Kesan dan Pesan Buya Shofwan Karim kepada Anggota PWM Sumbar 2022-2027
Ketua PW Muhammadiyah Sumbar, Buya Dr. Shofwan Karim di UM Sumbar, Ahad, (24/12)
MINANGKABAUNEWS.com, PADANG — Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sumbar 2015-2022 Buya Dr. Shofwan Karim memberikan pesan pada anggota PWM Sumbar 2022-2027, Rabu (4/1/2023).
Buya Shofwan menyampaikan kesannya terhadap anggota PWM Sumbar yang baru. Menurutnya, personil yang dipilih para peserta musywil adalah yang terbaik.
“Saya kan berharap senior dan junior jadi satu. Kolaborasi lintas generasi itu cara yang terbaik. Mudah-mudahan tetap kompak, insyaallah. melihat komposisi yang beragam latar belakang saya optimis,” ujarnya.
Masuknya banyak darah segar menurut Shofwan cukup variatif. Para personil yang baru seperti Apris, Sobhan Lubis, Abdul Salam, Zaim Rais, Marhadi Effendi, Zaitul Ikhlas Saad, Ki Jal Atri Tanjung, Ismail Novel, Yosmeri Yusuf dan Muhammad Najmi cukup variatif. “Tinggal nanti Dr. Bakhtiar membagi komposisi personilnya,” tuturnya.
Bekerja dengan Gembira dan Ikhlas
Harapan dari Buya Shofwan, mudah-mudahan semuanya bekerja dengan gembira, karena gembira itu landasan ikhlas. Orang yang mengeluh tidak bisa ikhlas. Kedua, orang bernilai kalau bergerak. Kalau tidak bergerak mati, semua berharga kalau bergerak. Kalau tidak bergerak tidak berharga.
“Air tidak bergerak akan menjadi penyakit. Pimpinan yang tidak bergerak akan menjadi penyakit. Ini kan orang-orang yang berpengalaman di organisasi, insyaallah. Tidak ada yang memulai dari nol. Saya kira ini yang terbaik,” kata Shofwan.
Dia juga mengharapkan agar PWM yang baru memiliki semangat memakai dan tidak menghabisi. “Tetap rajut ukhuwah dan kebersamaan seta kekompakan untuk Muhammadiyah berkemajuan,” harapnya .
Hasil Musywil Ke-42 di UM Sumbar juga menjadi kelegaan tersendiri bagi Buya Shofwan. “Saya lega karena tugas sudah berakhir dua periode di PWM, saya akan tetap terus aktif di persyarikatan,” tutupnya. (RI)
Kementerian Agama berulang tahun. Kemarin, 3 Januari diperingati. Tanggal itu telah ditabal sebagai hari lahir Kementerian ini. Kemenag didirikan lewat Penetapan Pemerintah No 1 tanggal 3 Januari 1946, pada Kabinet Sjahrir II.
Tokoh Minang, Muhammad Yamin menyuarakan adanya Kementrian Agama dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 11 Juli 1945. Sejak itu abadi sampai sekarang dan tidak pernah berubah atau digabungkan nomenklaturnya dengan yang lain.
Di negara-negara sekuler, komunis, dan liberal tak pernah ada agama sebagai nama atau nomenklatur dan berfungsi sebagai Kementerian.
Satu-satunya urusan Agama menjadi sepenuhnya urusan negara adalah Vatikan. Negara kota terkecil di dunia, seluas 44 hektar, berpenduduk diperkirakan 842 orang (2019). Vatikan berdiri sendiri dari Italia. DimulaI dari pernjanjian Lateran, 1929.
Perjanjian Lateran adalah salah satu bagian dari Pakta Lateran 1929. Perjanjian kesepakatan antara Kerajaan Italia di bawah pemerintahan Raja Vittorio Emanuele III dan Takhta Suci di bawah kepemimpinan Paus Pius XI untuk mengakhiri Permasalahan Roma yang telah ada sejak dulu.
Pemerintahannya disebut Takhta Suci. “Memiliki, kekuasaan penuh, kekuasaan eksklusif, dan yurisdiksi serta otoritas yang berdaulat” atas Negara Kota Vatikan.
Di luar Vatikan tidak ada satupun dari 188 negara anggota PBB yang bertatus demikian. Termasuk Indonesia.
Akan tetapi Indonesia memiliki kekhususan. Negara yang berdasarkan Pancasila ini, yang sila pertamanya, Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan negara beragama. Oleh karena itu wajar kalau ada orang yang tak beragama, tidak pantas pula disebut sebagai bangsa yang ber-Pancasila. Dengan begitu konsekuensinya tidak diakui sebagai bangsa Indonesia dalam ketatanegaraan baku.
Maka Kementerian Agama bukan hanya keniscayaan, tetapi wajib ada dalam urusan pemerintahan. Di dalam kerangka ini sudah ada Diroktorat Jenderal (Dirjen) berbagai urusan administari keagaamaan untuk bebagai agama resmi.
Persolannya adalah, apakah kementerian agama harus dipahami sebagai rezimisasi agama?
Haedar Nastir dan Din Syamsuddin menolak rezimisasi agama. Oleh Din dikatakana begini:
“UUD 1945 Pasal 29 menegaskan negara menjamin kebebasan beragama dan kebebasan menjalankan ibadat sesuai agama dan kepercayaannya. Maka pemaksaan suatu agama atau paham keagamaan tertentu kepada pihak lain adalah bentuk pelanggaran konstitusi.” (LLDIKTI, 8/9,2022).
Sebelumnya Haedar Nashir mengatakan,
“Satu diantaranya adalah tentang rezimentasi agama. Atau rezimentasi paham agama. Ini mungkin sesuatu yang baru ketika isunya tentang radikalisme agama, ekstrimisme agama, identitas politik agama dan lain sebagainya,”ungkapnya.
Rezimentasi agama, kata Haedar, “merupakan masalah di mana agama secara bias dan subyektif lalu ingin disenyawakan dengan negara dan menjadi kekuatan negara. Menurutnya, hal itu berlawanan dengan ide dan cita-cita Indonesia sebagai Negara Pancasila darul a’hdi wa sysyahadah.” (LLDIKTI, 8/9/22).
Melihat kepada bayangan diksi dan narasi kedua tokoh di atas, ada kekhawatiran bahwa rezimentasi agama bukan hanya bertentangan dengan konstitusi, di lihat dari pemahaman kebebasan memeluk dan menjalankan paham agama, tetapi akan menjadi deretan masalah bangsa pada masa kini dan depan.
Yang paling dikhawatiri, meski Kementerian Agama sudah mempunyai dirjen menurut agama resmi Indonesia, tetapi dimungkinkan karena syahwat rezimisasi, terasa dan akan terus ada upaya pemahaman agama dari kelompok tertentu ingin menunggangi kementerian ini. Wa Allahu ‘alam bi al-shawab.***
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. al-‘Ankabut [29]: 69)
Yang amat dihormati, Ketua Umum PP yang dihadiri Ketua PP Dr. H. Anwar Abbad, M.Ag., M.M; Ketua Umum PP Aisyiyah yang dihadiri Ketua Dr. Siiti Aisyah, M.Ag.
Ketua-ketua PPM dan PPA Anggota DPR dan DPD sekaligus MPR RI; Gubernur Sumbar; Ketua dan Anggota DPRD Sumbar; Forkompimprov; Bupati dan Wali Kota; Forkompim Kabupaten dan Kota Sumbar;
Tokoh Muhammadiyah dan Aisyiyah; MUI; LKAAM; Bundo Kandung; Pimpinan Orpol dan Ormas; Tokoh Masyakarat ; Wartawan Media Pers Cetak, TV dan Online; seluruh peserta, peninjau dan pengembira Muswil Terpadu Muhammadiyah dan Aisyiyah ke-42 Tahun 2022; serta para hadirin dan hadirat yang kami hormati. Baik yang hadir langsung Luring dan Daring yang dirahmati Allah swt.
Pertama marilah tak henti-hentinya bersyukur ke hadirat Allash swt dan bersalawat kepada Rasulullah saw. Atas ridha dan rahmat Allah swt kita dapat menyelenggaran pembukaan Muswil dan melanjutkan acara-acara Muswil setelah tadi malam kita melaksanakan Muspim.
Acara pokok Muswil adalah laporan keadaan persyarikatan dan apa yang menjadi dinamika persyarikatan, apa sedang dan telah dilaksanakan pada periode kerja kita 2015-2022. Isu-isu strategis yang akan menjadi pedoman untuk sekaligus menjadi rancangan program kerja PWM 2022-2027. Selanjutnya adalah pemilihan anggota dan ketua PWM yang baru untuk 5 tahun ke depan.
Untuk semua itu kita berterimakasih kepada PPM dan PPA yang telah merestui dan menghadiri dan meresmikan pembukaan Muswil sebentar lagi. Selain itu kita meminta Gubernu Sumbar memberikan sambutan.
Ucapan terimakasih dari PWM terhadap segenap komponen dan eksponen yang menyelenggarakan Muswil ini. Di antaranya Panitia Penyelenggara (OC); Panitia Pengarah (SC); Panitia Pemilihan Pimpinan (Panlih) dan Panitia Penerima Muswil UM Sumbar.
Berikutnya kita berterimakasih atas dukungan Gubernur terhadap Muswil ini serta pihak yang bersifat kelembagaan dan perorangan yang memberikan dukungan moril dan materil. Semuanya itu amat berharga dan Insya Allah menjadi tulang punggung untuk suksesnya Muswil terpadu Muhammadiyah dan Aisyiah kali ini.
Ketua Umum PPM, PPA, Peserta, Peninjau, Pengembira Muswil dan Undangan yang kami hormati.
Tema Muswil Muhammadiyah ke-42 ini adalah, “Memajukan Sumatera Barat dan Mencerahkan Umat”, merupakan repleksi lanjutan ke tingkat wilayah dari inspirasi Tema Muktamar Muhammadiyah ke-48, “Memajukan Indonesia Mencerahkan Semesta.”
Tema Muswil sekalgus merupakan lanjutan dari inspirasi produk PWM 2015-2022 yang berintikan “Memajukan Muhammadiyah, Memajukan Sumatera Barat”.
Dari jahitan inspirasi itu, Muhammadiyah Sumbar telah, sedang dan terus melaksanakan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar; ikhtiar dan amal Pendidikan dari TK/BA sampai ke PT; amal social santunan dan panti asuan; Kesehatan dan Penolong Kesejahteran Masyarakat; Ekonomi Produktif dan keringat kerja keras kemanusiaan dalam setiap musibah dan bencana alam serta bencana pandemic covid. Khusus musibah pandemic Covid-19 telah membuat periode PWM, PDM, PCM damn PRM yang seyogyanya selesai tahun 2000 lolu kini khusus untuk PWM berakhir ujung 2022 ini.
Rangkaian itu semua sudah menjahit peranan dengan memeras cucuran keringat serta singsingan lengan baju serta kubangan kaki bahkan air mata yang ditumpahkan oleh 22 Majelis, Lembaga, Badan, BTM, LazisMu, MDMC, MCCC pada 7 tahun terakhir ini. Mereka bahu membahu bersama 19 PDM Kab/Kota; 154 Cabang dan 787 Ranting serta seluruh aktifis KB Muhammadiyah bersama 7 Ortom: Aisyiah, PM, NA, IMM, IPM, HW dan Tapak Suci PM, bersama-sama dengan seluruh warga dan masyarakat Sumbar.
Dalam kaitan itu semua, pastilah kita bergumam dan bahkan meneriakkan kata, “ Kerja Belum Selesai dan Tidak akan Pernah Selesai”. Maka di situlah relevansinya dengan QS. Al-Insyirah ayat 7
فَإِذَا فَرَغۡتَ فَٱنصَبۡ (٧)
Maka apabila kamu telah selesai [dari sesuatu urusan], kerjakanlah dengan sungguh-sungguh [urusan] yang lain. (7)
Selain dari itu mari kita mengingat kembali. Muhammadiyah adalah salah satu organisasi Islam yang besar di Indonesia. Tujuan organisasi Muhammadiyah dijelaskan dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah Bab III pasal 6 (enam), sebagai berikut:
“Maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”
Penjelasan mengenai masyarakat Islam yang sebenar-benarnya oleh beberapa sumber dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah dimaknai sebagai masyarakat tauhid yang moderat, teladan, inklusif dan toleran, solid dan peduli antar sesama.
Selain itu juga mempunyai makna kesadaran mengemban amanah sebagai wakil Allah di bumi yang bertugas menciptakan kemakmuran, keamanan, kenyamanan dan keharmonisan serta cepat menyadari kesalahan dan kekhilafan untuk kemudian meminta maaf. Sehingga terhindar dari dosa dan durhaka yang berkepanjangan sebagai upaya mendapatkan kebahagiaan di akhirat.
Tujuan utama Muhammadiyah adalah juga mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.
Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata social kemanusiaan yang lebih berkemajuan dan mencerahkan alam manusia dan masyakatnya.
Itu semua kita tarik kepada lokalitas Sumbar dan wilayah adat dan budaya Minangkabau yang semua kita Muhmmadiyah dengan segenap jajaran tadi berenang dalam arus perubahan untuk selalu maju dan berkemajuan.
Sebagai Muslim, Minangkabau dan Muhammadiyah merupakan tiga tali sapilin dan tigo tunggu sajarangan yang terus menerus kita isi kepada semua yang berorientasi kepada kemajuan dan mencerahkan.
Khusus untuk pemilihan PWM yang baru marilah kita pedomani dinamika Muktamar ke 48 di Surakarta baru-baru ini 19-20 November 2022 yang sejuk, khidmat, tertib dan peroduktif.
Sejalan dengan itu berdasarkan pengalaman dan rujukan para pakar manajemen persyarikatan, paling tidak menjadi pimpinan dalam persyarikatan yang merupakan harakah atau gerakan berbasis kemandirian untu bertaawwun ini, seperti Muhammadiyah ini, paling tidak ada 5 hal yang perelu dipertimbangkan:
(1) tokoh yang cerdas, kokoh dan kuat paham keagamaannya; (2) kreatif, tidak menunggu dan ispiratif; (3) komunikatif menjalin hubungan internal dan eksternal; (3) berkarakter kokoh dan kesantunan yang tinggi; (4) mampu bekerja sama dan saling berkerja dalam aura koletif-kolegial; serta (5) mampu membangun kimesteri antara sesama untuk saling paham dan memahami kerja yang produktif.
Itulah aplikasi dari dari keperibadian kepemimpinan propetik yang sering dikutip: Siddiq, Fathanah, Amanah dan Tabligh dalam kontek memajukan dan mencerahkan ini.
Tentu saja di dalam pemilihan pemimpin di dalam Muhammadiyah tidak dikenal grasa-grusu apalagi blok-blokan dan jegal-jegalan. Semuanya berbasis keikhlasan. Oleh karena itu mari kita pedomani QS Al Maidah ayat 8
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan [kebenaran] karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (8)
Pada ujung Pidato Iftitah ini, Muhmmadiyah Sumbar dengan segenap jajaran lembaga dan warga Ombak nan Badabua ke Si pisau-pisau anyuik sampai ke Durian di takuak rajo, dari batas ke Sumut, Riau, Jambi dan Bengkulu, kita berterimakasih dari lubuk hati paling dalam kepada Gubenur, Bupati, Wali Kota, Camat, Wali Ngari, Wali Jorong dan Korong, Lurah dan OPD, Anggota Legislatif Nasional, Provinsi dan Daerah, serta Forkompimprov, Kab dan Kota, para filantropis, swasta, dunia usaha, tokoh dan perorangan yang telah membantu dan niscaya kami harap terus membantu Muhammadiyah Minangkau dan Sumbar dari Ranting, Canbang, Derah dan Wilayah.
Demikianlah Pidato Iftitah ini, semoga menjadi salah satu inspiras bagi Muswil kita ini. Bila ada kekurangan Muhammadiyah pada periode yang akan berkahir besok dan kesalahan dalam penyampaian Pidato Iftitah ini, tentualah tak ada gading yang tak retak, maka maaf dan rela kami minta. Kepada Allah kami minta ampun.
Nashrum minallah wa fathun karim wa basyyiril mu’minin,
Shofwan Karim Ketua Umum Yayasan Pusat Kebudayaan Minangkabau (YPKM) Ketua PWM dan Dosen Pascasarjana UM Sumbar
SUDAH lama wacana kebudayaan terpinggirkan. Keadaan itu semakin hari tergusur oleh riuh-rendah wancana politik dan sarut marut ekonomi global, regional, dan nasional.
Meskipun politik dan ekonomi menurut para antropolog termasuk di antara unsur-unsur universal kebudayaan, tetapi wacana kedua frasa itu tidak menyentuh kepada defnisi filosofis kebudayaan yang merupakan repleksi budi dan daya. Selama ini, definisi politik dan ekonomi lebih kepada definisi teknis-eksekusi-operasional.
Apakah politik dan ekonomi kita pada beberapa kurun waktu dan dekade-dekade terakhir ini berbasis kebudayaan? Pertanyaan yang agaknya aneh bagi para politisi dan pelaku ekonomi di negeri ini.
Bahkan sejak hampir dua bulan terakhir, wacana kebudayaan lenyap karena isu kasus pembunuhan Brigadir J dan subsidi pemerintah yang tinggi untuk rakyat. Di tengah keadaan itu, Yayasan Pusat Kebudayaan Minangkabau bekerja sama dengan Pemprov Sumbar dan DPD RI berhajat untuk melaksanakan Kongres Kebudayaan.
Sebagai agenda Pra-Kongres, pada 9 Agustus lalu sudah dilaksanakan acara Peluncuran Kongres dimaksud di sebuah hotel di Padang. Irman Gusman, Musliar Kasim, Nursyirwan Efendi, Insanul Kamil dan Gubernur Sumbar menyampaikan beberapa pemikiran tentang pentingnya Kongres Kebudayaan ini.
Selanjutnya, pada Senin 5 September ini dilaksanakan Seminar Hasil Survei Persepsi Masyarakat tentang Makna Kebudayaan di Indonesia di Padang. Agenda ini merupakan prelimeneri atau awal Pra-Kongres di samping dua agenda lain: Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumbar dan Revitalisasi, Rekonstruksi (?) Adat dan Budaya Minangkabau yang akan menjadi agenda Pra-Kongres berikutnya.
Kembali kepada survei, giat ini dilaksanakan pada 13 sampai 29 Maret 2022 lalu. Hanya karena hal-hal teknis, survei yang digagas tahun lalu itu sebelum nanti Kongres Kebudayaan ditayangseminarkan pekan ini.
Akan menjadi pembahas di antaranya Dr Yudi Latif, seorang penulis produktif mantan Kepala Badan Pembina Ideologi Pancasila yang “dinobatkan” sebagai pemikir kenegaraan dan kebudayaan. Pembahas kedua adalah Prof. Dr. Nursyirwan, Antropolog lulusan sebuah Universitas di Jerman, sekarang Direktur Pascasarjana Unand.
Survei dilaksanakan oleh Dr. Asrinaldi dan Tim dari Unand, merangkum beberapa legaran diskusi di YPKM. Terpantik gagasan Musliar Kasim dan Irman Gusman, anggota dan Ketua Pembina YPKM yang menginginkan bahwa Kongres Kebudayaan harus diawali dulu dengan survei tentang seberapa jauh persepsi masyarakat Indonesia tentang kebudayaan.
Hal ini terasa amat penting karena semua sudah merasakan goncangan kebudayaan setelah dunia di haru biru oleh revolusi 4.0 dan 5.0 tekonologi digital dan informasi yang tengah berlangsung sekarang ini.
Bagaimana persaingan, sekaligus partnership, kemitraan global, regional dan nasional antar bangsa-bangsa dan internal bangsa di dunia dewasa ini. Wa bil khusus bagi masyarakat Indonesia.
Oleh tim dirumuskan tujuan survei ini meliputi persepsi tentang beberapa hal. Pertama, nilai agama dan kebudayaan yang menjadi akar ideologi Pancasila yang meliputi nilai-nilai ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Kedua, peran dan kedudukan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia dalam kehidupan masyarakat Indonesia di era revolusi teknologi 4.0. Ketiga, semangat kemajemukan dan multikulturalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keempat, respons masyarakat terkait dengan revolusi teknologi 4.0 dan menuju 5.0 serta kesiapan mereka menghadapi perubahan tersebut. Kelima, mengidentifikasi harapan masyarakat terkait dengan peran dan tanggung jawab pemerintah, masyarakat itu sendiri, dan pemangku kepentingan bangsa dalam merespons perkembangan zaman yang terus berubah.
Tentu saja hasil survei bukan jawaban konkret atas lahirnya peta jalan kebudayaan Indonesia. Peta jalan itu akan dijawab nanti pada Kongres Kebudayaaan itu sendiri. Hebatnya, tim survei telah mendapatkan skema awal persepsi masyarakat Indonesia secara acak dari Sabang sampai Merauke dan dari Sangih sampai ke Pulau Rote.
Disimpulkan dalam 7 tabel persepsi. (1) Persepsi terhadap bebudayaan Indonesia dan lokal; (2) Persepsi terhadap Kebudayaan global; (3) Persepsi terhadap Pancasila sebagai ideologi Bangsa; (4) Persepsi terhadap revolusi 4.0; (5) Persepsi terhadap peran individu dalam pengembangan Kebudayaan; (6) Persepsi terhadap Indonesia emas Tahun 2045; (7) Persepsi terhadap pemahaman budaya generasi muda.
Dr. Asrinaldi dan Tim mengompilasi dari hasil data survei yang mereka lakukan, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: Secara umum Indeks Persepsi Masyarakat Indonesia tentang Kebudayaan berada pada level yang tinggi sebanyak 54,1%. Ini dapat dimaknai bahwa masyarakat masih menempatkan kebudayaan sebagai variabel yang penting dalam membangun bangsa Indonesia.
Komposisi persepsi masyarakat mengenai kebudayaan Indonesia dan lokal berada pada level sedang, yaitu 4,2 poin. Artinya, eksistensi kebudayaan Indonesia dan lokal masih menjadi perhatian masyarakat.
Akan tetapi ditemukan pula hal-hal yang mengkhawatirkan. Di antaranya ada persepsi bahwa nilai-nilai kebudayaan Indonesia mulai tergerus oleh kebudayaan asing (global) dengan indeks 3,86 poin.
Selanjutnya, Indeks Komposisi Persepsi Terhadap Kebudayaan Global cenderung rendah dengan angka 3,84. Meskipun ada pernyataan bahwa budaya global mudah diadopsi dan disesuaikan dengan budaya Indonesia untuk pemajuan kebudayaan Indonesia, namun indeksnya rendah yaitu sebesar 3,62 poin.
Sementara itu terkait dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa, indeksnya berada pada level sedang dengan angka 4,13 poin. Masalah yang mendapat perhatian dari masyarakat karena memiliki indeks rendah adalah perlunya tafsir ulang terhadap sila-sila yang ada di Pancasila. Fenomena ini ditegaskan dengan nilai indeks item sebesar 3,77 poin.
Pada aspek Indeks Komposisi Terkait Persepsi Terhadap Revolusi Teknologi 4.0 berada pada level rendah dengan nilai indeks sebesar 3,93 poin. Pemerintah perlu memberi perhatian khusus pada aspek ini.
Pada bagian lain, masyarakat memberi perhatian pada kondisi budaya lokal yang kurang berkembang. Hal itu dapat mempengaruhi perkembangan kebudayaan Indonesia. Indeks item pernyataan ini paling rendah di antara kelompok persepsi ini, yaitu 3,69 poin.
Begitu juga dengan indeks item pernyataan Indonesia menjadi bangsa yang maju dan setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia Tahun 2045 juga mendapat indeks yang rendah sebesar 3,87 poin. Artinya, dari aspek kebudayaan persepsi yang ditemukan tidak menggembirakan.
Sementara aspek lain yang juga menjadi perhatian publik adalah pemahaman generasi muda terhadap nilai-nilai budaya setempat yang juga perlu mendapat perhatian karena indeks pada pernyataan ini juga rendah dengan angka 3,93 poin.
Tentu saja survei ini akan memberikan kabar baik. Di antaranya bahwa kebudayaan amatlah penting untuk pemajuan kebudayaan. Dan sebagai infrastruktur sudah ada undang-undang tentang kebudayaan nasional.
Pada 27 April 2017, Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan disahkan pemerintah sebagai acuan legal formal pertama untuk mengelola kekayaan budaya di Indonesia.
Yang perlu diingat, kekayaan budaya, bukan hanya bersifat material seperti artifak budaya, seni dan budaya tetapi yang amat mendasar adalah kepribadian dan cara berfikir (world-view) serta cara hidup (the way of life) bangsa Indonesia.
Hedonistik, di antaranya yang membuat korupsi merajalela, meski sudah ada Undang-Undang Antikorupsi tetap saja harus dimulai dari kebudayaan. Dengan begitu, sinisme Proklamator Hatta pada 5 dan 6 dekade lalu (Marwata, 2022; Mahfud, MD, 2021) dan bahwa korupsi menjadi budaya, harus terus menerus kita ubah menjadi korupsi adalah potret orang yang tak berbudaya.
Koruptor harus dilawan dan itu yang paling mendasar adalah melalui kebudayaan. Wa Alla a’lam bi al-shawab.
Beberapa hari sebelum Ramadhan, ada Musrenbang RKPD Tahun 2023 . Sebagai Ketua Muhammadiyah Sumbar, penulis diundang dan hadir
Beberapa hari sebelum Ramadhan, ada Musrenbang RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah) Tahun 2023 . Sebagai Ketua Muhammadiyah Sumbar, penulis diundang dan hadir. Musrenbang kali ini terasa nuansa berbeda.
Selain pidato dan sambutan Gubernur, Ketua DPRD dan Bappenas, ada sesi rencana aksi penyandang disabilitas. Narasumber yang spesial untuk ini adalah Antoni Tsaputra, S.S, MA, Ph.D. Ia seorang Doktor dengan disabilitas fisik berat.
Alumni salah satu universitas terkenal di Australia dan kini menjadi Dosen di salah satu PTN di Padang ini memaparkan dengan amat mengena. Dari kursi roda, ia menyentuh nalar, rasio dan kalbu para hadirin.
Ingatan ini melayang ke Quran Surat Abasa, 1-10. Abdullah bin Ummi Maktum datang kepada Nabi. Ada kesan Nabi agak abai terhadap penyandang disabilitas tunanetra ini. Di tenggarai kurang hangat penerimaannya.
Menurut asbabun nuzul, ayat-ayat ini adalah bentuk halus teguran Allah kepada Nabi. Atas sikap Rasulullah terhadap salah satu warga umat. Kala itu, Nabi Muhammad sedang berdiskusi dengan pembesar Quraisy. Di antara mereka ada Abu Jahl, ‘Utbah bin Rabi’ah, ‘Abas bin Abd al-Muthollib, dan Walid bin Murighah. Diskusi tersebut dilakukan dengan harapan kaum Quraisy bisa tercerahkan dan masuk Islam.
Di tengah diskusi tersebut, datanglah Abdullah bin Ummi Maktum. Ia minta diajarkan mengenai Islam dan mengucapkannya sampai berkali-kali.
Rasulullah SAW dianggap terganggu karena percakapannya menjadi terputus. Akhirnya menunjukkan tatapan tidak senang dan memalingkan wajahnya dari Abdullah. Dalam ayat kedua dijelaskan bahwa Abdullah memiliki fisik yang tidak sempurna, ia terlahir dalam keadaan buta.
Bila Nabi yang maksum (nihil dosa) saja ditegur Allah, bagaimana pula kaum muslimin secara perorangan lebih-lebih pemerintah yang abai kepada hamba Allah yang disabilitas?
Kembali ke Dr. Antoni, ia memetakan keadaan para penyandang berkemampuan khusus di Indonesia. Berkemampuan khusus itu ternyata bukan hanya orang yang panca indra dan ada sebagian anggota jasad dan mungkin juga rohaninya tak berfungsi normal atau disablitas.
Termasuk kepada kotegori ini juga orang tua yang semakin uzur dan anak-anak yang memang belum dapat mandiri dalam menjalankan fungsi fisik dan psikhisnya.
Menurut Dr. Antoni yang juga periset pada Australia Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN) tadi, perhatian kepada disabilitas sangat minim. Oleh karena itu Antoni mengajukan kerangka pembangunan yang inklusi.
Dari beberapa literatur, pembangunan infra struktur berwawasan inklusi ini sudah banyak diteliti dan ditulis. Kerjasama Bappenas dengan Australia meneliti wawasan pembangunan inklusi di bawah payung “Gender Equalitiy and Social Inclusion (GESI)”.
Asian Development Bank (ADB) mendefinisikan inklusi sebagai upaya pada penghapusan halangan bagi kelompok-kelompok marjinal. Penguatan insentif untuk meningkatkan akses kesempatan-kesempatan berpartisipasi dalam proses pembangunan bagi individu-individu dan kelompok-kelompok yang beragam.
Karenanya inklusi sosial lebih pada setiap anggota masyarakat dapat menikmati hak dan manfaat yang sama pada semua bidang. Baik itu infrastruktur maupun suprastruktur. Pembangunan sarana fisik perhubungan, pasar, gedung perkantoran dan lainnya, mestilah dapat dengan enteng diakses para disabilitas. Begitu pula suprastruktur politik, ekonomi, maupun sosial dan budaya dapat menampung aktifasi para disabilitas.
Lalu Sumbar diminta Antoni untuk pembangunan infrastruktur masa sekarang dan ke depan mempertimbangkan dengan sungguh, wawasan pembangunan yang inklusi ini. Dan di Ramadhan yang hanya sekali setahun, sebulan penuh umat muslim berpuasa ini, kiranya melandasi aura lain dari bentuk pembangunan yang inklusi itu.
Secara intensif dalam setiap waktu ada pencerahan dan taushiyah tentang hikmah Ramadhan. Baik oleh para muballigh, ustazd, ulama, media sosial, YouTube dan internet of thing. Semuanya mendiskusikan bahwa puasa adalah ibadah universal.
Dalam sejarah umat manusia, semua Nabi dan Rasul dari Adam as sampai yang terakhir Muhammad SAW dengan kaifiat yang bervariasi termasuk umat agama lain yang samawi dan ardhi menjalankan ritual ibadah yang satu ini.
Semua menahan haus-dahaga, lapar, hubungan bologis meskipun di luar siang Ramadhan halal. Menahan diri dari semua yang membatalkan. Bahkan menurut Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i (1058-1111) yang biasa disebut Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, puasa lebih dari hanya sekedar aspek fisik.
Bagi Filosof, Teolog , Sufi Muslim Persia itu, ada kategori tertinggi puasa, yaitu puasa khawasil khawas. Menahan dari berkata kosong, kotor, “nyeleneh”, marah dan emosional. Menahan hati secara total dari arus ketidakbaikan. Menghindar dari cacat individual dan sosial. Berpuasa fokus kepada semata-mata mengarus-utamakan yang ihsan dan maslahat.
Dengan begitu inspirasi Ramadhan dan inklusi sosial puasa adalah ibadah bagian dari pembangunan infrastruktur sosial. Tanpa membeda-bedakan kedudukan dan posisi sosial, ekonomi dan strata kehidupan. Semua menahan diri dan senantiasa berprilaku baik. Wa Allah a’lam bi al-Shawab. *
Sangat penting dan sangat menarik kajian telisik al-Quran tetang teologi bencana ini.
Pertama, bencana banjir yang menimpa kaum Nabi Nuh (Q.S. al-Mukminun [23]: 27).
Kedua, bencana hujan batu seperti yang menimpa umat Nabi Luth. (Q.S. Al-A’râf [7]: 84).
Ketiga, Bencana gempa bumi atau (al-zalzalah) ini pernah terjadi pada umat Nabi Musa (Q.S. (Q.S. al-A’râf [7]:155).
Keempat, bencana angin topan yang menimpa orang kafir pada waktu perang Khandaq (Q.S. al- Ahzâb [33]:9).
Pendekatan tafsir maudhu’i atau tematik dalam penelitian AM membuat Saga Jantan (SgJ) kembali merekognisi kuliah doctoral-Drs, 45 dan Magister-M.A., Doktor-nya, 33, 30 tahun lalu.
Pada waktu itu kata teologi (Theology) ilmu Ke-Tuhanan tidak biasa di kalangan umum.
SgJ ingat, suatu kali, ada beberapa orang yang datang ke Fakultas Ushuludin Univertas di mana SgJ menjadi dosen sebelum pensiun sebagai ASN.
Mereka mempertanyakan apa itu teologi dan ilmu kalam yang ada dalam mata kuliah di fakultas itu. Bahkan sebenarnya mereka memprotes. Setelah disyarahkan dengan sabar dan rinci, mereka paham.
Oleh karena itu harus ditarik ke kata atau diksi awal. Terma yang sudah ada sejak kajian klasik, pertengahan dan era pra-modern pemikir Muslim menurut bidangnya.
PW Muhammadiyah membantu warga Andalas Padang terdampak musibah kebakaran rumah, 2026. (Foto Dok PWM)
Kajian ini secara kelasik disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, Ilmu Akidah atau Ilmu Ushuluddin.
Yakni ilmu yang berbicara tentang sistem keyakinan Islam.
Sayangnya, istilah teologi selama ini dipahami sangat teosentris.
Artinya hanya mengkaji dan mendiskusikan sejumlah konsep-konsep untuk “mengurusi” Tuhan. Misalnya apakah kalâmullâh itu qadîm atau hadîts?.
Bagaimana sifat-sifat Tuhan, bagaimana keadilan Tuhan, bagaimana menilai orang lain kafir atau mukmin dan sebagainya.
Sementara itu persoalan manusia dan lingkungan kurang dikaitkan. Bahkan kalau pun ada terasa agak kurang.
Padahal al-Quran banyak menayangkan hal-hal itu. SgJ menelisik hasil penelitian AM ini dengan lebih hati-hati.
Sambil membaca pula dengan cermat Laporan Posko Tanggap Darurat Muhammadiyah Disaster Menagement Center (MDMC) di Kajai dan Malampah, ujung jari SgJ terus membalik puluhan lainnya ayat al-Qur’an terkait.
Baik simbolik, konseptual, tekstual, kontektual, filosofis dan historis.
Akan tetapi Kakek 70 tahun ini belum akan membahas apa yang menari dalam benaknya sebagai yang sering pula disebut fikih bencana.
Yaitu cara spontan tangggap-darurat bencana. Begitu pula program lanjutan. Biasanya disebut sebagai trauma healing, rehabilitasi-rekonstruksi (Rehab-Rekon) menurut ajaran Islam dalam pendekatan fisik material- non-fisik immaterial, jasmani-rohani-spiritual.
“Harus satu-satu dulu”, katanya bergumam sendiri.
Kembali ke teologi bencana. AM mengikhtisarkan 4 paradigma atau gugus pikir.
Pertama,teologi bencana adalah suatu konsep tentang bencana dengan berbagai kompleksitasnya yang didasarkan pada pandangan al-Qur’an.
Menurut al-Qur’an terma bencana dapat terwakili dengan beberapa istilah, yaitu bala’ yang secara bahasa dapat berarti jelas, ujian, rusak.
Bencana yang diungkapkan dengan term bala’ mempunyai aksentuasi makna bahwa bencana itu merupakan bentuk ujian Tuhan yang sengaja diberikan Tuhan untuk menguji manusia, agar tampak jelas keimanan.
Sebagai sering dikutip muballigh potongan hadist, keimanan itu yazid wa yanqush (adakalanya bertambah-adakalanya berkurang).
Bencana yang disebut bala’ dapat berupa hal-hal yang menyenangkan , dapat pula hal-hal yang tidak menyenangkan.
Kedua, bencana dengan terma mushîbah lebih merupakan segala sesuatu yang menimpa manusia yang umumnya berupa hal-hal yang tidak menyenangkan.
Ketika terkait dangan hal-hal yang baik, maka al-Qur’an menisbatkannya kepada Allah, sementara ketika musibah itu terkait dengan hal-hal yang menyengsarakan, al- Qur’an menyatakannya, bahwa hal itu akibat hal-hal lain, dan boleh jadi karena kesalahan manusia itu sendiri.
Maka musibah itu sesungguhya bisa sebagai ujian, bisa pula sebagai teguran, bahkan juga bisa sebagai siksaan.
Ketiga, bencana juga disebut dengan fitnah, maka kecenderungan maknanya adalah untuk menguji manusia. Bencana yang diungkapkan dengan terma fitnah lebih merupakan ujian untuk mengetahui kualitas seseorang.
Maka menurut AM setelah meneliti ayat-ayat al-Quran yang relevan, secara ontologis (hakiki-wujudiah) al-Qur’an memandang bahwa bencana itu merupakan bagian dari sunnah kehidupan, yang memang telah menjadi “desain” Tuhan di al-Lauh Mahfudz.
Bencana tidak mungkin terjadi kecuali atas izin Tuhan dan atas sepengetahuan-Nya.
Akan tetapi hal ini tidak berarti lalu manusia hendak menyalahkan Tuhan, sebab terdapat berbagai penyebab terjadinya bencana alam antara lain,
sikap takdzîb (mendustakan) terhadap ayat-ayat Tuhan dan ajaran para rasul,
zhalim berbuat aniaya terhadap diri, tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya
israf (berlebihan-lebihan) dalam bermaksiat dan mengeksplotasi alam,
jahl (berlaku bodoh), yakni tahu kebenaran dan kebaikan tetapi dilanggar, dan
takabbur (sombong) dan kufur nikmat.
Untuk itu, diperlukan kearifan dan berfikir menyauk lebih dalam ke lubuk hikmah setiap menghadapi bencana.
Antara lain senantiasa, bersabar, optimis, tidak berputus asa dari rahmat Tuhan dan senantiasa bermuhasabah (introspeksi diri).
Berbagai bencana yang menimpa manusia mengandung pesan moral antara lain sebagai tanda peringatan Tuhan.
Tentu pula sebagai bahan evaluasi diri. Lebih dari itu tanda kekuasaan-Nya dan teguran Tuhan buat manusia supaya kembali ke jalan yang benar.
Selanjutnya, harus selalu waspada. Apalagi kalau menurut penelitian dan teori bahwa semua bencana sudah dapat diasumsi dan diprediksi. Meski mungkin oleh sebagian pihak diangggap bersifat spekulatif tetapi tetap bukan khayalan kosong.
Dan yang faktual akan diuji terus menerus sesuai gejala alam . Hal itu dalam tinjauan teologis, sebenarnya juga merupakan takdir dan mungkin sunnatullah.
Wa Allahu a’lam. ***
Shofwan Karim, Dosen PPs UM Sumbar, Ketua PWM dan Ketua Umum YPKM.
Seakan terdakwa, tertuduh, sekaligus ada pembelaan terhadap generasi muda Minangkabau (GMM). Hal itu dilakukan dalam FGD (Focus Group Discusion), Rabu, 23 Maret 2022 lalu.
Ditaja atas kerjasama UM Sumbar-FKP (Forum Komunikasi Palanta). Bertempat di Covention Hall Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag, Kampus III UM Sumbar di Bukittinggi.
Gubernur Mahyeldi personal sebagai pembicara kunci. Nara sumber Prof. Dr. Ir. H. Musliar Kasim, M.P.-Rektor Univ. Baiturrahmah-Wakil Menteri Dikbudnas (2011-2014). Kini Ketua MPW-ICMI Sumbar.
Rektor ISI Padangpanjang, Prof. Dr. Novesar Jamarun. Prof. H. Ganefri, Drs., M.Pd., Ph.D-Rektor UNP. Rektor UM Sumbar Dr. Riki Saputra, M.A,.
Ketua FKP Dr. Mawardi, M.Kes, Wako Padangpanjang-Ketua Gebu Minang Fadly Amran, BBA Dt. Paduko Malano. Ketua MUI Sumbar Dr. H. Gusrrizal Gazahar, Lc., M.A.
Tajuk FGD ini cukup menantang, “Berkurangnya Kualitas Generasi Muda Minangkabau ”
Saga Jantan (SJ) mengikuti secara Daring. Ia ingin mengubah kata “nya” menjadi “kah”. Untuk lebih netral. Mka judul menjadi, “Berkurangkah Kualitas Generasi Muda Minangkabau?”
SJ seakan membuat “proceeding” sendiri. Prosiding “icak-icak” dalam kepala SJ.Idenya terbersit dari pembicara kunci, nara sumber dan tanggapan peserta forum.
Pertama, generasi muda dan generasi tua Minangkabau. Keduanya menjadi “terdakwa atau tertuduh”.
Sebagai pra-anggapan, generasi muda sekarang hidup dalam dua wajah. Bergerak di budaya ideal normatif Minangkabau dan berenang di lautan-samudra perubahan.
Ada dakwaan, GMM tercerabut dari akar budayanya. Tidak tahu di “nan-ampek” dan seterusnya.
Kedua, seakan pembelaan. “Nyeleneh”nya GMM, tersebab kurangnya keteladanan. Di situ yang terdakwa adalah generasi tua (GT). Dan GT justru yang egois. Apa-apa harus mencontoh mereka. Padahal mereka hidup di zaman”katumba”.
Dr. Riki menayangkan cluster generasi. Dari silent generation, Baby Boomer, (lelahiran 90 -70-60 tahun lalu) ke generasi milenial x, y, z dan alpha (kelahiraran 50, 40, 30 ke 20-10 tahun lalu). Ia memaparkan bahwa tiap generasi itu beda tantangan dan peluangnya.
Prof. Novesar menyentil. Jangan di tarik ke belakang terus menerus. Atau frasa lain, “kalau nyopir mobil jangan hanya lihat kaca spion. Bisa ketabrak”.
Kita akui dan belajar ke sejarah. Founding Fathers republik ini mayoritas “urang awak”. Proklamator hanya dua, Soekarno-Hatta. Ini artinya 50 persen saham kita. Sebagai motivasi boleh saja ada yang terus ulang-sebut tokoh hebat kita.
Soekarno menjuluki Agus Salim “The Grand Oldman”. Ada Tan Malaka, Syahrir, Yamin, Natsir, Hamka dan seterusnya.
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi Imam Besar Masdjidll Haram, tokoh utama Mazhab Syafii di Mekah. Syekh Thaher Jalaludin al-Falaki, ulama dan ahli ilmu falak, jurnalis Islam dan pendidik utama di Malaya dan kemudian mukim di Singapura.
Tunku Abdul Rahman, Proklamartor dan PM Pertama, Malaysia. Peresiden pertama Singapura Yusof Bin Ishak. Semua mereka adalah pohon yang tumbuh dari bibit dan bebet Minangkabau.
Begitu puluhan lainnya tokoh primer dari 10 negara Asean banyak yang ditulis sebagai zurriyyat-keturunan Minangkabau .
Namun ada nara sumber dalam FGD ini, seakan mengatakan, “sudahlah, jangan mangapik daun kunyik”. Itu sudah selesai.
Bagaimana GMM sekarang dan ke depan? Apa capaian ilmu pengetahuan mereka. Bagamana merebut kepakaran . Bagaimana kemahiran dan keahlian yang harus wujud pada diri mereka?
Maka muncul nama yang juga ratusan kalau tidak ribuan keturunan Minang yang berhasil menjadi “the top” di bidangnya.
Cuma mereka lebih banyak hidup, berprofesi, menjadi tokoh di luar Sumbar. Politisi dan kritikus nasional yang vocal.
Eselon atas di kementerian, komisaris dan direksi BUMN, aktivis YouTuber, Podcast, Content Creator, Webmaster dan pegiat ekonomi digital, banyak “urang awak”. Diperkirakan ada 20 persen lebih mereka yang keturunan Minang.
Politisi Minang Senayan, sukses menjadi representasi dari 33 Provinsi Inonesia lain. Tragisnya, bahkan ada beberapa yang pernah mencalonkan diri di Sumbar tak beruntung. Mereka sukses di luar sana. Tentu kerisauan JK yang sering menyentil kini kurangnya muballgh kondang yang kurang dari Minang, perlu kita renungkan pula.
Oleh karena itu mempersempit generasi muda Minangkabau dengan yang hanya lahir, hidup, belajar dan berprofesi di Sumbar, mungkin kurang relevan.
Ketiga, masa depan generasi muda Minangkabau itu, bukan Sumbar . Lapangan mereka itu Indonesia dan dunia. Akan tetapi apakah Sumbar harus biasa-biasa saja?
Agaknya ini yang hendak dijawab FGD kemarin itu. Berapa banyak keberhasilan lulusan SMA dan Madrasah di Sumbar yang tembus masuk 10 rangking PTN/PTS terbaik pada satu dekade terakhir? Berapa banyak yang tembus kuliah di Universitas ternama di 5 Benua di dunia?
Lebih dari itu, dalam keberagamaan dan ilmu agama seberapa banyak generasi muda Sumbar yang sedang dan siap menjadi ulama hebat, pakar dan teladan umat? Tentu kerisauan JK Wapres 2004-2009; 2014-2019, sumando kita yang sering menyentil muballgh kondang yang kurang di Jakarta dari Minang, perlu kita renungkan pula.
Ada suara bahwa kualifikiasi merka tidak harus selalu dikaitkan dengan Buya, Inyiak dan Syekh zaman dulu. Bagaimana sosok mereka itu kini dan ke depan?
Nara sumber mengajukan beberapa alternatif. Sebagian besar tentang skill yang dibutuhkajn zaman ini. Di samping hard skill (piranti keras) lebih-lebih lagi soft skill (piranti lunak).
Banyak pakar menayangkan “21st Century Skill” memerlukan 17 kemampuan dan kompetensi. Itu yang klop untuk suksesnya seseorang masuk dunia kerja sekaligus menjadi umat dan warga bangsa yang baik.
Prof. Musliar menawarkan 9 kompetensi kemampuan masa depan dimaksud. Berkomunikasi baik dan produktif. Berpikir kritis dan jernih. Menjadi warga negara yang bertanggungjawab. Mampu hidup dalam masyarakat yang mengglobal. Mampu mempertimbangkan segi moral satu permasalahan.
Selanjutnya, mampu mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda . Memiliki minat luas dalam kehidupan. Memiliki kesiapan untuk bekerja. Memiliki kecerdasan, kreativitassesuai dengan bakat-minatnya
Ilustrasi foto pernikahan GMM 2022 (Dok Internet)
Hanya 5 atau 6 yang hard skill dari 17 item di atas tadi yang perlu sekolahan. Selebihnya datang dari rumah tangga, lingkungan dan masyarakat. Soft skill yang intinya karakter, akhlak serta kondisi kejiwaan dan budaya lebih menentukan.
Kerja keras, stabilitas dan suasana hati. Bekerja di tenggat waktu terbatas dan di bawah tekanan. Dan sekarang generasi milenial lebih bebas melompat dari satu profesi ke yang lain.
Mereka mampu bekerja simultan, multi-tasking karena lancar ber-IT dan bergital. Waktu, ruang dan suasana tidak lagi menjadi kendala. Simultan nonton YouTube, Podcast, stream-line FB, IG, Tiktok. Dengar digital musik yang ribuan aplikasi dan template. Mereka bisa menjadi content-creator, webinar-daring, diskusi, transaksi, order apa saja dan mengerjakan apa saja.
Mereka menjadi mandiri, individualis sekaligus komunal dan kerjasama-kolegial. Meski tak bersua fisik, tetapi dalam dunia meta verse ini mereka bermitra dan berkolaborasi.
Meskipun begitu, tetap terpenting penguasaan sains-ilmu pengetahuan sejalan dengan kokohnya akidah dan ibadah, keberagamaan, karakter dan budaya menghadapi lingkungan dan perubahan.
Strategi, program dan agenda itu semua tadi, sekarang dan ke depan adalah tergantung kita bersama. Mari mengingat firman Allah swt,
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar. (QS, Al-Nisa,4:9)”
Ini yang harus kita jawab. Mendidik generasi taqwa, unggul serta berkarakter benar dalam kata dan perbuatan. Dan itu tak cukup hanya dengan FGD, seminar, diskusi yang berulang. Apa lagi hanya sekali. Wa Allah a’Lam. ***
(Shofwan Karim adalah Ketuan PWM dan Dosen PPs UM Sumbar)
Istilah populisme ekslusif (Exclusive Populism) di dalam wacana tulisan ini adalah diksi pinjaman dari Rober W Hefner (2016).
Guru Besar Universitas Boston ini menggambarkan era Donald Trump (DT), Presiden Amerika 2014-2018. DT terkenal populis atau berpihak kepada rtakyat dan popular karena teriakan dan programnya yang menolak pihak lain. Kini menjadi kenangan.
Pendahulu Joe Biden ini memainkan isu sensitif. Seperti Islamofobia, anti imigran, anti Meksiko dan Latino. Pada Tahun 2017 DT melarang rakyat 7 negara muslim masuk Amerika. Ke-7 negara itu adalalah Iran, Irak, Suriah, Yaman, Sudan, Somalia dan Libya.
Untuk meredam masuknya imigran dari Meksiko dan Latin Amerika , DT pada Tahun 2017 juga meminta senat Amerika mengesahkan rencana pembangunan tembok raksasa pembatas antara Amerika dan Meksiko.
Bagi kalangan tertentu di Amerika, DT sangatlah popular. Terutama dari kalangan pendukung Partai Republik, dari mana DT berasal. Seorang presiden terkaya Amerika 2,5 abad ini.
Partai Republik dengan ideologi konservatisme sangat kaku terhadap yang berbau asing.
Kunto (2020) menyebutkan bahwa ada empat pandangan yang dianut oleh konservatisme.
Pertama, negara harus melindungi warga negaranya dari negara lain secara ketat.
Kedua, konservatisme memuja kebebasan pasar yang sebebas-bebasnya.
Ketiga, konservatisme punya kecenderungan asosiasi kuat dengan agama, terutama nilai-nilai protestan.
Keempat, sangat ekslusif. Dalam arti melindungi total kepentingan negeri dan meniadakan pihak lain atau negeri lain.
Berbeda dengan Partai Republik, Partai Demokrat dengan ideologi liberalismenya . Pertama, menganggap bahwa masyarakat tidak perlu terkungkung dengan negara.
Kedua, berkompetisi dengan negara dan warga negara lain.
Ketiga, tidak perlu ada proteksi total ekonomi yang berlebihan. Proteksi yang berlebhan itu akan melemahkan persaingan dan kompetisi di luar negeri.
Dengan ideologi itu tadi, Joe Biden dianggap kalangan tertentu lebih rasional, lebih matang, lebih dewasa, lebih inklusif. Dalam arti lebih menerima keberagaman dengan pihak-pihak lain dengan tetap melindungi kepentingan negerinya.
Meskipun kedua ideologi tersebut, sama-sama berdiri pada ideologi kapitalis, namun yang membedakan adalah konservatisme dan liberalismenya atau eksklufisme dan inklusifisme tadi.
Teori Hefner di atas mungkin dapat dilekatkan kepada hal yang berbeda dalam konten yang sama kepada isu lain di negeri kita.
Misalnya populisme ekslusif dan populisme inklusif di Indonesia. Ada kalangan yang populer karena eksklusifisme. Populeritas yang berdasarkan ketidak bepihakan kepada pihak lainnya. Bahkan menyakitkan. Sebaliknya adalah populisme yang rasional, lebih santun serta inklusif tehadap pihak lain.
Pada beberapa kasus misalnya para “buzzer” dan “influencer”. Buzzer (B. Inggris) bisa disebut lonceng, alarm atau kentongan . Ia berfungsi untuk memanggil, memberitahu dan mengumpulkan orang untuk melakukan sesuatu.
Akhir-akhir ini “buzzer” juga disebut lebih halus dengan kata “influencer”. Subyek yang mempengaruhi. Membuat sesutu menjadi “trending” atau “trend setter”.
Kedua kosa kata itu menjadi konten dominan di media sosial dalam berbagai variasi.
Akan tetapi penggunaannya, untuk buzzer lebih kepada isu dan kepentingan politik menumbuhkan populisme kelompok, partai politik atau tokoh.
Sementara influencer biasanya lebih kepada tujuan komersial, bisnis, ekonomi dan pemasaran. Baik dalam bentuk opini, tayangan iklan iPod, YouTube, IG, FB, LinkdIn dan lainnya.
Bila menimbulkan kontra produktif untuk kemaslahatan umat, bangsa, negara dan kelanjutan generasi, maka hal itu dapat dikategorikan kepada buzzer dan influencer katgori populisme eksklusif.
Akan tetapi bila diperkirakan sesuai dengan arus utama yang normatif dan positif bagi mayoritas akal sehat, budaya dan ketinggian budi, inilah yang diharapkan menjadi populisme inklusif. Maka di situlah makna QS, Al-Anbiya, 21: 107, “Dan tidak Kami utus engkau ya Muhammad, kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam”
Bukan paradoks populisme ekslusif-inklusif. Tidak mengandung kontradiksi terhadap kebersamaan. Sebaliknya menjadi kentongan untuk harmonisasi dan kerukunan.
Wa Allah a’lam bi al-shawab. Dan Allah Maha Tahu apa yang sebenarnya. ***
(Shofwan Karim., Ketua PWM, Dosen PPs UM Sumbar dan Ketua Umum YPKM)tua Umum YPKM)
Sudah tayang di Harian Singgalang versi cetak 3/2/2022.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.