemampuan masa depan dimaksud. Berkomunikasi baik dan produktif. Berpikir kritis dan jernih. Menjadi warga negara yang bertanggungjawab. Mampu hidup dalam masyarakat yang mengglobal. Mampu mempertimbangkan segi moral satu permasalahan.
Selanjutnya, mampu mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda . Memiliki minat luas dalam kehidupan. Memiliki kesiapan untuk bekerja. Memiliki kecerdasan, kreativitassesuai dengan bakat-minatnya
Ilustrasi foto pernikahan GMM 2022 (Dok Internet)
Hanya 5 atau 6 yang hard skill dari 17 item di atas tadi yang perlu sekolahan. Selebihnya datang dari rumah tangga, lingkungan dan masyarakat. Soft skill yang intinya karakter, akhlak serta kondisi kejiwaan dan budaya lebih menentukan.
Kerja keras, stabilitas dan suasana hati. Bekerja di tenggat waktu terbatas dan di bawah tekanan. Dan sekarang generasi milenial lebih bebas melompat dari satu profesi ke yang lain.
Mereka mampu bekerja simultan, multi-tasking karena lancar ber-IT dan bergital. Waktu, ruang dan suasana tidak lagi menjadi kendala. Simultan nonton YouTube, Podcast, stream-line FB, IG, Tiktok. Dengar digital musik yang ribuan aplikasi dan template. Mereka bisa menjadi content-creator, webinar-daring, diskusi, transaksi, order apa saja dan mengerjakan apa saja.
Mereka menjadi mandiri, individualis sekaligus komunal dan kerjasama-kolegial. Meski tak bersua fisik, tetapi dalam dunia meta verse ini mereka bermitra dan berkolaborasi.
Meskipun begitu, tetap terpenting penguasaan sains-ilmu pengetahuan sejalan dengan kokohnya akidah dan ibadah, keberagamaan, karakter dan budaya menghadapi lingkungan dan perubahan.
Strategi, program dan agenda itu semua tadi, sekarang dan ke depan adalah tergantung kita bersama. Mari mengingat firman Allah swt,
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar. (QS, Al-Nisa,4:9)”
Ini yang harus kita jawab. Mendidik generasi taqwa, unggul serta berkarakter benar dalam kata dan perbuatan. Dan itu tak cukup hanya dengan FGD, seminar, diskusi yang berulang. Apa lagi hanya sekali. Wa Allah a’Lam. ***
(Shofwan Karim adalah Ketuan PWM dan Dosen PPs UM Sumbar)
Istilah populisme ekslusif (Exclusive Populism) di dalam wacana tulisan ini adalah diksi pinjaman dari Rober W Hefner (2016).
Guru Besar Universitas Boston ini menggambarkan era Donald Trump (DT), Presiden Amerika 2014-2018. DT terkenal populis atau berpihak kepada rtakyat dan popular karena teriakan dan programnya yang menolak pihak lain. Kini menjadi kenangan.
Pendahulu Joe Biden ini memainkan isu sensitif. Seperti Islamofobia, anti imigran, anti Meksiko dan Latino. Pada Tahun 2017 DT melarang rakyat 7 negara muslim masuk Amerika. Ke-7 negara itu adalalah Iran, Irak, Suriah, Yaman, Sudan, Somalia dan Libya.
Untuk meredam masuknya imigran dari Meksiko dan Latin Amerika , DT pada Tahun 2017 juga meminta senat Amerika mengesahkan rencana pembangunan tembok raksasa pembatas antara Amerika dan Meksiko.
Bagi kalangan tertentu di Amerika, DT sangatlah popular. Terutama dari kalangan pendukung Partai Republik, dari mana DT berasal. Seorang presiden terkaya Amerika 2,5 abad ini.
Partai Republik dengan ideologi konservatisme sangat kaku terhadap yang berbau asing.
Kunto (2020) menyebutkan bahwa ada empat pandangan yang dianut oleh konservatisme.
Pertama, negara harus melindungi warga negaranya dari negara lain secara ketat.
Kedua, konservatisme memuja kebebasan pasar yang sebebas-bebasnya.
Ketiga, konservatisme punya kecenderungan asosiasi kuat dengan agama, terutama nilai-nilai protestan.
Keempat, sangat ekslusif. Dalam arti melindungi total kepentingan negeri dan meniadakan pihak lain atau negeri lain.
Berbeda dengan Partai Republik, Partai Demokrat dengan ideologi liberalismenya . Pertama, menganggap bahwa masyarakat tidak perlu terkungkung dengan negara.
Kedua, berkompetisi dengan negara dan warga negara lain.
Ketiga, tidak perlu ada proteksi total ekonomi yang berlebihan. Proteksi yang berlebhan itu akan melemahkan persaingan dan kompetisi di luar negeri.
Dengan ideologi itu tadi, Joe Biden dianggap kalangan tertentu lebih rasional, lebih matang, lebih dewasa, lebih inklusif. Dalam arti lebih menerima keberagaman dengan pihak-pihak lain dengan tetap melindungi kepentingan negerinya.
Meskipun kedua ideologi tersebut, sama-sama berdiri pada ideologi kapitalis, namun yang membedakan adalah konservatisme dan liberalismenya atau eksklufisme dan inklusifisme tadi.
Teori Hefner di atas mungkin dapat dilekatkan kepada hal yang berbeda dalam konten yang sama kepada isu lain di negeri kita.
Misalnya populisme ekslusif dan populisme inklusif di Indonesia. Ada kalangan yang populer karena eksklusifisme. Populeritas yang berdasarkan ketidak bepihakan kepada pihak lainnya. Bahkan menyakitkan. Sebaliknya adalah populisme yang rasional, lebih santun serta inklusif tehadap pihak lain.
Pada beberapa kasus misalnya para “buzzer” dan “influencer”. Buzzer (B. Inggris) bisa disebut lonceng, alarm atau kentongan . Ia berfungsi untuk memanggil, memberitahu dan mengumpulkan orang untuk melakukan sesuatu.
Akhir-akhir ini “buzzer” juga disebut lebih halus dengan kata “influencer”. Subyek yang mempengaruhi. Membuat sesutu menjadi “trending” atau “trend setter”.
Kedua kosa kata itu menjadi konten dominan di media sosial dalam berbagai variasi.
Akan tetapi penggunaannya, untuk buzzer lebih kepada isu dan kepentingan politik menumbuhkan populisme kelompok, partai politik atau tokoh.
Sementara influencer biasanya lebih kepada tujuan komersial, bisnis, ekonomi dan pemasaran. Baik dalam bentuk opini, tayangan iklan iPod, YouTube, IG, FB, LinkdIn dan lainnya.
Bila menimbulkan kontra produktif untuk kemaslahatan umat, bangsa, negara dan kelanjutan generasi, maka hal itu dapat dikategorikan kepada buzzer dan influencer katgori populisme eksklusif.
Akan tetapi bila diperkirakan sesuai dengan arus utama yang normatif dan positif bagi mayoritas akal sehat, budaya dan ketinggian budi, inilah yang diharapkan menjadi populisme inklusif. Maka di situlah makna QS, Al-Anbiya, 21: 107, “Dan tidak Kami utus engkau ya Muhammad, kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam”
Bukan paradoks populisme ekslusif-inklusif. Tidak mengandung kontradiksi terhadap kebersamaan. Sebaliknya menjadi kentongan untuk harmonisasi dan kerukunan.
Wa Allah a’lam bi al-shawab. Dan Allah Maha Tahu apa yang sebenarnya. ***
(Shofwan Karim., Ketua PWM, Dosen PPs UM Sumbar dan Ketua Umum YPKM)tua Umum YPKM)
Sudah tayang di Harian Singgalang versi cetak 3/2/2022.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.